Islamedia - Di negeri kita, sudah biasa dan
telah menjadi tradisi yang turun temurun jika Idul Fitri - Lebaran
mengucakan: minal ‘Aadin wal faaizin, yang artinya kembali (menjadi
suci) dan menjadi pemenang (faaiz). Aslinya adalah ja’alanallahu wa
iyyakum minal ‘aaidin wal faaizin (semoga Allah menjadikan kami dan kalian
termasuk orang yang kembali suci dan beruntung). Tapi ketika kalimat ini masuk
ke negeri kita, selalu digandengkan dengan: mohon maaf lahir dan batin,
sehingga tidak sedikit yang mengira itulah terjemahannya. Padahal bukan.
Beragam
versi telah disampaikan tentang asal muasal kalimat tersebut, namun yang pasti
kalimat tersebut tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, tidak dalam Al Quran dan As Sunnah. Tetapi, apakah serta merta
ucapan ini terlarang bahkan disebut bid’ah dalam agama?
Syariat Memerintahkan
berkata-kata yang baik
Secara
umum, Islam menganjurkan umatnya untuk berkata-kata yang baik, di mana pun dan
kapan pun. “Berkata-kata” adalah perbuatan naluriah manusia sebagaimana
mendengar, melihat, memegang, berjalan, dan lainnya. Semua ini memiliki kaidah:
jika baik maka itu adalah kebaikan, jika buruk maka itu adalah keburukan.
Begitu
pula kata-kata baik yang berisikan doa dan tahniah, yang kemudian
menjadi kultur bicara yang menjadi kata idiom atau sapaan sebagian manusia,
maka semuanya adalah hal yang bagus-bagus saja, walau tidak secara eksplisit
disebutkan dalam nash. Sebagaimana ucapan sehari-hari orang Arab: barakallahu
fiik ……. , hayyakallah ……, dan sebagainya.
Dalam
Al Quran, Allah Ta’ala berfirman:
وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا
Dan
ucapkanlah oleh kalian kepada mereka perkataan yang baik-baik (ma’ruf).
(QS. An Nisa (4): 5 dan 8)
Dalam
hadits, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ يَتَكَلَّمُ بِهَا الرَّجُلُ صَدَقَةٌ
Perkataan
baik yang diucapkan oleh seorang laki-laki adalah sedekah. (HR. Bukhari dalam
Adabul Mufrad No. 422, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No.
11027, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 16309.
Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam berbagai kitabnya seperti Shahihul
Jami’, Shahih Adabil Mufrad, Irwa’ul Ghalil, dll)
Maka,
mengucapkan kalimat-kalimat yang mengandung makna kebaikan seperti “minal
‘aaidin …, dan semisalnya ketika dihari raya adalah boleh berdasarkan keumuman
nash-nash ini.
“Taqabballahu Minna wa
Minkum” juga tidak ada sunahnya!
Telah
diriwayatkan dari Al Watsilah, bahwa beliau berjumpa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan mengucakan: Taqabballahu
minna wa minka (Semoga Allah menerima amal kami dan Anda). Lalu Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjawab: Na’am, Taqabballahu minna wa minka
(HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6519, 6520)
Namun sanad
riwayat ini dhaif (lemah/tidak valid), sebagaimana yang dikatakan para
imam.
Al Hafizh Ibnu
‘Adi mengatakan –sebagaimana dikutip Imam Al Baihaqi: “hadits ini munkar.”
(Lihat As Sunan Al Kubra No. 6520)
Imam Ibnul Jauzi
mengatakan: tidak shahih. (Al ‘Ilal Al Mutanahiyah, No. 811)
Al Hafizh Ibnu
Hajar Al ‘Asqalani dalam Fathul Bari (2/446. Darul Fikr) juga
menerangkan kelemahannya, karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin
Ibrahim Asy Syaami seorang yang dhaif dan dia meriwayatkan
hadits ini secara menyendiri.
Malah ada hadits
lain yang melarang ucapan taqabbalallah mina wa minka yang diriwayatkan
oleh Imam Al Baihaqi dari ‘Ubadah bin Ash Shaamit, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang ucapan taqabbalallah tersebut, Beliau
menjawab: “Itu adalah perbuatan dua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).”
Tetapi, hadits ini juga dhaif, seakan maksud dari Imam Al Baihaqi adalah tak
ada satu pun yang shahih tentang ucapan ini.
Namun, Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:
وَرَوَيْنَا فِي
" الْمَحامِلِيَّاتِ " بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ
" كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا
يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك "
“Kami
meriwayatkan dalam kitab Al Mahamiliyyat, dengan sanad yang hasan
(bagus), dari Jubeir bin Nufair, katanya: dahulu para sahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa pada hari raya, satu sama lain
berkata: “taqabbalallahu minna wa minka.” (Fathul Bari, 2/446.
Darul Fikr)
Hal ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin
Ziyad, bahwa beliau bersama Abu Umamah Al Bahili dan para sahabat nabi lainnya,
bahwa mereka jika satu sama lain berjumpa sepulang shalat Id, mengucapkan: taqabballahu
minna wa minka. Menurut Imam Ahmad bin Hambal sanadnya jayyid
(bagus/baik). (Imam At Turkumani, Jauhar An Naqi, 3/320, Syaikh Al
Albani, Tamamul Minnah, hal. 355-356). Imam As Suyuthi juga
menghasankan. (Lihat Al Hawi Lil Fataawi, 1/117)
Ad-ham –seorang pelayan Umar bin Abdul Aziz Radhiallahu
‘Anhu- berkata;
كُنَّا نَقُولُ لِعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فِى الْعِيدَيْنِ : تَقَبَّلَ
اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا وَلاَ يُنْكِرُ
ذَلِكَ عَلَيْنَا.
Dahulu
kami berkata kepada Umar bin Abdul Aziz saat dua hari raya: “Taqabbalallah
minna wa minka wahai amirul mu’minin” lalu dia menjawabnya kepada kami dan
hal itu tidak diingkari. (As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi No.
6521)
Pengarang kitab Ad Durul Mukhtar –madzhab
Hanafi- mengatakan:
إِنَّ التَّهْنِئَةَ بِالْعِيدِ بِلَفْظِ " يَتَقَبَّل اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
" لاَ تُنْكَرُ
Sesungguhnya
ucapan selamat dengan lafaz: “Yataqabbalullah minna wa minkum”, tidaklah
diingkari. (Al Mausu’ah, 14/99)
Ucapan-ucapan
seperti minal aaidin … , ‘iduka Mubarak …, termasuk yang dikatakan para sahabat nabi ini, tidaklah serta merta dikatakan bid’ah
(baca: hal baru yang menyesatkan) hanya karena nabi tidak pernah mengucapkan.
Sebab itu semua mengandung muatan yang baik yakni doa, dan mencerminkan
perkembangan fenomena sosial yang bersifat wajar di masing-masing negeri
muslim. Telah menjadi kenyataan, bahwa kalimat yang beredar di berbagai negeri
muslim pun tidak seragam, di sebagian negeri muslim Timur Tengah lebih terkenal
ucapan: Iduka Mubarak! (Semoga Hari raya Anda yang penuh berkah). Juga Kullu
‘Aamin wa antum bi khair (Semoga Anda dalam keadaan baik sepanjang tahun).
Semua ini tidak mengapa selama tidak dianggap sebagai ajaran syariat yang baku.
Sebab kalimat ini merupakan doa dan idiom yang lahir dari tradisi masing-masing
negeri. Jika baik maka baik dan jika
buruk maka buruk. Ditambah lagi tak satu pun ulama yang
mengingkarinya.
Imam An Nawawi
dalam kitab Al Khulashah membuat bab berjudul:
بَاب لَا بَأْس بقول الْإِنْسَان يَوْم الْعِيد لغيره : تقبّل الله منا ومنك
" ، وَنَحْو هَذَا من الدُّعَاء
Bab: Tidak
Apa-Apa dengan Ucapan Manusia kepada
lainnya pada hari raya: “Taqabbalallahu minna wa minka,” dan
ucapan doa lain yang semisal ini.
(Khulashah Al Ahkam fi Muhimmat As Sunan wa Qawaaid Al Islam,
2/849)
Mari
kita menjaga dan menahan lisan, untuk mencela sesama muslim hanya karena mereka
menggunakan minal aaidin, bukannya taballallah minna wa minkum,
apalagi setelah diketahui bahwa kedua kalimat ini juga tidak berasal dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di sisi lain, lucunya kita diam saja
terhadap orang Islam yang rajin
mengucapkan selamat natal dan tahun baru! Yang jelas-jelas bukan dari
Islam, baik syariat, budaya, dan sejarahnya …!
Fatwa – Fatwa Ulama
Para
ulama Islam juga tidak mempermasalahkan ucapan selamat dengan berbagai macam
modelnya, selama berisi kebaikan dan doa.
- Imam Malik Rahimahullah
Imam Malik tidak mengingkari berbagai ucapan selamat
ketika hari raya:
أَمَّا عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ فَقَدْ
سُئِل الإِْمَامُ مَالِكٌ عَنْ قَوْل الرَّجُل لأَِخِيهِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّل
اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ يُرِيدُ الصَّوْمَ وَفِعْل الْخَيْرِ الصَّادِرِ فِي رَمَضَانَ
، وَغَفَرَ اللَّهُ لَنَا وَلَكَ فَقَال : مَا أَعْرِفُهُ وَلاَ أُنْكِرُهُ . قَال
ابْنُ حَبِيبٍ : مَعْنَاهُ لاَ يَعْرِفُهُ سُنَّةً وَلاَ يُنْكِرُهُ عَلَى مَنْ يَقُولُهُ
؛ لأَِنَّهُ قَوْلٌ حَسَنٌ لأَِنَّهُ دُعَاءٌ
Ada pun kalangan
Malikiyah, Imam Malik pernah ditanya tentang ucapan seseorang kepada saudaranya
pada hari raya: Taqabbalallahu minna wa minka (semoga Allah menerima
amal kita dan anda), maksudnya menerima puasa dan amal baik yang dilakukan pada
Ramadhan. Dan ucapan Ghafarallahu lana wa laka, Beliau menjawab: “Saya
tidak mengetahuinya, tetapi saya tidak mengingkarinya.” Ibnu Habib berkata:
maknanya adalah dia tidak mengetahui sunahnya, dan dia tidak mengingkari orang
yang mengucapkannya, karena itu adalah ucapan yang bagus sebab berisi doa. (Ibid,
14/100)
- Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Beliau ditanya
sebagai berikut:
هَلْ
التَّهْنِئَةُ فِي الْعِيدِ وَمَا يَجْرِي عَلَى أَلْسِنَةِ النَّاسِ : "
عِيدُك مُبَارَكٌ
" وَمَا أَشْبَهَهُ , هَلْ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرِيعَةِ , أَمْ لا ؟
وَإِذَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرِيعَةِ , فَمَا الَّذِي يُقَالُ ؟
فأجاب :
"أَمَّا التَّهْنِئَةُ
يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ إذَا لَقِيَهُ بَعْدَ صَلاةِ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا
وَمِنْكُمْ , وَأَحَالَهُ اللَّهُ عَلَيْك , وَنَحْوُ ذَلِكَ , فَهَذَا قَدْ رُوِيَ
عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَهُ وَرَخَّصَ فِيهِ,
الأَئِمَّةُ , كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ . لَكِنْ قَالَ أَحْمَدُ : أَنَا لا
أَبْتَدِئُ أَحَدًا , فَإِنْ ابْتَدَأَنِي أَحَدٌ أَجَبْته , وَذَلِكَ لأَنَّ
جَوَابَ التَّحِيَّةِ وَاجِبٌ
, وَأَمَّا الابْتِدَاءُ بِالتَّهْنِئَةِ فَلَيْسَ سُنَّةً مَأْمُورًا بِهَا , وَلا هُوَ أَيْضًا مَا نُهِيَ عَنْهُ , فَمَنْ فَعَلَهُ
فَلَهُ قُدْوَةٌ , وَمَنْ تَرَكَهُ فَلَهُ قُدْوَةٌ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ"
اهـ .
Apakah ucapan selamat ketika hari raya dan kalimat
yang biasa diucapkan manusia: ‘Iduka Mubarak, dan yang semisalnya,
memiliki dasar dalam syariat atau tidak? Kalau memang ada dasarnya seperti apa
ucapannya?
Beliau
menjawab:
Ada pun ucapan selamat ketika
hari raya yang diucapkan manusia satu sama lain setelah mereka shalat Id: taqabballahu
minna wa minkum .., wa ahallallahu ‘alaika .., dan yang semisalnya, maka yang demikian ini telah diriwayatkan
bahwa para sahabat nabi melakukannya dan mereka memberikan keringanan atas hal
itu, juga para imam, seperti Imam Ahmad dan lainnya. Tetapi Imam Ahmad berkata:
“Aku tidak memulai mengucapkannya kepada seorang pun, tapi jika ada seseorang
yang memulainya maka aku akan menjawabnya.” Ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai ucapan
selamat bukanlah sunah yang diperintahkan, dan tidak pula terlarang. Barang
siapa yang melakukannya maka dia memiliki contoh, dan barang siapa yang tidak
melakukannya maka dia juga memiliki contoh. Wallahu A’lam. (Al Fatawa Al
Kubra, 2/228)
- Imam Zakaria Al Anshari Rahimahullah
Beliau
mengatakan:
وَقَوْلُهُ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا
وَمِنْك أَيْ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِمَّا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِي التَّهْنِئَةِ وَمِنْهُ
الْمُصَافَحَةُ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ فِي يَوْمِ الْعِيدِ أَنَّهَا لَا تُطْلَبُ
فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَمَا بَعْدَ يَوْمِ عِيدِ الْفِطْرِ لَكِنْ جَرَتْ عَادَةُ
النَّاسِ بِالتَّهْنِئَةِ فِي هَذِهِ الْأَيَّامِ وَلَا مَانِعَ مِنْهُ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ
مِنْهُ التَّوَدُّدُ وَإِظْهَارُ السُّرُورِ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ أَيْضًا فِي
يَوْمِ الْعِيدِ أَنَّ وَقْتَ التَّهْنِئَةِ يَدْخُلُ بِالْفَجْرِ لَا بِلَيْلَةِ الْعِيدِ
Ucapannya (taqabbalallahu
minna wa minka) -yaitu- dan ucapan yang semisalnya, yang telah menjadi adat
kebiasaan dalam ucapan selamat, dan termasuk berjabat tangan, yang biasa
digunakan pada hari raya, ini tidaklah
diperintahkan pada hari-hari tasyriq dan tidak pula setelah hari Idul Fitri.
Tetapi sebagian manusia terbiasa mengucapkannya pada hari-hari tesebut dan hal
itu tidak ada larangannya, karena maksudnya adalah untuk memperlihatkan rasa
cinta dan menampakkan kebahagiaan.
Ucapan ini juga diucapkan pada hari raya, dan waktu ucapan selamat itu
adalah ketika sudah masuk fajar bukan ketika malam hari rayanya. (Hasyiyah
Al Jumal, 6/264. Mawqi’ Al Islam)
- Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah
Beliau
ditanya:
يقول الناس في تهنئة بعضهم البعض يوم
العيد ( تقبل الله منا ومنكم الأعمال الصالحة) أليس من الأفضل يا سماحة الوالد أن يدعو
الإنسان بتقبل جميع الأعمال , وهل هناك دعاء مشروع في مثل هذه المناسبة؟
ج: لا حرج أن يقول المسلم لأخيه في
يوم العيد أو غيره تقبل الله منا ومنك أعمالنا الصالحة , ولا أعلم في هذا شيئا منصوصا
, وإنما يدعو المؤمن لأخيه بالدعوات الطيبة; لأدلة كثيرة وردت في ذلك. والله الموفق
.
Dalam
ucapan selamat pada hari raya, manusia mengucapkan (Taqabballallahu minna wa
minkum al a’maal ash Shaalih), apakah hal ini –wahai syaikh- bukan termasuk keutamaan mendoakan manusia
agar diterima semua amalnya? Apakah ada doa khusus yang disyariatkan pada momen
seperti ini?
Jawaban:
“Tidak apa-apa seorang muslim berkata kepada saudaranya pada hari raya dan
selainnya dengan ucapan: Taqabballallahu minna wa minkum al a’maal ash
Shaalih, saya tidak mengetahui adanya nash sedikit pun tentang ucapan
seperti ini. Sesungguhnya seorang mu’min
mendoakan saudaranya hanyalah mendoakannya dengan berbagai doa-doa yang
baik, karena dalilnya begitu banyak tentang hal ini. Wallahu A’lam (Majmu’
Fatawa Ibni Baaz, 13/25)
Maka,
ucapan doa apa pun yang baik-baik adalah boleh.
- Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah
Beliau ditanya:
ما حكم التهنئة بالعيد
؟ وهل لها صيغة معينة ؟
فأجاب :
"التهنئة بالعيد جائزة
، وليس لها تهنئة مخصوصة ، بل ما اعتاده الناس فهو جائز ما لم يكن إثماً"
Apakah hukum ucapan selamat ketika
hari raya? Apakah ada ucapan khususnya ?
Beliau
menjawab:
“Ucapan
selamat pada saat hari raya adalah boleh, dan tidak ada ucapan selamat yang
khusus, bahkan ucapan yang telah menjadi kebiasaan manusia adalah boleh selama
tidak mengandung dosa.”
Lalu
Beliau ditanya lagi:
ما حكم المصافحة ، والمعانقة
والتهنئة بعد صلاة العيد
؟
فأجاب :
"هذه الأشياء لا بأس
بها ؛ لأن الناس لا يتخذونها على سبيل التعبد والتقرب إلى الله عز وجل ، وإنما يتخذونها على سبيل العادة ، والإكرام
والاحترام ، ومادامت عادة لم يرد الشرع بالنهي عنها فإن الأصل فيها الإباحة"
Apakah
hukum berjabat tangan, berangkulan, dan ucapan selamat ketika hari raya?
Beliau
menjawab:
Semuanya tidak apa-apa, karena manusia melakukannya
tidak menjadikannya sebagai maksud peribadatan dan tidak sebagai sarana untuk taqarrub
ilallah, tetapi mereka melakukan itu sebagai kebiasaan saja, untuk
memuliakan dan menghormati, dan terus menerus menjalankan kebiasaan selama
tidak ditentang oleh syariat dengan larangan, maka pada dasarnya boleh saja. (Majmu’
Fataawa Ibni Utsaimin, 16/208-210)
- Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah
Beliau berkata:
لا مانع من تهنئة الناس
بعضهم لبعض بالمناسبات السعيدة ، بل قد يكون ذلك سنة يثاب عليها الإنسان إذا قصد بذلك
إدخال السرور على أخيه المسلم ، لمشاركته فرحته بهذه المناسبة أو النعمة التى أنعم
الله بها عليه
Tidak
terlarang ucapan selamat manusia kepada selainnya pada saat momen-momen yang
membahagiakan, bahkan hal itu menjadi perbuatan
yang dianjurkan, dan mendapatkan pahala bagi orag yang melakukannya jika hal itu dimaksudkan untuk membuat
bahagia saudaranya yang muslim, supaya dia ikut merasakan kegembiraannya itu
baik pada sebuah acara atau karena nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepadanya.
(Fatawa Al Azhar, 10/418)
Dan
masih banyak ulama lainnya.
Wallahu A’lam
Ustadz Farid Nu'man