Ketika Kejujuran Dipertaruhkan -->

Ketika Kejujuran Dipertaruhkan

Sabtu, 05 Mei 2012
http://www.promathtutoring.com/Images/pages/regents/kid_math.jpg
Islamedia - Aku berjalan menelusuri jalan menuju ke rumahku. Menikmati pemandangan yang mungkin sebentar lagi aku tak akan sering melihatnya. Hulu-hilir mobil angkutan kota semakin membawaku pada bayangan dan anganku sendiri. Keramaian di sekitarku terasa hambar. Bimbang. Ya, aku tengah dirasuki kebimbangan yang mendalam.

Seketika berbisik keras suara ibuku, “Akmal, bagaimanapun kamu harus lihat potensi kamu juga, nak.. Ibu percaya jika semenjak awal kamu belajar dengan serius, kamu pasti bisa menghadapinya oleh tanganmu sendiri.. Tapi inilah sistem, nak.. Kamu siap untuk tidak lulus..?”

Teringat saat itu aku hanya bisa menundukkan kepalaku mendengar nasihat-nasihat – yang menurutku tabu – dari perempuan yang paling aku cintai itu.

Lalu berganti suara lembut yang aku suka dari seorang sahabatku, “Akmal.. Hidup ini adalah pilihan.. Setiap pilihan ada resikonya.. Setiap pilihan ada tanggung jawabnya.. Keduanya akan engkau dapati baik di dunia maupun di akhirat.. Aku tidak akan menyuruhmu memilih salah satu jalan dari dua jalan yang engkau bimbangkan ini..  Inilah resiko dari sistem yang ada sekarang.. Ya, ketika kejujuran dipertaruhkan demi sebuah kata kelulusan. Aku tidak akan mengganggumu, apapun jalan yang kau pilih.. Tapi aku hanya ingin memberitahumu, inilah jalanku.. Silahkan kau pilih jalanmu.. Aku akan bersamamu jika kita memilih jalan yang sama, kawan.. Tapi meskipun aku tidak bersamamu, kau tetap sahabatku..”

Memang, terkadang aku merasa tidak nyaman ketika mendapat nasihat dari orang yang sebaya denganku. Tapi omongannya kali ini berkecamuk hebat di dadaku. Seolah tengah berperang dengan nasihat – atau mungkin tuntutan – dari kedua orangtuaku. Aku ingin lulus, tapi aku juga ingin mempertahankan kejujuran yang baru saja aku dapatkan ini. Apa yang akan kalian lakukan jika kalian menjadi aku?

Semua bermula ketika aku mendengar sebuah tausyiah dari seorang ustadz ternama di sebuah stasiun televisi. Satu kalimatnya terus mendengung di telingaku hingga menjadi satu titik balik kehidupanku. Beliau berkata, “Untuk mengetahui apakah perbuatan kita diridhai oleh Allah atau tidak, itu sangat mudah dan sangat sederhana! Satu kuncinya, adukan itu dengan kematian..!”

Aku agak bingung menangkap maksudnya. Tapi kemudian aku terkonsentrasi dengan kalimat berikutnya. “Coba ketika kita melakukan suatu hal, apakah kita siap jika Allah mengambil nyawa kita kala itu..? Jawab dengan hati kita.. Hanya ada dua jawaban, dan dua artinya.. Jika kita bersedia dan berani, artinya perbuatan itu bersama ridha Allah.. Dan jika kita tiada berani, maka dalam perbuatan kita itu tidak ada pula ridha Allah..!!”

Tergetar aku mendengarnya. Mungkin inilah yang disebut dengan pendengaran hati. Tidak sebatas masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Tapi masuk ke hati. Menyentuh urat hidayahku.
Semenjak hari itu aku berubah. Aku menjadi sangat berhati-hati dengan segala sikap dan perilakuku. Ya, meskipun tidak bisa sepenuhnya berubah untuk menjadi manusia yang penuh memberikan arti, aku senantiasa mencoba untuk terus menjadi lebih baik. Dan yang paling berpengaruh terhadap hidupku, perubahanku dalam belajar.

Semenjak aku kelas satu, aku tidak pernah belajar dengan serius. Jika tuntutan akhirnya adalah lulus ujian, cukup mencari jawaban untuk ujian itu..! Tidak perlu memaksakan diri di bidang yang tidak kita suka..! batinku. Aku pun selalu memanfaatkan teman-teman sekitarku untuk mendapatkan nilai akademik.

Hasilnya tidak terlalu jelek. Bagus malah. Aku seringkali mendapatkan nilai-nilai ujian yang besar. Tapi entahlah, semua terasa hambar. Jauh hari, tentu aku akan bersyukur bahwa Allah masih memberikan “rasa hambar” itu di hatiku kala itu. Melihat ternyata banyak teman-temanku yang melakukan hal yang sama denganku, tapi mereka terlihat sangat bahagia dan bangga dengan hasil itu. Malah menyombongkannya kepada orang lain. Hal yang samasekali tidak aku rasakan pada ‘masa jahiliyahku’ dulu.

Kembali ke kisahku, semua ketidaknyamanan yang aku rasakan membuatku ingin mencari kedamaian. Dan Alhamdulillah, aku dipertemukan dengan Firman. Dia adalah sahabat yang sangat baik. Aku bahkan menganggapnya sebagai saudaraku sendiri. Kami baru bertemu sebenarnya semenjak kami SMA. Dan itu waktu yang cukup bagiku merubah sikapku untuk menjadi lebih baik.
Aku dan Firman tinggal satu rumah. Kami menyewa sebuah rumah kos yang dekat dengan sekolahku. Kebetulan lokasi rumahku cukup jauh dari lokasi sekolahku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di rumah sederhana itu bersama Firman dan Kak Randi. Kak Randi adalah seorang aktivis dakwah yang sangat berpengaruh di kota ini. Dia adalah salah seorang mas’ul atau koordinator bagian di salah satu organisasi dakwah remaja di kota ini.

Hari-hari berikutnya kami lalui dengan indah. Firman sudah lama ikut khalaqah atau mentoring keagamaan. Keluarganya adalah keluarga yang lahir dari halaqah. Hingga dia bisa lebih menjaga sikapnya selama ini. Aku mengenalnya sebagai pribadi yang saleh dan apa adanya. Sedangkan Kak Randi lebih lagi. Dia sudah menjadi murabbi atau guru spiritual kami secara tidak resmi sekaligus menjadi saudara kami. Selama tinggal bersama mereka, aku rasakan kedamaian dan keindahan islam.
Singkat kata, aku diperkenalkan oleh mereka berdua kepada dunia yang indah. Dunia halaqah. Dunia tempat kami terus menggali ilmu dengan hikmah. Dunia yang kemudian membawaku menjadi aku seperti hari ini. Image-ku di SMA berubah. Mulanya aku terkenal dengan gambaran seorang anak alun-alun. Seorang yang sering bermain di jalanan pada malam hari. Tapi kini, aku banyak dikenal sebagai seorang yang gemar ke masjid.

Tapi itu belum mengubah tabiatku dalam hal belajar. Aku mulai dengan prinsipku bahwa sebisa mungkin aku harus jujur. Meskipun hasilnya tidak memuaskan. Tapi tetap saja, aku jarang belajar. Kejujuranku itu aku iringi dengan rasa malas untuk belajar. Hingga akhirnya, aku seringkali mendapatkan hasil nilai sekolah yang kurang memuaskan. Berbeda dengan Firman, yang senantiasa menjadi bintang di kelas kami.

http://4.bp.blogspot.com/-RarYVNWcS5Q/T3_Czx4TnXI/AAAAAAAAAzc/e2lNjqKyA2A/s1600/ujian-nasional.jpg

Itu pulalah yang membawaku pada kebimbangan ini. Aku bingung. Apakah aku harus konsisten dengan kejujuran ini, dengan mempertaruhkan status kelulusanku? Ataukah aku harus mengejar status lulus itu dengan menggadaikan kejujuran yang selama ini aku bina? Sejujurnya, aku ragu bisa mengejar ketertinggalanku semenjak kelas 10 yang jarang sekali belajar. Entahlah. Semua itu terus berkecamuk di benakku.
***
“Keduanya bukan pilihanmu, kawan.. Aku percaya, bahwa kita bisa mengoptimalkan sisa waktu kita ini! Ayo kita terus berikhtiar bersama, Mal..!” ucap Firman kepadaku ketika aku menceritakan kegalauanku kepadanya.

“Tapi jujur, Man.. Aku sangat terkait jauh dibandingkan kamu.. Untuk Matematika, aku sudah sangat bingung.. Pelajaran semenjak kelas 10, aku hanya sedikit mengerti di 3 Bab saja.. Sisanya, aku benar-benar bingung! Lalu bagaimana mungkin aku lulus jika aku jujur pada kemampuanku ini, Man..?” ucapku.

“Kita pasti bisa, Mal.. Kau sendiri tau bagaimana aku belajar di rumah selama ini.. Aku tidak serajin yang teman-teman bayangkan.. Bahkan kurasa kamu lebih rajin dariku.. Aku percaya, kalau kita bisa optimalkan masa-masa terakhir kita ini, kita bisa melaluinya dengan jujur Mal..!” jawabnya dengan tegas.

“Tapi Man..”

“Firman benar, Mal.. Kalau kalian bisa optimal dalam ikhtiar ini, kakak yakin kalian bisa..” ucap Kak Randi menenangkanku. “Seorang mujahid sejati akan senantiasa memegang teguh prinsip yang dia pegang, selama dia yakin bahwa itu benar.. Kakak yakin kalian, khususnya kamu Mal, bisa..” lanjutnya. Kali ini terdengar lebih melejitkan semangatku.

“Hmm.. Astagfirullahal’adzim.. Apa yang aku lakukan? Maaf ya Man, kak Randi.. Aku khilaf..” ucapku. “Insya Allah, sisa waktu ini akan aku manfaatkan dengan optimal..” lanjutku yakin.
“Alhamdulillah.. Gitu dong, Akh.. Hehehe..” sambung Firman seraya merangkul bahuku.
“Ayo, hamasah yaa ikhwah!!” ucap Kak Randi seraya merangkul bahuku yang satu lagi. Ah, beruntung rasanya aku bisa mendapatkan atmosfer ini. Indahnya kebersamaan dalam dekapan ukhuwah. Alhamdulillah, ya Allah!
***

“Mal.. Akmal… Ayo bangun Mal.. Kita tahajud dulu…”

Aku tergugu mendengar ajakan itu. Aku paksakan mataku untuk terbuka dan tubuh-tubuhku untuk bangkit dari pesona mimpi yang melenakanku. Setengah terpejam, aku mengangguk sedapatnya kepada Firman. “Iya Akh… Oaaahm..”

“Tutup mulutnya kalau menguap akh.. Hehehe..”

“Eh, iya.. Astagfirullah..” ucapku. Aku kemudian mengumpulkan nyawaku dan segera menuju ke kamar mandi. Wajahku kemudian disegarkan oleh cipratan air yang kuambil untuk menyempurnakan wudhuku. Segar yang membangunkanku secara utuh. Aku segera keluar setelah selesai berwudhu dan menuju ke kamarku.

“Beres tahajud langsung kesini ya Akh.. Kita sahur bareng-bareng..” ucap Kak Randi. Agaknya dia sudah selesai tahajud. Basahnya air wudhu masih menetes dari janggutnya yang rapih.

“Iya Kak.. Wah, keduluan melulu nih..” ucapku.

“Gak apa-apa Akh.. Kakak juga lagi mau masak soalnya.. Hehehe..”

Aku masuk ke kamar dan menyalakan lampu kamarku yang cahayanya kemudian memenuhi seluruh ruangan sempit itu. Aku fokuskan pikiranku, lalu aku dirikan shalat tahajudku malam ini dengan syahdu. Sangat indah.

Tangisku meledak ketika sujudku yang terakhir. Kembali terkuak wajah kedua orangtuaku yang terus memaksaku untuk mengurangi idealisme-ku dalam menghadapi ujian kali ini. Juga dari pihak sekolah yang juga sedikit menganjurkanku untuk mengurangi idealisme-ku ini. Beberapa dari mereka tidak percaya atas kemampuanku. Aku sangat sedih menerima kenyataan itu. Bahwa mereka sangat menyayangiku dengan cara yang tidak aku sukai. Tangisku meledak lagi. Sujud kali ini cukup lama aku lakoni.

Usai shalat, aku panjatkan aduanku ini pada Penggenggam Jiwaku. Sepenuh hati, aku berdoa agar aku dikuatkan. Karena aku merasa sangat lemah. Sangat labil.

Selesai dengan pengaduanku, aku mengambil buku latihan soal Ujian Nasional yang sudah jauh hari aku beli. Lalu aku menuju ruang makan untuk menyantap sahur bersama Kak Randi dan Firman. Aku mengerjakan soal-soal di buku tersebut seraya menyantap sahur bersama. Sesekali aku bertanya kepada Firman jika aku menemukan soal yang sulit untuk aku kerjakan sendiri.

“Gimana persiapan kalian nih..?” ucap Kak Randi.

“Alhamdulillah, kak.. Masih terus proses ikhtiar..” ucap Firman. “Kalau saya Alhamdulillah tinggal latihan-latihan varian soal lagi.. Secara konsep, Insya Allah udah ada di kepala.. Hehe..” lanjutnya.

“Saya juga Kak.. Masih harus belajar.. Masih ada beberapa bab yang masih harus di perdalam lagi pemahamannya.. Apalagi Matematika.. Baru menguasai yang kelas satu aja..” sambungku.

“Alhamdulillah kalau begitu.. Ikhtiar kalian akan dicatat sebagai amalan kalian, Insya Allah.. Kakak pernah dengar, kata Imam Syahid Hasan Al-Banna.. Beliau pernah memberi nasihat bahwa Allah tidak menuntut hasil kerja.. Samasekali tidak.. Bukan hasil kerja, tetapi benarnya orientasi dan baiknya persiapan.. Setelahnya, bila kita keliru, maka kita akan mendapat pahala kerja yang sungguh-sungguh.. Dan bila kita benar, maa kita akan mendapat pahala dan keberhasilan.. Ketahuilah bahwa Allah beserta kita dan tidak akan menyia-nyiakan amalan kita.. Dan sesungguhnya, kemenangan adalah milik orang-orang yang bekerja, Akhi..” ucap Kak Randi panjang lebar. Kami hanya tersenyum-senyum mendengarnya.

“Iya, Kak.. Kalimat yang sangat indah dan bernilai motivasi..” ucapku.

“Intinya adalah benarnya niat dan baiknya persiapan ya, Kak.. Itu bagian dari ikhtiar kan, ya Kak..?” sambung Firman.

“Ya.. Setelah ikhtiar itu telah selesai kita optimalkan, ada dua suplemen yang akan senantiasa membuat kita kuat.. Sabar dan syukur.. Kedua sikap itulah yang akan senantiasa membuat kita lebih kuat menghadapi segala hasil yang telah diskenariokan oleh-Nya..”

“Ya Kak.. Insya Allah, ya..” ucap Firman.

“Saya juga suka sama kata-kata Kakak.. Yang dulu Kakak SMS-kan ke saya.. Isinya adalah bahwa setiap rintangan dan ujian, jika itu tidak sampai membuat kita MATI, maka semua itu hanya akan membuat kita lebih kuat.. Ya, itu sangat menguatkan saya..” sambungku.

“Ya..  Semua itu adalah yang terbaik yang telah diberikan Allah bagi kita.. Insya Allah, ya..” lanjut Kak Randi. Tak lama kemudian terdengar suara adzan. Adzan merdu yang menandakan dimulainya hari ini. Aku tekadkan di dalam hati bahwa ikhtiarku hanya aku persembahkan kepada Rabb-ku. 

Selanjutnya terserah kepada Allah. Namun tidak dapat aku nafikan bahwa aku masih agak takut jika tidak lulus. Dan aku merasa bahwa kemampuan Matematika-ku masih sangat kurang. Ah, sudahlah. 
Ikhtiar dulu!



*bersambung


Muhammad Fathan Mubina
Mahasiswa Ilmu Politik UI 2011
Staff PSDM FSI FISIP UI