
Islamedia - Hampir 12 tahun sudah sahabat ku
ini, Ahmad namanya, melewati pernikahannya.
Mereka sudah dikaruniai 4 orang anak yang sehat dan lucu-lucu. Dan aku sebagai sahabatnya, tahu persis,
bahwa sepertinya kehidupan Ahmad bahagia dan tidak ada masalah yang besar dalam
setiap tahun-tahun perjalanan nikahnya. Kalaupun
ada masalah, entah masalah pekerjaan di kantor, ataupun masalah keluarga,
seringkali aku dijadikan tempat mengadunya. Itupun kalau sudah tidak bisa menyelesaikan
sendiri masalahnya, maka baru Ia bercerita kepadaku. Bukan karena apa-apa, karena aku adalah teman
liqo’atnya sejak sebelum dia menikah dulu.
Walaupun sempat sekitar setahun berbeda kelompok liqo’at, karena setelah
menikah Ia mengikuti keinginan istrinya untuk menetap di rumah orang tua
istrinya, tetapi kemudian dipersatukan lagi denganku, karena kebetulan aku
pindah rumah tinggal yang masih satu keluruhan dengan rumah mertua Ahmad.
Dua minggu yang lalu, Ahmad
pulang kampung, menengok Ibunya yang sedang sakit. Sepulang dari kampung, kali ini sahabatku
sepertinya agak serius, bercerita tentang masalah keluarganya, terutama tentang
pilihannya untuk menikahi Husna sebagai istrinya. Walaupun sebenarnya bukan masalah juga sih
bagi Ahmad. Tetapi Ia ingin minta
dikuatkan saja hatinya, terutama dari orang-orang baik yang dikenalnya.
“Akhi…, sepertinya berat juga ya,
meyakinkan orang tua…”
“Memang kenapa akhi…, harusnya
senang dong dah ketemu orang tua”. Aku
sedikit bercanda, walaupun sebenarnya saya tahu, melihat mimik mukanya, Ahmad
sedang sangat serius.
“Sepertinya… bapak masih belum
‘sreg’ juga atas pilihanku, menjadikan Husna sebagai istriku”
“Padahal kejadian itu sudah 12
tahun yang lalu…” Sambung Ahmad lagi.
Cerita Ahmad kali ini
mengingatkan aku kembali, 12 tahun yang lalu, ketika Ahmad akan menikah dengan
Husna. Waktu itu Husna adalah gadis
calon istri pilihan Ahmad sendiri, mereka dipertemukan dalam kelompok
pengajian, yang tadinya belum saling mengenal, apalagi yang namanya pacaran,
mereka tidak pernah melakukan itu. Husna
adalah adalah gadis yatim yang Bapaknya meninggal ketika sedang melakukan
ibadah haji. Memang Husna bukanlah gadis
seperti yang diharapkan bapaknya Ahmad.
Bapaknya Ahmad mengharapkan, bahwa suatu saat nanti yang manjadi istri Ahmad
adalah seorang sarjana, karena Ahmad juga sarjana. Sedangkan Husna hanya lulusan SMA, walapun sebenarnya
pernah kuliah tetapi tidak sampai selesai. Tetapi kemudian akhirnya Bapaknya
Ahmad menyetujuinya, setelah Ahmad meyakinkan, bahwa kalau suatu saat nanti Dia
akan bertanggung jawab atas pilihannya.
Walaupun dikemudian hari Ahmad dikasih tahu Bapaknya, sebenarnya sudah
ada calon pilihan Bapaknya, yang belum sempat ditawarkan ke Ahmad. Karena masih mengira, saat itu anaknya belum
ada keinginan untuk menikah.
Salah satu niat Ahmad saat itu
juga karena didorong keinginan untuk sedikit menolong meringankan kondisi Husna
yang agak terguncang, sepeninggal Bapaknya, Ia menjadi gadis yang kurang ceria,
sering murung di kamar, sehingga sering tidak masuk kuliah. Emosinya belum stabil, kadang timbul rasa
sedih yang amat, tetapi tiba-tiba muncul perasaan gembira. Sudah sering dibawa berobat oleh Ibunya,
bahkan ke psikiater juga pernah dilakukan. Alhamdulillah, berangsur-angsur kondisinya
makin membaik, yang akhirnya juga, kemudian Ia ikut mengaji di suatu halaqoh, karena
diajak oleh adik perempuannya, Hasna, yang sebelumnya sudah ikut mengaji. Nah, kondisi ini yang tidak Ahmad ceritakan sebelum
pernikahan berlangsung ke Bapaknya.
Belum lagi Husna yang juga mempunyai penyakit asma yang cukup berat
kondisinya, karena telah lama Ia derita sejak umur 3 tahun.
Saat itu aku ikut menguatkan hati
Ahmad, bahwa pernikahan tidak hanya masalah fisik saja. Memang Husna adalah gadis yang cantik,
kulitnya bersih. Bisa jadi setiap
laki-laki yang melihatnya akan terpesona atas kecantikan wajahnya. Tetapi setiap manusia yang mempunyai
kelebihan, disisi lain pasti ada kekurangan.
Sebaliknya, dibalik banyak kelemahan, pasti ada sifat-sifat baiknya. Dan
Ahmad saat itu memahami betul, dan akan berusaha untuk menghadapi itu semua
kekurangan calon istrinya itu dengan keyakinannya, bahwa pernikahan ini Insya
Allah dalam rangka menggenapkan setengah Dienya, dan mengikuti sunnah Rasulnya,
seperti yang Ia dapatkan dalam setiap pengajiannya.
“Memang…Bapak antum kenapa
Akhi…?” Tanyaku agak keheranan
Lalu Ahmad bercerita, bahwa
Bapaknya menanyakan tentang kondisi keluarga Ahmad, apakah saya tidak capek
menghadapi semua ini?. Karena, seringnya
istri Ahmad harus dirawat di rumah sakit akibat asmanya kambuh. Sudah tak terhitung
barangkali, Husna dirawat di rumah sakit, dan Ahmad sendiri yang harus
menjaganya. Apalagi pada masa-masa kehamilan, asmanya bisa tiba-tiba kambuh. Belum lagi yang kadang-kadang kondisi
psikisnya kurang stabil.
Tetapi Ahmad tidak pernah mengeluh,
terus berusaha untuk mendampingi istrinya, setiap kali mengalami kondisi yang
kurang stabil itu. Tidak segan-segan Ahmad ikut membantu mengurus anak-anaknya.
Sehingga seringkali dia yang memandikan anak-anak, menyuapi, atau menyiapkan
sekolah anak-anaknya. Kondisi ini mudah
terlihat, setiap kali Ahmad dan anak-anaknya sedang liburan di kampung
Bapaknya, atau orang tua Ahmad sedang berada di rumah Ahmad di Jakarta, maka
seringkali yang mengurus mandi, makan, atau keperluan anak lainnya adalah
Ahmad. Ada khadimat, tetapi kalau lagi
ada bapaknya, maka anak-anak lebih memilih sama bapaknya.
“Akhi…itu bukan Bapak antum nggak
‘sreg’ atas pilihan antum…”
“Bapak antum sebenarnya memuji
antum saja…”
“Bahwa, ternyata antum itu seorang
Suami yang bertanggung jawab…”
Aku mencoba menguatkan hati
Ahmad, bahwa memang benar. Orang tua
Ahmad secara tidak langsung sebenarnya memuji ketangguhan Ahmad sebagai seorang
Suami. Cuma Ahmadnya saja yang terbawa
hatinya pada suasana dulu ketika akan menikahi Husna. Sehingga seolah-olah Bapaknya masih tidak
‘sreg’ atas pilihan sendiri calon istrinya.
Atau sebenarnya wajar juga pertanyaan itu oleh orang tuanya, karena
adalah manusiawi bahwa setiap orang tua tidak ingin melihat anaknya itu hidup
dalam kesulitan, kekurangan, ketidakbahagiaan.
Apalagi hidup jauh dari orang tua.
Tak terasa cukup lama aku memberi
masukan kepada Ahmad, untuk menguatkan hatinya.
Dan tampak terlihat matanya berkaca-kaca, mengeluarkan air mata.

“Akhi…Antum adalah sahabat
terbaikku…” Kata Ahmad sambil memeluk aku, suaranya parau, wajahnya basah oleh
air matanya.
“Antum…Suami yang tangguh Akhi…”
“12 tahun Antum…bisa
menjalaninya…”
“Bisa jadi…, kalau itu terjadi
padaku…Ana nggak setangguh Antum…”
Cukup lama kami berpelukan, tak
terasa air mata ikut menetes membasahi wajahku.
Luar biasa sahabatku ini, banyak
sudah pelajaran hidup yang bisa aku petik, karena aku melihat sendiri, bahkan
itu terjadi pada sahabatku Ahmad.
Ya…Allah sampaikan keberkahan-Mu
pada Sahabatku, Ahmad dan keluarganya…
H Amin
H Amin