Islamedia - 48 jam sebelum Pilpres putaran kedua digelar, Dewan Militer Mesir
secara mengejutkan membubarkan 1/3 parlemen revolusi mesir, dan membekukan 2/3
sisanya. Hal itu dilakukan menyusul keputusan parlemen yang menganulir keikutsertaan
Ahmad Syafiq dalam pilpres putaran kedua. Tindakan sepihak yang dilakukan Dewan
Militer ini tidak hanya mencederai cita-cita revolusi tapi juga proses
demokrasi mesir yang sedang dibangun. Berbagai kekuatan politik pun langsung
bereaksi dengan mengancam akan memboikot Pilpres. Disisi lain Muhammad Moursi,
capres yang diajukan Ikhwanul Muslimin menolak usulan tersebut dan menyatakan
akan tetap maju dalam Pilpres apapun kondisinya.
Dalam pernyataan resminya Muhammad Moursi mengatakan pilpres
adalah kesempatan terakhir bagi kelanjutan revolusi mesir. Jika parlemen tidak
bisa menghentikan langkah capres Ahmad Syafiq yang tetap diperbolehkan maju
dalam pilpres putaran kedua. Maka suara rakyatlah
yang akan menghentikan langkah capres status quo ini.
Melihat latar belakang Moursi dan Syafiq, rasanya tidak
terlalu sulit memetakan kekuatan dukungan keduanya. Muhammad Moursi adalah
capres yang diajukan partai Hurriyah wal adalah, partai yang berafiliasi
kepada jamaah Ikhwanul Muslimin. Kekuatan terbesar revolusi mesir 25 januri
2011. Sedang Ahmad Syafiq adalah mantan Perdana Mentri mesir era Husni Mubarak.
Ia juga pernah menjabat Menteri Perhubungan selama dua periode.
Dengan demikian Moursi mewakili kekuatan revolusi mesir.
Sedang Syafiq mewakili kekuatan rezim lama. Kemenangan Moursi adalah kemenangan
revolusi. Dan tentu saja kemenangan kekuatan islam yang pada pilpres putaran
kedua ini telah bersatu dan bulat mendukung capres ini. Sebaliknya kemenangan Syafiq adalah kemenangan rezim
otoriter yang baru 18 bulan yang lalu runtuh. Itu artinya revolusi menemukan
jalan buntu. Cita-cita revolusi yang pernah digelorakan seakan mati sia-sia.
Darah korban revolusi bahkan belum sempat terbayar. Akibat lambannya proses
peradilan yang masih dikontrol oleh pihak militer. Patutlah kiranya bangsa
mesir belajar dan instropeksi diri agar tidak kembali ke masa kelam ketika di
pimpin oleh Husni Mubarak.
Pertama: Peta Dukungan Moursi dan Trauma Sejarah
Lebih dari tiga puluh tahun
bangsa mesir dipimpin oleh rezim otoriter. Selama kurun waktu itu rakyat
hidup dalam ketidakadilan. Bukan hanya kemiskinan dan kesengsaran yang
terwariskan kepada anak cucu negeri ini. Lebih dari itu, trauma dan ketakutan
hidup mengganggu mimpi generasi muda negeri ini. Bahkan, jauh sebelum Husni
Mubarak berkuasa, sejarah telah mencatat bahwa bangsa mesir telah akrab dengan
rezim otoriter. Kisah Firaun dengan segala kesombongannya menjadi episode
panjang yang tercatat dalam Al-Quran.
Tidak hanya kisahnya yang setiap saat dapat kita baca, namun peninggalan para
pewaris rezim otoriter ini masih tertata rapi dan tersebar di beberapa tempat
di mesir.
Dari sinilah peta kekuatan Mursi terhimpun. Para pemilih
Moursi adalah mereka yang berada dalam barisan revolusi. Mereka tidak rela
dipimpin kembali oleh rezim otoriter untuk kesekian kalinya. Lebih-lebih mereka
yang pernah terlibat dalam pemerintahan Husni Mubarak. Secara umum kekuatan
suara Moursi dapat dipetakan sebagai berikut:
1. Kader Ikhwan
Tidak bisa dipungkiri bahwa kekuatan
terbesar Moursi berasal dari kader
ikhwan yang jumlahnya mencapi tujuh juta orang. Pada Pilpres putaran pertama
massa Ikhwan sempat terpecah antara tiga capres yaitu, Moursi (capres resmi
Ikhwan) dan Aboul Foutuh dan Salim Awwa. Foutuh dan Awwa adalah mantan aggota
Ikhwan yang maju lewat jalur independen. Namun pada Pilpres kedua ini kader Ikhwan kembali
bersatu dan bulat mendukung Moursi. Pada Pilpres pertama foutuh mendapat 3 juta
lebih suara atau 17 % sedang Awwa hanya mendapat sekitar 200 ribu suara.
2. Massa capres Hamdeen Shobahi.
Pada Pilpres putaran pertama suara Hamdeen
Shobahi cukup signifikan dengan meraih sekitar 4 juta lebih suara, atau 20 %. Pada pilpres putaran kedua Hamdeen
Shobahi secara resmi menyatakan golput dan tidak mendukung ke capres manapun. Bahkan
ia menolak saat mendapat tawaran wakil presiden oleh salah satu capres. Sementara
pemilihnya diberikan kebebasan untuk memilih capres sesuai dengan keinginan. Suara
massa capres Shobahi diperkirakan terbelah antara Moursi dan Syafiq dan
sebagian memilih golput.
3. Massa Salafi.
Kekuatan suara Moursi berikutnya berasal dari massa salafi yang
mewakili partai Hizbu Annour. Pada pilpres putaran pertama Hizbu An-nour
memberikan dukungan resmi kepada Aboul Foutuh. Walaupun pada kenyataannya massa
salafi lebih banyak memilih Golput. Sedang pada putaran kedua Hizbu An-nour
secara resmi memberikan dukungan kepada Moursi. Seperti pada putaran pertama sebagian
massa salafi kembali memilh golput walaupun jumlahnya cenderung menurun.
Kedua: Peta Kekuatan Syafiq dan Isu Kebangkitan Islam.
Mesir adalah simbol peradapan islam. Kejayaan Daulah
Fatimiyah di Mesir telah berhasil mengalihkan peta kekuatan dunia Islam yang dulu
hanya dikenal lewat kejayaan Daulah Abasiyah di Baghdad. Tradisi intelektual
telah ada dan berkembang sejak ribuan tahun. Jutaan karya tertulis oleh tangan-tangan
ulama. Salah satu simbol perngetahuan itu adalah universitas azhar yang telah
berusia ratusan tahun. Azhar menjadi salah satu Universitas yang masih menjaga tradisi
turats islami. Hingga sampai sekarang universitas Azhar tetap menjadi simbol
dan rujukan bagi pengkaderan ulama di dunia. Jutaan orang datang dari belahan
dunia dan menimba ilmu di sini.
Keberadaan Universitas Azhar sebagai pusat pemikiran islam
tidak serta merta merubah cara pandang masyarakat mesir terhadap kebangkitan
islam. Lebih khusus tentang syariat islam. Di negeri ini, fenomena menarik
orang membaca Al-Quran mudah ditemui di berbagai tempat dan kesempatan. Tidak hanya
di masjid, dan kampus, bahkan jalan-jalan, bus dan juga kereta. Sayangnya kata
syariat islam seakan masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian masyarakat. Dan
pada pergelaran pilpres putaran kedua ini, isu ini menjadi senjata ampuh untuk
menjatuhkan capres dari kalangan islam.
Dari opini syariat islam yang disebarkan melalui media massa,
nyatanya cukup efektif untuk membangun kekuatan rezim lama. Dari sinilah kekuatan
Syafiq terhimpun. Mereka adalah orang-orang yang takut akan lahirnya kebangkitan
islam yang diwakili oleh capres ikhwan. Secara umum kekuatan suara Syafiq dapat
dipetakan sebagai berikut:
1. Warga Koptik.
Massa koptik menjadi kekuatan
terbesar Syafiq dalam pilpres putaran kedua ini. Pada putaran pertama warga
koptik juga telah bulat mendukung capres ini. Jumlah penduduk koptik di mesir cukup
siqnifikan, mencapai 5 juta orang. Berdasarkan informasi yang tersebar Syafiq memberikan
apresiasi dukungan warga koptik dengan janji akan memasukan ayat-ayat injil ke
dalam undang-undang mesir yang baru. Salain itu Syafiq juga menjanjikan 10
perwakilan dari warga koptik yang akan duduk dalam pemerintahan baru mesir jika
dia terpilih. Ikhwan langsung merespon taktik adu domba antara kaum muslimin
dengan warga koptik. Dalam berbagai pernyataan, ikhwan kembali mengingatkan
peran serta warga koptik dalam peristiwa revolusi mesir. Dimana warga koptik
adalah bagian dari kekuatan revolusi yang berhasil menggulingkan Husni Mubarak.
2. Massa Amrou Mossa.
Selain kekuatan warga koptik, Syafiq
juga mendapat limpahan suara dari pemilih Amrou Mussa. Pada pilpres pertama
Mousa mendapat 2 juta lebih suara atau 12 %. Pada putaran kedua diperkirakan
suara pemilih mousa jatuh ke tangan Syafiq.
3. Massa Hamdeen Shobahi,
selain memilih Moursi, sebagiam massa
Hamdeen Shobahi juga memberikan suaranya untuk Syafiq. Perbandingan jumlah
suara cukup berimbang dengan kekuatan suara yang diberikan untuk Moursi dan
juga Syafiq.
4. Kaum Suffi.
Pada pilpres putaran pertama,
diperkirakan suara kaum sufi masuk ke capres Hamdeen Shobahi. Sedang pada
putaran kedua, suara kaum bulat mendukung capres Syafiq. Cukup mengejutkan. Ketika
kekuatan Suffi justru memberikan suaranya untuk Syafiq. Hal ini terjadi setelah
isu negatif yang disebarkan untuk
menyerang ikhwanul muslimin. Dimana jika Capres ikhwan menang maka akan terjadi
diskriminatif terhadap kaum sufi.
Ketiga: Tidak memilih (Golput)
Pesta demokrasi yang diselenggarakan harusnya menjadi
pengobat rasa takut yang telah menjangkit masyarakat mesir puluhan tahun. Namun
kenyataannya, hingga detik-detik akhir menjelang pemilihan tidak sedikit yang
masih ragu bahkan takut menetukan pilihannya. Sebagian lagi terang-terangan menyatakan diri tidak akan
memilih pada pilpres putaran kedua nanti.
Tingginya angka golput pada pilpres putaran kedua juga melanjutkan
tren golput pada pilpres putaran pertama. Pada pilpres putaran pertama
keikutsertaan warga dalam pilpres hanya 20 juta dari 50 juta penduduk mesir
yang mempunyai hak pilih atau hanya 40% saja.
Sedang pada putaran kedua naik menjadi sekitar 25 juta. Atau hanya naik
sekitar 5 juta suara. Hal ini semakin
menegaskan bahwa demokrasi di negeri ini masih menjadi momok menakutkan bagi
sebagian besar warganya.
Kemenangan Moursi pada pilpres kali ini tidak hanya menjadi
sejarah baru bagi demokrasi mesir. Tetapi juga menjadi babak baru pergerakan Ikhwanul
Muslimin yang kini telah menapakkan satu kakinya pada fase Islahul hukumah.
Khususnya Mesir. Tanah kelahiran pergerakan ini. Mampukah Moursi dan ikhwan
menjawab segala ketakutan dan keraguan yang membayangi selama pelaksanaan
Pilpres. Tugas belum selesai dan baru akan dimulai. Wallahu A’lam Bishowab

Mufied
Haris
Penggemar
sastra dan buku-buku Pemikiran Islam. Sekarang sedang menyelesaikan program
master di Universitas Al-Azhar Kairo, Fakultas Pendidikan, Program Kependidikan
Islam.