Islamedia - Tudingan terhadap perilaku intoleransi masyarakat Indonesia terus
berdatangan. Kalangan aktivis HAM dan media massa terus menyoroti lemahnya
Indonesia dalam menjaga toleransi. Catatan ini salah satunya datang dari dunia
internasional yang menyesalkan lemahnya penegakan hak beragama di Indonesia. Berdasarkan pertemuan ke – 13 kelompok Kerja
Universal Periodic Review (UPR) yang berlangsung 23 – 25 Mei 2012 di Jenewa
Swiss, dunia internasional mengeluarkan pernyataan umat Islam Indonesia
intoleran.
Mereka berpandangan toleransi muslim Indonesia masih sangat
rendah. Dalam konteks HAM, para peserta sidang Universial Periodic Review
mempertanyakan beberapa upaya yang diambil pemerintah dalam melindungi hak kaum
minoritas religius. Tudingan mengarah pada beberapa persoalan keagamaan di
Indonesia yaitu kasus GKI Yasmin dan Gereja Filadelfia. Data lemahnya
intoleransi Indonesia sendiri disampaikan LSM Human Rights Watch.
Belum reda kritikan internasional, tudingan terhadap intoleransi umat
beragama Indonesia kembali datang dari dalam negeri. Berdasarkan data
penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS)
menyebutkan sebanyak 59,5 % responden tidak berkeberatan bertetangga dengan
orang beragama lain. Sekitar 33,7 % lainnya menyatakan keberatan. Mengenai
pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 % responden
menyatakan lebih baik itu tidak dilakukan. Sekitar 22,1 % yang tidak
berkeberatan pendirian rumah ibadah agama lain.
Hasil survei juga menunjukkan munculnya ecenderungan intoleransi
pada kelompok masyarakat berpendidikan. Sekitar 20 % masyarakat berpendidikan
SD, SMP dan SMA menyatakan tidak keberatan dengan pembangunan rumah ibadah
agama lain di lingkungannya. Sedangkan 38,1 % masyarakat dengan pendidikan di
atas SMA menyatakan setuju Penelitian dilakukan pada Februari lalu di 23
provinsi dan melibatkan 2.213 responden.
Menjawab Tuduhan Palsu
Tudingan masyarakat internasional dan lembaga penelitian CSIS
adalah sebuah evaluasi mendasar bagi kehidupan beragama di Indonesia. Kita
mendapatkan kesadaran bagaimana tekanan internasional dalam menerapkan standar
ganda kehidupan demokrasi kembali terjadi. Satu sisi, Indonesia dibanggakan
predikat sebagai salah satu negara demokratis. Tapi sebutan itu sebenarnya
mengandung tekanan dan wacana provokatif untuk melemahkan umat Islam di
Indonesia. Apalagi kita mengetahui
tuduhan internasional datang dari negara seperti Belanda, Jerman, Italia
dan Indonesia. Negara itu dikenal sebagai negara pendukung sepilisme
(sekulerisme, liberalisme dan pluralisme)
Kita sebenarnya layak mempertanyakan ukuran internasional dan CSIS
mencap Indonesia sebagai negara intoleran. Sebab faktanya keharmonisan umat
beragama Indonesia dapat dikatakan sangat baik. Jika kalangan asing menuduh
Indonesia menghalangi pendirian rumah ibadah dan memakai kasus GKI Yasmin dan
Geraja Filadelfia sebagai contoh kasus. Jelas tudingan itu tidak mendasar
karena mengabaikan fakta pertambahan
jumlah rumah ibadah.
Menurut data Kementerian Agama sepanjang
tahun 1997 – 2004 pembangunan Gereja Katholik meningkat dari 4.934 menjadi
12.473 (153 %), Gereja Protestan dari 18. 877 menjadi 43. 909 (131 %), Wihara
dari 1.523 menjadi 7. 129 (368 %), Pura Hindu dari 4. 247 menjadi 24. 431
(475,25 %) sedangkan Masjid dari 392. 044 menjadi 643,843 (64 %) . Melihat
adanya data statistik pertambahan rumah ibadah kelompok non Islam, apakah layak
umat Islam Indonesia disebut intoleran?
Dalam persoalan hari besar agama, tokoh
Nahdatul Ulama KH Hasyim Muzadi mengatakan tidak ada umat Islam setoleran di Indonesia.
Kita dapat melihat bagaimana Indonesia membebaskan umat beragama mendirikan
rumah ibadah. Berbeda dengan Swiss yang melarang pendirian menara masjid dan
Prancis yang melarang jilbab. Indonesia
juga selangkah lebih maju dan berperadaban dari Denmark, Swedia dan norwegia
yang membolehkan adanya perkawinan sejenis. Mereka membiarkan kelompok yang
menyimpang secara rtesosial berkuasa dan merusak struktur tatanan masyarakat
humanis.
Untuk perayaaan hari besar agama lain
(bukan Islam) semisal Paskah, Waisak atau Nyepi, pemerintah Indonesia dalam kalender
memperlihatkan tanggal merah alias hari libur. Mereka bebas merayakannya tanpa diganggu
umat Islam. Untuk menduduki jabatan penting dipemerintahan, Umat Islam memberikan
kesempatan yang sama dan tidak lantas menggugat atau menyuruh mundur
orang-orang non muslim yang menduduki jabatan tersebut.
Sedangkan jika masyarakat internasional
mempertanyakan pelarangan Ahmadiyah. Umat Islam mana yang merelakan Nabi Muhammad
SAW mendapatkan penghinaan. Sebab Ahmadiyah jelas menyimpang dari pokok ajaran
Islam. Seandainya Ahmadiyah memposisikan diri sebagai agama sendiri, tentu umat
Islam Indonesia tidak akan mempersoalkan.
Masyarakat internasional juga
mempertanyakan adanya pelarangan Lady Gaga dan Irshad Manji. Keduanya adalah
pelopor gagasan sepilisme yang merusak tatanan akidah umat Islam. Selain itu,
mereka membawa tata nilai yang bertentangan dengan budaya dan etika bangsa
Indoensia. Jelas saja, masyarakat Indonesia menolak kedatangan mereka agar
tidak semakin mencemari pemikiran yang buruk kepada generasi muda Indonesia.
Agenda
Asing
Sungguh ada banyak pertanyaan mendasar di balik berbagai tudingan
kepada sistem keberagaman masyarakat Indonesia. Mereka yang menuduh terbukti
banyak mengabaikan fakta dan menguntungkan pihak tertentu. Jelas umat Islam
layak curiga adanya kepentingan asing yang tidak menginginkan kebangkitan
kelompok Islam. Allah SWT sudah menjelaskan konspirasi mereka dalam firman-Nya
:
“ Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:
“Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya
jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah
tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (QS 2 : 120)
Untuk itu, umat Islam harus menyadari sejak
dini agar tidak terperangkap penyesatan opini berbagai kalangan pembenci Islam.
Sudah waktunya persatuan dan kesatuan diutamakan dan menolak agenda asing yang
merusak keharmonisan antar umat beragama di Indonesia. Kesadaran kolektif dan
semangat intelektual harus ditumbuhkan untuk membantah argumen kalangan yang
tidak menginginkan Indonesia damai, aman dan sejahtera.

Inggar
Saputra
Peneliti
Institute For Sustainable Reform (Insure)