Islamedia - Akhir-akhir ini kita sering mendengar atau melihat seminar dengan
judul yang membuat mata seorang dokter terbelalak. “Imunisasi lumpuhkan
generasi” atau “Wahai para orangtua bekali dirimu dengan pengetahuan
tentang bahaya imunisasi”.
Sebagai seorang dokter saya lalu merenung,
bila benar apa yang mereka serukan itu, betapa besar dosa saya sebagai
dokter anak yang sering mengimunisasi bayi dan anak yang datang ke
tempat praktek.
Betapa jahatnya saya sebagai manusia karena telah
mengimunisasi begitu banyak bayi dan anak selama ini, bahkan sejak saya
masih sebagai dokter umum di puskesmas dahulu. Lalu saya merenung dan
mencoba meneliti kembali permasalahan ini. Siapa sebenarnya yang salah
dan siapa yang benar? Dalam kontroversi yang memuat perbedaan 180
derajat ini, tidak mungkin kedua-duanya salah atau benar. Pasti salah
satu benar dan yang lain salah. Dan saya khawatir bila selama ini
sayalah yang bersalah itu. Saya sungguh khawatir jangan-jangan saya
telah melumpuhkan begitu banyak generasi muda. Jangan-jangan saya telah
melakukan dosa kemanusiaan yang sangat besar. Galau habis-habisan.
Rasa
galau itu membuat saya membuka-buka literatur dan data yang ada tentang
permasalahan imunisasi. Saya mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi
dengan seruan yang menentang keras imunisasi. Suatu pernyataan yang
sangat bertolak belakang dengan yang selama ini saya pelajari bahwa
imunisasi itu suatu tindakan preventif yang amat bermanfaat buat
kemanusiaan. Di lain pihak kegalauan saya juga semakin menjadi bila
mengingat andai seruan tersebut kemudian menyebar ke masyarakat luas
lalu apa yang akan terjadi dengan bayi-bayi mungil tak berdosa itu di
kemudian hari? Mungkinkah penyakit-penyakit berat yang dapat dicegah
dengan imunisasi akan bangkit kembali dari kuburnya gara-gara seruan
itu? Masalah ini justru menimbulkan kegalauan lebih dalam bagi saya.
Apakah Sebenarnya Imunisasi Itu?
Sebelum
melangkah lebih jauh mari kita bahas sekilas apakah yang dimaksud
dengan imunisasi. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan
kekebalan seseorang terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak
terpajan pada penyakit tersebut ia tidak menjadi sakit. Kekebalan yang
diperoleh dari imunisasi dapat berupa kekebalan pasif maupun aktif.
Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan pasif disebut
imunisasi pasif, dengan cara memberikan antibodi atau faktor kekebalan
kepada seseorang yang membutuhkan. Contohnya adalah pemberian
imunoglobulin spesifik untuk penyakit tertentu, misalnya imunoglobulin
antitetanus untuk penyakit tetanus. Contoh lain adalah kekebalan pasif
alamiah antibodi yang diperoleh janin dari ibu. Kekebalan jenis ini
tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh.
Kekebalan
aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen secara
alamiah atau melalui imunisasi. Imunisasi yang diberikan untuk
memperoleh kekebalan aktif disebut imunisasi aktif dengan memberikan zat
bioaktif yang disebut vaksin, dan tindakan itu disebut vaksinasi.
Kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi berlangsung lebih lama dari
kekebalan pasif karena adanya memori imunologis, walaupun tidak sebaik
kekebalan aktif yang terjadi karena infeksi alamiah. Untuk memperoleh
kekebalan aktif dan memori imunologis yang efektif maka vaksinasi harus
mengikuti cara pemakaian dan jadwal yang telah ditentukan melalui bukti
uji klinis yang telah dilakukan.
Tujuan imunisasi adalah untuk
mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan
penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat (populasi), atau bahkan
menghilangkannya dari dunia seperti kita lihat pada keberhasilan
imunisasi cacar variola. Keadaan terakhir ini lebih mungkin terjadi pada
jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti
penyakit difteri dan poliomielitis. Penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I) merupakan penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan
kematian dan kecacatan seumur hidup dan akan menjadi beban bagi
masyarakat di kemudian hari. Sampai saat ini terdapat 19 jenis vaksin
untuk melindungi 23 PD3I di seluruh dunia dan masih banyak lagi vaksin
yang sedang dalam penelitian.
Adakah Bukti Bahwa Imunisasi Bermanfaat?
Pertanyaan
selanjutnya yang perlu dijawab adalah adakah manfaat imunisasi? Ataukah
imunisasi hanya bikin mudharat (keburukan) buat kemanusiaan? Untuk
menjawab pertanyaan ini saya kemudian menelaah berbagai data status
kesehatan masyarakat sebelum dan sesudah ditemukannya imunisasi di
berbagai negara. Namun saya ingin menampilkan data dari negara maju
seperti Amerika Serikat, karena kelompok antiimunisasi selalu menuduh
bahwa imunisasi adalah sebuah proyek konspirasi dari negara ini untuk
melumpuhkan generasi muda di seluruh dunia.
Sebelum adanya vaksin
polio, terdapat 13.000 – 20.000 (16.316) kasus lumpuh layuh akut akibat
polio dilaporkan setiap tahun di AS meninggalkan ribuan korban penderita
cacat karena polio yang mesti menggunakan tongkat penyangga atau kursi
roda. Saat ini AS dinyatakan bebas kasus polio. Angka penurunan mencapai
100%.
Sebelum adanya imunisasi campak, 503.282 kasus campak
terjadi setiap tahun dan 20% di antaranya dirawat dengan jumlah kematian
mencapai 450 orang per tahun akibat pneumonia campak. Setelah ada
imunisasi campak kasus menurun hingga 55 kasus per tahun pada tahun
2006. Angka penurunan 99.9%.
Sebelum ditemukan imunisasi difteri
terjadi 175.885 kasus difteri per tahun dengan angka kematian mencapai
15.520 kasus. Setelah imunisasi ditemukan tahun 2001 jumlahnya menurun
menjadi 2 kasus dan tahun 2006 tidak ada lagi laporan kasus difteri.
Angka penurunan mencapai 100%
Sebelum tahun 1940an terdapat
150.000-260.000 kasus pertussis setiap tahun dengan angka kematian
mencapai 9000 kasus setahun. Setelah imunisasi pertussis ditemukan angka
kematian menurun menjadi 30 kasus setahun. Namun dengan seruan
antiimunisasi yang marak di AS terjadi lagi peningkatan kasus secara
signifikan di beberapa negara bagian. Pada 8 negara bagian terjadi
peningkatan kasus 10-100 kali lipat pada saat cakupan imunisasi
pertussis menurun drastis.
Sebelum vaksin HiB ditemukan, HiB
merupakan penyebab tersering meningitis bakteri (radang selaput otak) di
AS, dengan 20.000 kasus per tahun. Meningitis HiB menyebabkan kematian
600 anak per tahun dan meninggalkan kecacatan berupa tuli, kejang, dan
retardasi mental pada anak yang selamat. Pada tahun 2006 kasus
meningitis HIB menurun menjadi 29 kasus. Angka penurunan 99.9%.
Hampir
90% bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi Rubella saat hamil
trimester pertama akan mengalami sindrom Rubella kongenital, berupa
penyakit jantung bawaan, katarak kongenital, dan ketulian. Pada tahun
1964 sekitar 20.000 bayi lahir dengan sindrom Rubella kongenital ini,
mengakibatkan 2100 kematian neonatal dan 11.250 abortus. Setelah adanya
imunisasi hanya dilaporkan 6 kasus sindrom Rubella kongenital pada tahun
2000. Kasus Rubella secara umum menurun dari 47.745 kasus menjadi hanya
11 kasus per tahun pada tahun 2006. Angka penurunan 99.9%.
Hampir
2 milyar orang telah terinfeksi hepatitis B suatu saat dalam hidupnya.
Sejuta di antaranya meninggal setiap tahun karena penyakit sirosis hati
dan kanker hati. Sekitar 25% anak-anak yang terinfeksi hepatitis B dapat
diperkirakan akan meninggal karena penyakit hati pada saat dewasa.
Terjadi penurunan jumlah kasus baru dari 450.000 kasus pada tahun 1980
menjadi sekitar 80.000 kasus pada tahun 1999. Penurunan terbanyak
terjadi pada anak dan remaja yang mendapat imunisasi rutin.
Di
seluruh dunia penyakit tetanus menyebabkan kematian pada 300.000
neonatus dan 30.000 ibu melahirkan setiap tahunnya dan mereka tidak
diimunisasi adekuat. Tetanus sangat infeksius namun tidak menular,
sehingga tidak seperti PD3I yang lain, imunisasi pada anggota suatu
komunitas tidak dapat melindungi orang lain yang tidak diimunisasi.
Karena bakteri tetanus terdapat banyak di lingkungan kita, maka tetanus
hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Bila program imunisasi tetanus
distop, maka semua orang dari berbagai usia akan rentan menderita
penyakit ini.
Sekitar 212.000 kasus mumps (gondongan) terjadi di
AS pada tahun 1964. Setelah ditemukannya vaksin mumps pada tahun 1967
insidens penyakit ini menurun menjadi hanya 266 kasus pada tahun 2001.
Namun pada tahun 2006 terjadi KLB di kalangan mahasiswa, sebagian besar
di antara mereka menerima 2 kali vaksinasi. Terjadi lebih dari 5500
kasus pada 15 negara bagian. Mumps merupakan penyakit yang sangat
menular dan hanya butuh beberapa orang saja yang tidak diimunisasi untuk
memulai transmisi penyakit sebelum menyebar luas.
Sebelum vaksin
pneumokokus ditemukan, pneumokokus menyebabkan 63.000 kasus invassive
pneumococcal disease (IPD) dengan 6100 kematian di AS setiap tahun.
Banyak anak yang menderita gejala sisa berupa ketulian dan
kejang-kejang.
Dari data di atas para ahli menyimpulkan bahwa
imunisasi adalah salah satu di antara program kesehatan masyarakat yang
paling sukses dan cost-effective. Program imunisasi telah menyebabkan
eradikasi penyakit cacar (variola, smallpox), eliminasi campak dan
poliomielitis di berbagai belahan dunia. Dan penurunan signifikan pada
morbiditas dan mortalitas akibat penyakit difteri, tetanus, dan
pertussis. Badan kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2003 memperkirakan 2
juta kematian anak dapat dicegah dengan imunisasi. Katz (1999) bahkan
menyatakan bahwa imunisasi adalah sumbangan ilmu pengetahuan yang
terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini.
Kesalahpahaman Tentang Imunisasi
Meskipun
imunisasi telah terbukti banyak manfaatnya dalam mencegah wabah dan
PD3I di berbagai belahan dunia, namun masih terdapat sebagian orang yang
memiliki miskonsepsi terhadap imunisasi. Secara umum berikut ini adalah
beberapa miskonsepsi yang sering terjadi di masyarakat:
Kesalahpahaman
1: Penyakit-penyakit tersebut (PD3I) sebenarnya sudah mulai menghilang
sebelum vaksin ditemukan karena meningkatnya higiene dan sanitasi.
Pernyataan
sejenis ini dan variasinya sangat banyak dijumpai pada literatur
antivaksin. Namun bila melihat insidens aktual PD3I sebelum dan sesudah
ditemukannya vaksin kita tidak lagi meragukan manfaat vaksinasi. Sebagai
contoh kita lihat kasus meningitis HiB di Canada. Higiene dan sanitasi
sudah dalam keadaan baik sejak tahun 1990, namun kejadian meningitis HiB
sebelum program imunisasi dilaksanakan mencapai 2000 kasus per tahun
dan setelah imunisasi rutin dijalankan menurun menjadi 52 kasus saja dan
mayoritas terjadi pada bayi dan anak yang tidak diimunisasi.
Contoh
lain adalah pada 3 negara maju (Inggris, Swedia, dan Jepang) yang
menghentikan program imunisasi pertussis karena ketakutan terhadap efek
samping vaksin pertussis. Di Inggris tahun 1974 cakupan imunisasi
menurun drastis dan diikuti dengan terjadinya wabah pertussis pada tahun
1978, ada 100.000 kasus pertussis dengan 36 kematian. Di Jepang pada
kurun waktu yang sama cakupan imunisasi pertussis menurun dari 70%
menjadi 20-40% hal ini menyebabkan lonjakan kasus pertussis dari 393
kasus dengan 0 kematian menjadi 13.000 kasus dengan 41 kematian karena
pertussis pada tahun 1979. Di Swedia pun sama, dari 700 kasus pada tahun
1981 meningkat menjadi 3200 kasus pada tahun 1985. Pengalaman tersebut
jelas membuktikan bahwa tanpa imunisasi bukan saja penyakit tidak akan
menghilang namun juga akan hadir kembali saat program imunisasi
dihentikan.
Kesalahpahaman 2: Mayoritas anak yang terkena penyakit justru yang sudah diimunisasi.
Pernyataan
ini juga sering dijumpai pada literatur antivaksin. Memang dalam suatu
kejadian luar biasa (KLB) jumlah anak yang sakit dan pernah diimunisasi
lebih banyak daripada anak yang sakit dan belum diimunisasi.
Penjelasan
masalah tersebut sebagai berikut: pertama tidak ada vaksin yang 100%
efektif. Efektivitas sebagian besar vaksin pada anak adalah sebesar
85-95%, tergantung respons individu.
Kedua: proporsi anak yang
diimunisasi lebih banyak daripada anak yang tidak diimunisasi di negara
yang menjalankan program imunisasi. Bagaimana kedua faktor tersebut
berinteraksi diilustrasikan dalam contoh berikut. Suatu sekolah
mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah diimunisasi campak 2 kali
kecuali 25 yang tidak pernah sama sekali.
Ketika semua murid terpapar
campak, 25 murid yang belum diimunisasi semuanya menderita campak. Dari
kelompok yang telah diimunisasi campak 2 kali, sakit 50 orang. Jumlah
seluruh yang sakit 75 orang dan yang tidak sakit 925 orang. Kelompok
antiimunisasi akan mengatakan bahwa persentase murid yang sakit adalah
67 % (50/75) dari kelompok yang pernah imunisasi, dan 33% (25/75) dari
kelompok yang tidak diimunisasi.
Padahal bila dihitung dari efek
proteksi, maka imunisasi memberikan efek proteksi sebesar (975-25)/975 =
94.8%. Yang tidak diimunisasi efek proteksi sebesar 0/25= 0%. Dengan
kata lain, 100% murid yang tidak mendapat imunisasi akan sakit campak;
dibanding hanya 5,2% dari kelompok yang diimunisasi yang terkena campak.
Jelas bahwa imunisasi berguna untuk melindungi anak.
Kesalahpahaman 3: Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan, dan bahkan kematian.
Vaksin
merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua efek simpang vaksin
bersifat ringan dan sementara, seperti nyeri pada bekas suntikan atau
demam ringan. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) secara definitif
mencakup semua kejadian sakit pasca imunisasi. Prevalensi dan jenis
sakit yang tercantum dalam KIPI hampir sama dengan prevalensi dan jenis
sakit dalam keadaan sehari-hari tanpa adanya program imunisasi.
Hanya
sebagian kecil yang memang berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya,
sebagian besar bersifat koinsidens. Kematian yang disebabkan oleh vaksin
sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua kematian yang dilaporkan di
Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990-1992, hanya 1 yang mungkin
berhubungan dengan vaksin. Institut of Medicine (IOM) tahun 1994
menyatakan bahwa resiko kematian akibat vaksin adalah amat rendah
(extra-ordinarily low).
Besarnya resiko harus dibandingkan dengan
besarnya manfaat vaksin. Bila satu efek simpang berat terjadi dalam
sejuta dosis vaksin namun tidak ada manfaat vaksin, maka vaksin tersebut
tidak berguna. Manfaat imunisasi akan lebih jelas bila resiko penyakit
dibandingkan dengan resiko vaksin.
Contoh vaksin MMR (melindungi campak, mumps (gondongan) dan rubella (campak jerman)
Pneumonia campak: resiko kematian 1:3000, resiko vaksin MMR alergi berat 1:1000.000
Ensefalitis mumps: 1 : 300 pasien mumps. Resiko vaksin MMR ensefalitis 1:1000.000
Sindrom rubella kongenital : 1 : 4 bayi dari ibu hamil kena rubella
Contoh vaksin DPaT (melindungi difteri, pertussis, dan tetanus)
Difteri: Resiko kematian 1 : 20. Resiko vaksin DPaT menangis lama sementara 1 : 100
Tetanus: Resiko kematian 1 : 30. Resiko vaksin DPaT kejang sembuh sempurna 1 : 1750
Pertussis: Resiko ensefalitis pertussis 1 : 20. Resiko vaksin DPaT ensefalitis 1 : 1000.000
Difteri: Resiko kematian 1 : 20. Resiko vaksin DPaT menangis lama sementara 1 : 100
Tetanus: Resiko kematian 1 : 30. Resiko vaksin DPaT kejang sembuh sempurna 1 : 1750
Pertussis: Resiko ensefalitis pertussis 1 : 20. Resiko vaksin DPaT ensefalitis 1 : 1000.000
Kesalahpahaman 4: Penyakit penyakit tersebut (PD3I) telah tidak ada di negara kita sehingga anak tidak perlu diimunisasi
Angka
kejadian beberapa penyakit yang termasuk PD3I memang telah menurun
drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi di negara
lain. Siapa pun termasuk wisatawan dapat membawa penyakit tersebut
secara tidak sengaja dan dapat menimbulkan wabah. Hal tersebut serupa
dengan KLB polio di Indonesia pada tahun 2005 lalu.
Sejak tahun 1995
tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh virus polio liar. Pada bulan
April 2005, Laboratorium Bioofarma di Bandung mengkonfirmasi adanya
virus polio liar tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh
layuh akut pada bulan Maret 2005. Anak tersebut tidak pernah
diimunisasi sebelumnya. Virus polio itu selanjutnya menyebabkan wabah
merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006 tercatat
349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDVP (vaccine derived polio virus) di
Madura. Dari analisis genetik virus diketahui bahwa virus berasal dari
Afrika barat.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa virus sampai
ke Indonesia melalui Nigeria dan Sudan sama seperti virus yang
diisolasi di Arab Saudi dan Yaman. Dari pengalaman tersebut terbukti
bahwa anak tetap harus mendapat imunisasi karena dua alasan. Alasan
pertama adalah anak harus dilindungi. Meskipun resiko terkena penyakit
adalah kecil, bila penyakit masih ada, anak yang tidak terproteksi tetap
berpeluang terinfeksi. Alasan kedua imunisasi anak penting untuk
melindungi anak lain di sekitarnya. Terdapat sejumlah anak yang tak
dapat diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap komponen
vaksin) dan sebagian kecil anak yang tidak memberi respons terhadap
imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan perlindungan
yang diharapkan adalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit
dan tidak menularkan penyakit kepadanya.
Kesalahpahaman 5:
Pemberian vaksin kombinasi (multipel) meningkatkan resiko efek simpang
yang berbahaya dan dapat membebani sistem imun
Anak-anak terpapar
pada banyak antigen setiap hari. Makanan dapat membawa bakteri yang baru
ke dalam tubuh. Sistem imun juga akan terpapar oleh sejumlah bakteri
hidup di mulut dan hidung. Infeksi saluran pernapasan bagian atas akan
menambah paparan 4-10 antigen, sedangkan infeksi streptokokus pada
tenggorokan memberi paparan 25-50 antigen. Tahun 1994 IOM menyatakan
bahwa dalam keadaan normal penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak
mungkin akan memberikan beban tambahan pada sistem imun dan tidak
bersifat imunosupresif. Data penelitian menunjukkan bahwa imunisasi
simultan dengan vaksin multipel tidak membebani sistem imun anak normal.
Pada tahun 1999 Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP),
American Academy of Pediatrics (AAP), dan American Academy of Family
Physicians (AAFP) merekomendasi pemberian vaksin kombinasi untuk
imunisasi anak. Keuntungan vaksin kombinasi adalah mengurangi jumlah
suntikan, mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi
jumlah kunjungan ke dokter, dan memfasilitasi penambahan vaksin baru ke
dalam program imunisasi.
Kesalahpahaman: Vaksin MMR menyebabkan autisme
Beberapa
orangtua anak dengan autisme percaya bahwa terdapat hubungan sebab
akibat antara vaksin MMR dengan autisme. Gejala khas autisme biasanya
diamati oleh orangtua saat anak mulai tampak gejala keterlambatan bicara
setelah usia lewat satu tahun. Vaksin MMR diberikan pada usia 15 bulan
(di luar negeri 12 bulan). Pada usia sekitar inilah biasanya gejala
autisme menjadi lebih nyata. Meski pun ada juga kejadian autisme
mengikuti imunisasi MMR pada beberapa kasus. Akan tetapi penjelasan yang
paling logis dari kasus ini adalah koinsidens. Kejadian yang bersamaan
waktu terjadinya namun tidak terdapat hubungan sebab akibat.
Kejadian
autisme meningkat sejak 1979 yang disebabkan karena meningkatnya
kepedulian dan kemampuan kita mendiagnosis penyakit ini, namun tidak ada
lonjakan secara tidak proporsional sejak dikenalkannya vaksin MMR pada
tahun 1988. Pada tahun 2000 AAP membuat pernyataan : “Meski kemungkinan
hubungan antara vaksin MMR dengan autisme mendapat perhatian luas dari
masyarakat dan secara politis, serta banyak yang meyakini adanya
hubungan tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya, namun bukti-bukti
ilmiah yang ada tidak menyokong hipotesis bahwa vaksin MMR menyebabkan
autisme dan kelainan yang berhubungan dengannya.
Pemberian vaksin
measles, mumps, dan rubella secara terpisah pada anak terbukti tidak
lebih baik daripada pemberian gabungan menjadi vaksin MMR, bahkan akan
menyebabkan keterlambatan atau luput tidak terimunisasi. Dokter anak
mesti bekerja sama dengan para orangtua untuk memastikan bahwa anak
mereka terlindungi saat usianya mencapai 2 tahun dari PD3I. Upaya ilmiah
mesti terus dilakukan untuk mengetahui penyebab pasti dari autisme.
Lembaga lain yaitu CDC dan NIH juga membuat pernyataan yang mendukung
AAP. Pada tahun 2004 IOM menganalisis semua penelitian yang melaporkan
adanya hubungan antara vaksin MMR dengan autisme. Hasilnya adalah tidak
satu pun penelitian itu yang tidak cacat secara metodologis. Kesimpulan
IOM saat itu adalah tidak terbukti ada hubungan antara vaksin MMR dengan
autisme.
Penutup
Setelah mengkaji berbagai
literatur sebagaimana disebutkan di atas, maka secara berangsur
kegalauan saya menghilang. Saya semakin yakin akan kebenaran teori
ilmiah berbasis bukti yang sudah ditemukan para ahli. Bahkan beberapa
waktu lalu ada sejawat saya Dr Julian Sunan, seorang dokter yang masih
muda dan amat ganteng (menurut pengakuannya sendiri) telah menelaah
bahwa ternyata tokoh-tokoh antivaksin yang sering dikutip kelompok
antivaksin di Indonesia ternyata banyak yang fiktif. Mereka melakukan
pemelintiran data dan pemutarbalikan fakta. Tak heran kalau yang sangat
aman dianggap sangat berbahaya dan penyakit sangat berbahaya nan
mematikan dianggap tidak apa apa dan mungkin malah diajak bersahabat
karib oleh kelompok antiimunisasi.
Terima kasih.
—Bahan bacaan
Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Buku Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi ke-4. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta 2011.
Center for Disease Control http://www.cdc.gov
Gangarosa EJ, et al. Impact of anti-vaccine movements on pertussis control: the untold story. Lancet 1998;351:356-61.
Am. Acad. Ped. When Parents Refuse to Immunize Their Children. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1428-1431 (doi:10.1542/peds.2005-0316)
Diekema DS and the Committee on Bioethics. Responding to Parental Refusals of Immunization of Children. Pediatrics 2005;115:1428–1431
World Health Oranization: http://www.who.int/immunization_safety/aefi/immunization_misconceptions
http://www.quackwatch.com
Halsey NA and others. Measles-mumps-rubella vaccine and autistic spectrum disorder: Report from the New Challenges in Childhood Immunizations Conference Convened in Oak Brook, Illinois, June 12-13, 2000. Pediatrics 107(5):E84, 2001.
National Network for Immunization Information http://www.immunizationinfo.org/
The Red Book http://aapredbook.aappublications.org/
http://juliansunan.blogspot.com/ Bahaya imunisasi, telaah tahap 1 dan tahap 2