Demokrasi dan Ujian Toleransi -->

Demokrasi dan Ujian Toleransi

Jumat, 08 Juni 2012
IslamediaTudingan terhadap perilaku intoleransi masyarakat Indonesia terus berdatangan. Kalangan aktivis HAM dan media massa terus menyoroti lemahnya Indonesia dalam menjaga toleransi. Catatan ini salah satunya datang dari dunia internasional yang menyesalkan lemahnya penegakan hak beragama di Indonesia.  Berdasarkan pertemuan ke – 13 kelompok Kerja Universal Periodic Review (UPR) yang berlangsung 23 – 25 Mei 2012 di Jenewa Swiss, dunia internasional mengeluarkan pernyataan umat Islam Indonesia intoleran.

Mereka berpandangan toleransi muslim Indonesia masih sangat rendah. Dalam konteks HAM, para peserta sidang Universial Periodic Review mempertanyakan beberapa upaya yang diambil pemerintah dalam melindungi hak kaum minoritas religius. Tudingan mengarah pada beberapa persoalan keagamaan di Indonesia yaitu kasus GKI Yasmin dan Gereja Filadelfia. Data lemahnya intoleransi Indonesia sendiri disampaikan LSM Human Rights Watch.

Belum reda kritikan internasional, tudingan terhadap intoleransi umat beragama Indonesia kembali datang dari dalam negeri. Berdasarkan data penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan sebanyak 59,5 % responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 % lainnya menyatakan keberatan. Mengenai pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 % responden menyatakan lebih baik itu tidak dilakukan. Sekitar 22,1 % yang tidak berkeberatan pendirian rumah ibadah agama lain.  

Hasil survei juga menunjukkan munculnya ecenderungan intoleransi pada kelompok masyarakat berpendidikan. Sekitar 20 % masyarakat berpendidikan SD, SMP dan SMA menyatakan tidak keberatan dengan pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya. Sedangkan 38,1 % masyarakat dengan pendidikan di atas SMA menyatakan setuju Penelitian dilakukan pada Februari lalu di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden.

Menjawab Tuduhan Palsu

Tudingan masyarakat internasional dan lembaga penelitian CSIS adalah sebuah evaluasi mendasar bagi kehidupan beragama di Indonesia. Kita mendapatkan kesadaran bagaimana tekanan internasional dalam menerapkan standar ganda kehidupan demokrasi kembali terjadi. Satu sisi, Indonesia dibanggakan predikat sebagai salah satu negara demokratis. Tapi sebutan itu sebenarnya mengandung tekanan dan wacana provokatif untuk melemahkan umat Islam di Indonesia. Apalagi kita mengetahui  tuduhan internasional datang dari negara seperti Belanda, Jerman, Italia dan Indonesia. Negara itu dikenal sebagai negara pendukung sepilisme (sekulerisme, liberalisme dan pluralisme)

Kita sebenarnya layak mempertanyakan ukuran internasional dan CSIS mencap Indonesia sebagai negara intoleran. Sebab faktanya keharmonisan umat beragama Indonesia dapat dikatakan sangat baik. Jika kalangan asing menuduh Indonesia menghalangi pendirian rumah ibadah dan memakai kasus GKI Yasmin dan Geraja Filadelfia sebagai contoh kasus. Jelas tudingan itu tidak mendasar karena mengabaikan fakta  pertambahan jumlah rumah ibadah.

Menurut data Kementerian Agama sepanjang tahun 1997 – 2004 pembangunan Gereja Katholik meningkat dari 4.934 menjadi 12.473 (153 %), Gereja Protestan dari 18. 877 menjadi 43. 909 (131 %), Wihara dari 1.523 menjadi 7. 129 (368 %), Pura Hindu dari 4. 247 menjadi 24. 431 (475,25 %) sedangkan Masjid dari 392. 044 menjadi 643,843 (64 %) . Melihat adanya data statistik pertambahan rumah ibadah kelompok non Islam, apakah layak umat Islam Indonesia disebut intoleran?

Dalam persoalan hari besar agama, tokoh Nahdatul Ulama KH Hasyim Muzadi mengatakan tidak ada umat Islam setoleran di Indonesia. Kita dapat melihat bagaimana Indonesia membebaskan umat beragama mendirikan rumah ibadah. Berbeda dengan Swiss yang melarang pendirian menara masjid dan Prancis yang melarang jilbab.  Indonesia juga selangkah lebih maju dan berperadaban dari Denmark, Swedia dan norwegia yang membolehkan adanya perkawinan sejenis. Mereka membiarkan kelompok yang menyimpang secara rtesosial berkuasa dan merusak struktur tatanan masyarakat humanis.

Untuk perayaaan hari besar agama lain (bukan Islam) semisal Paskah, Waisak atau Nyepi, pemerintah Indonesia dalam kalender memperlihatkan tanggal merah alias hari libur. Mereka bebas merayakannya tanpa diganggu umat  Islam. Untuk menduduki jabatan penting dipemerintahan, Umat Islam memberikan kesempatan yang sama dan tidak lantas menggugat atau menyuruh mundur orang-orang non muslim yang menduduki jabatan tersebut.

Sedangkan jika masyarakat internasional mempertanyakan pelarangan Ahmadiyah. Umat Islam mana yang merelakan Nabi Muhammad SAW mendapatkan penghinaan. Sebab Ahmadiyah jelas menyimpang dari pokok ajaran Islam. Seandainya Ahmadiyah memposisikan diri sebagai agama sendiri, tentu umat Islam Indonesia tidak akan mempersoalkan.

Masyarakat internasional juga mempertanyakan adanya pelarangan Lady Gaga dan Irshad Manji. Keduanya adalah pelopor gagasan sepilisme yang merusak tatanan akidah umat Islam. Selain itu, mereka membawa tata nilai yang bertentangan dengan budaya dan etika bangsa Indoensia. Jelas saja, masyarakat Indonesia menolak kedatangan mereka agar tidak semakin mencemari pemikiran yang buruk kepada generasi muda Indonesia.

Agenda Asing
Sungguh ada banyak pertanyaan mendasar di balik berbagai tudingan kepada sistem keberagaman masyarakat Indonesia. Mereka yang menuduh terbukti banyak mengabaikan fakta dan menguntungkan pihak tertentu. Jelas umat Islam layak curiga adanya kepentingan asing yang tidak menginginkan kebangkitan kelompok Islam. Allah SWT sudah menjelaskan konspirasi mereka dalam firman-Nya :

“ Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (QS 2 : 120)

Untuk itu, umat Islam harus menyadari sejak dini agar tidak terperangkap penyesatan opini berbagai kalangan pembenci Islam. Sudah waktunya persatuan dan kesatuan diutamakan dan menolak agenda asing yang merusak keharmonisan antar umat beragama di Indonesia. Kesadaran kolektif dan semangat intelektual harus ditumbuhkan untuk membantah argumen kalangan yang tidak menginginkan Indonesia damai, aman dan sejahtera.


http://4.bp.blogspot.com/-9wDmfGqb30k/Tec1st00MbI/AAAAAAAAASc/-LPdQ6odiCU/s200/Inggar%2BSaputra.jpg
Inggar Saputra
Peneliti Institute For Sustainable Reform (Insure)