Islamedia - Terungkapnya kasus suap dalam
penetapan Perda Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Penambahan Anggaran Venue Lapangan
Tembak PON VIII Riau oleh KPK merupakan sebuah langkah yang patut diberikan
apresiasi. Kasus yang menyeret dua anggota DPRD Riau Muhammad Faisal Aswan (Golkar) dan Muhammad Dunir (PKB) serta satu orang dari
Dinas Pemuda dan Olahraga Provins Riau dan satu orang
dari Perusahaan BUMN, harus di dorong
untuk di berikan sanksi yang tepat dan tegas serta di usut sampai ke akarnya.
Sepengetahun penulis, penggerebekan KPK di kantor DPRD Riau merupakan peristiwa
yang pertama sejak adanya KPK di Republik ini.
Kasus suap atau biasa disebut
dengan gratifikasi sepertinya sudah menjadi sesuatu yang biasa dilakukan oleh
pejabat atau pengusaha yang berusaha mendapatkan sebuah proyek pemerintah.
Anggota DPRD merupakan pihak yang bertanggungjawab dalam mengesahkan sebuah
peraturan, sehingga akan menjadi pihak yang memiliki peluang untuk meminta
“balas jasa” atas peraturan yang mereka perjuangkan untuk di sahkan. Begitu
juga pejabat birokrasi, adalah pihak yang mengeksekusi siapa pemenang proyek,
mereka justru memiliki peluang sangat besar untuk menentukan pola dan besaran
transaksi “balas jasanya”. Sehingga mereka sangat “berkuasa”untuk menentukan
siapa pemenang proyek. Posisi strategis dan peluang yang besar untuk
mendapatkan “dana – dana segar” tersebut menjadikan banyak orang melakukan
segala cara untuk mendapatkan posisi sebagai anggota DPRD atau sebagai
birokrat.
Transaksi segitiga antara
politikus, birokrat dan pengusaha telah banyak menelan korban dari KPK. Dalam
konteks nasional sudah kita ketahui bersama bagaimana terungkapnya kasus suap
pembangunan wisma atlet untuk Sea Games dimana telah menangkap Nazarudin dan
pejabat Kemenpora. Nazaruddin beberapa hari yang lalu justru sudah di vonis
dengan hukuman 4 tahun 10 bulan penjara. Selain Nazaruddin, beberapa kepala
daerah dan pejabat birokrasi setingkat daerah dan pusat juga sudah banyak
mendapat “pencekalan” dari KPK. Prilaku suap yang telah menangkap beberapa
pejabat tersebut memang sudah menjadi budaya dan tradisi di republik ini.
Proyek fisik ataupun non fisik yang “betebaran” di dinas – dinas dijadikan sebuah
jualan tersendiri bagi pejabat dalam menambah pundi – pundi sakunya. Walaupun
sudah ada aturan yang mengatur bagaimana memenangkan sebuah proyek, tetap ada
saja celah bagi pihak – pihak tersebut untuk melakukan “jualan proyek”
Prilaku jualan proyek ini
sesungguhnya adalah prilaku menghambur – hamburkan dan mencuri uang rakyat,
karena dana yang mereka bagi – bagikan justru adalah dana dari APBD. Sebagai
contoh kecil kita analogikan misal pembangunan sebuah gedung sekolah. Dalam
pagu anggaran di APBD atau APBN dicantumkan jumlah anggaran misalnya 200 juta
rupiah untuk satu lokal saja, kalau dalam pandangan kita sebagai masyarakat
biasa, dana ratusan juta itu digunakan semuanya untuk pembangunan sekolah
tersebut, namun kenyataan yang ada dana tersebut ternyata hanya 50 % saja untuk
pembangunan, dan 50 % nya lagi adalah untuk hal – hal yang tidak berhubungan
dengan pembangunan sekolah tadi. Misalnya digunakan untuk dana “pelicin” memenangkan
proyek, dana untuk tanda tangan
administrasi,dana
untuk mengesahkan aturan, dan hal – hal lainnya. Dan bahkan sangat ironisnya
pembangunan yang dilaksanakan juga terkadang asal bangun saja.
Prilaku suap
seperti contoh diatas memang telah “mendarah daging” dalam setiap proses
pelaksanaan segala macam bentuk proyek atau program pemerintah. Saya melihat
ada beberapa faktor yang menyebabkan suburnya prilaku tersebut, Pertama lemahnya kekuatan moral dan
akhlak serta tidak adanya rasa pantauan dari yang maha kuasa serta dari pelaku
suap itu sendiri. Kedua, tidak adanya
sebuah keberanian dari pihak pemerintah untu menjalankan proses tender dan
proses pelaporan keuangan dengan profesional dan akuntabel. Ketiga bahwa telah membudaya dan
mengakarnya perbuatan ini, artinya kalau tidak dengan cara seperti itu maka
tender tidak akan di menangkan. Dan Keempat,
penegakan hukum yang belum optimal terhadap pihak – pihak yang terbukti
melakukan suap.
Tuntaskan Kasus Suap PON
Melihat fenomena
bahwa suap ini telah mengakar, maka perlu juga sebuah sistem yang kokoh dan
penegakan hukum yang tanpa pandang bulu untuk ditegakkan. Belajar dari
terungkapnya beberapa kasus suap dalam konteks nasional, maka kasus suap yang
terungkap dalam Pengesahan Perda No 6 Tentang Penambahan
Anggaran Venue Lapangan Tembak PON VIII Riau
perlu di dorong untuk di tuntaskan secara adil dan transparan.
Secara adil
artinya bahwa semua pihak yang terbukti terlibat dalam proses suap ini maka
harus diberikan hukuman yang setimpal. Harapan kita kasus ini tidak hanya
menangkap aktor teknis yang “tertangkap basah” melakukan transaksi, namun juga
aktor intelektual yang sesungguhnya menjadi pihak paling bertanggungjawab dalam
kasus ini, perlu di adili oleh KPK. Pelajaran yang saya maksud dari kasus suap
nasional adalah sebagaimana yang kita ketahui seperti kasus wisma atlet, kasus
wisma atlet hanya menangkap pihak yang menjadi korban saja, namun aktor – aktor
kunci yang menjadi “dalang” dari kasus tersebut masih saja bisa menghirup udara
bebas. Hal seperti inilah yang menurut saya jangan terjadi lagi dalam kasus
suap PON Riau. KPK harus benar – benar mengungkap semua yang terindikasi
terlibat dalam kasus suap tersebut. Kalau perlu KPK juga mengaudit dan
memeriksa semua proyek pembangunan venues PON di Riau. Sebagaimana yang saat
ini juga masih menjadi perdebatan di DPRD Riau adalah Revisi Perda No 5 Tahun
2008 tentang Pembangunan Stadion Utama
PON. Revisi Perda ini juga harus di selidiki oleh KPK sehingga proses
pembangunan venues PON kita berharap benar – benar sesuai dengan peraturan yang
ada.
Secara
transparan artinya KPK dan komponen yang terlibat dalam menyelesaikan kasus ini
harus memberikan informasi yang jelas dan terang benderang kepada masyarakat
Riau pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehingga masyarakat
bisa mengetahui dengan jelas proses yang sedang berlangsung terhadap pihak –
pihak terkait dalam kasus ini. Jangan hanya kasus ini cuma menjadi konsumsi
elit pejabat atau elit politik saja. Dengan informasi yang akurat maka masyarakat
juga akan bisa mengawal dan memantau serta mendorong agar kasus ini bisa
diselesaikan dengan seadil – adilnya, yang pada akhir kita berharap bahwa
prilaku suap bisa diubah dan dihentikan oleh oknum – oknum pejabat dan pemimpin
kita.

IDRAL, S.IP
Ketua KAMMI PW Sumbar-Riau-Kepri
Ketua KAMMI PW Sumbar-Riau-Kepri