Islam edia - Aku berjalan menelusuri jalan menuju ke rumahku. Menikmati pemandangan yang mungkin sebentar lagi aku tak akan sering me...
Islamedia - Aku berjalan menelusuri jalan menuju ke rumahku. Menikmati
pemandangan yang mungkin sebentar lagi aku tak akan sering melihatnya.
Hulu-hilir mobil angkutan kota semakin membawaku pada bayangan dan anganku
sendiri. Keramaian di sekitarku terasa hambar. Bimbang. Ya, aku tengah dirasuki
kebimbangan yang mendalam.
Seketika berbisik keras suara ibuku, “Akmal, bagaimanapun kamu harus lihat potensi kamu juga, nak.. Ibu
percaya jika semenjak awal kamu belajar dengan serius, kamu pasti bisa
menghadapinya oleh tanganmu sendiri.. Tapi inilah sistem, nak.. Kamu siap untuk
tidak lulus..?”
Teringat saat itu aku hanya bisa menundukkan kepalaku
mendengar nasihat-nasihat – yang menurutku tabu – dari perempuan yang paling
aku cintai itu.
Lalu berganti suara lembut yang aku suka dari seorang
sahabatku, “Akmal.. Hidup ini adalah
pilihan.. Setiap pilihan ada resikonya.. Setiap pilihan ada tanggung jawabnya..
Keduanya akan engkau dapati baik di dunia maupun di akhirat.. Aku tidak akan
menyuruhmu memilih salah satu jalan dari dua jalan yang engkau bimbangkan ini..
Inilah resiko dari sistem yang ada
sekarang.. Ya, ketika kejujuran dipertaruhkan demi sebuah kata kelulusan. Aku
tidak akan mengganggumu, apapun jalan yang kau pilih.. Tapi aku hanya ingin
memberitahumu, inilah jalanku.. Silahkan kau pilih jalanmu.. Aku akan bersamamu
jika kita memilih jalan yang sama, kawan.. Tapi meskipun aku tidak bersamamu,
kau tetap sahabatku..”
Memang, terkadang aku merasa tidak nyaman ketika mendapat
nasihat dari orang yang sebaya denganku. Tapi omongannya kali ini berkecamuk
hebat di dadaku. Seolah tengah berperang dengan nasihat – atau mungkin tuntutan
– dari kedua orangtuaku. Aku ingin lulus, tapi aku juga ingin mempertahankan
kejujuran yang baru saja aku dapatkan ini. Apa yang akan kalian lakukan jika
kalian menjadi aku?
Semua bermula ketika aku mendengar sebuah tausyiah dari
seorang ustadz ternama di sebuah stasiun televisi. Satu kalimatnya terus
mendengung di telingaku hingga menjadi satu titik balik kehidupanku. Beliau
berkata, “Untuk mengetahui apakah perbuatan kita diridhai oleh Allah atau
tidak, itu sangat mudah dan sangat sederhana! Satu kuncinya, adukan itu dengan
kematian..!”
Aku agak bingung menangkap maksudnya. Tapi kemudian aku
terkonsentrasi dengan kalimat berikutnya. “Coba ketika kita melakukan suatu
hal, apakah kita siap jika Allah mengambil nyawa kita kala itu..? Jawab dengan
hati kita.. Hanya ada dua jawaban, dan dua artinya.. Jika kita bersedia dan
berani, artinya perbuatan itu bersama ridha Allah.. Dan jika kita tiada berani,
maka dalam perbuatan kita itu tidak ada pula ridha Allah..!!”
Tergetar aku mendengarnya. Mungkin inilah yang disebut
dengan pendengaran hati. Tidak sebatas masuk kuping kiri, keluar kuping kanan.
Tapi masuk ke hati. Menyentuh urat hidayahku.
Semenjak hari itu aku berubah. Aku menjadi sangat
berhati-hati dengan segala sikap dan perilakuku. Ya, meskipun tidak bisa
sepenuhnya berubah untuk menjadi manusia yang penuh memberikan arti, aku
senantiasa mencoba untuk terus menjadi lebih baik. Dan yang paling berpengaruh
terhadap hidupku, perubahanku dalam belajar.
Semenjak aku kelas satu, aku tidak pernah belajar dengan
serius. Jika tuntutan akhirnya adalah
lulus ujian, cukup mencari jawaban untuk ujian itu..! Tidak perlu memaksakan
diri di bidang yang tidak kita suka..! batinku. Aku pun selalu memanfaatkan
teman-teman sekitarku untuk mendapatkan nilai akademik.
Hasilnya tidak terlalu jelek. Bagus malah. Aku seringkali
mendapatkan nilai-nilai ujian yang besar. Tapi entahlah, semua terasa hambar.
Jauh hari, tentu aku akan bersyukur bahwa Allah masih memberikan “rasa hambar”
itu di hatiku kala itu. Melihat ternyata banyak teman-temanku yang melakukan
hal yang sama denganku, tapi mereka terlihat sangat bahagia dan bangga dengan
hasil itu. Malah menyombongkannya kepada orang lain. Hal yang samasekali tidak
aku rasakan pada ‘masa jahiliyahku’ dulu.
Kembali ke kisahku, semua ketidaknyamanan yang aku rasakan
membuatku ingin mencari kedamaian. Dan Alhamdulillah, aku dipertemukan dengan
Firman. Dia adalah sahabat yang sangat baik. Aku bahkan menganggapnya sebagai
saudaraku sendiri. Kami baru bertemu sebenarnya semenjak kami SMA. Dan itu
waktu yang cukup bagiku merubah sikapku untuk menjadi lebih baik.
Aku dan Firman tinggal satu rumah. Kami menyewa sebuah rumah
kos yang dekat dengan sekolahku. Kebetulan lokasi rumahku cukup jauh dari
lokasi sekolahku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di rumah
sederhana itu bersama Firman dan Kak Randi. Kak Randi adalah seorang aktivis
dakwah yang sangat berpengaruh di kota ini. Dia adalah salah seorang mas’ul
atau koordinator bagian di salah satu organisasi dakwah remaja di kota ini.
Hari-hari berikutnya kami lalui dengan indah. Firman sudah
lama ikut khalaqah atau mentoring keagamaan. Keluarganya adalah keluarga yang
lahir dari halaqah. Hingga dia bisa lebih menjaga sikapnya selama ini. Aku
mengenalnya sebagai pribadi yang saleh dan apa adanya. Sedangkan Kak Randi
lebih lagi. Dia sudah menjadi murabbi atau guru spiritual kami secara tidak
resmi sekaligus menjadi saudara kami. Selama tinggal bersama mereka, aku
rasakan kedamaian dan keindahan islam.
Singkat kata, aku diperkenalkan oleh mereka berdua kepada
dunia yang indah. Dunia halaqah. Dunia tempat kami terus menggali ilmu dengan
hikmah. Dunia yang kemudian membawaku menjadi aku seperti hari ini. Image-ku di
SMA berubah. Mulanya aku terkenal dengan gambaran seorang anak alun-alun. Seorang yang sering bermain
di jalanan pada malam hari. Tapi kini, aku banyak dikenal sebagai seorang yang
gemar ke masjid.
Tapi itu belum mengubah tabiatku dalam hal belajar. Aku
mulai dengan prinsipku bahwa sebisa mungkin aku harus jujur. Meskipun hasilnya
tidak memuaskan. Tapi tetap saja, aku jarang belajar. Kejujuranku itu aku
iringi dengan rasa malas untuk belajar. Hingga akhirnya, aku seringkali
mendapatkan hasil nilai sekolah yang kurang memuaskan. Berbeda dengan Firman,
yang senantiasa menjadi bintang di kelas kami.
Itu pulalah yang membawaku pada kebimbangan ini. Aku
bingung. Apakah aku harus konsisten dengan kejujuran ini, dengan mempertaruhkan
status kelulusanku? Ataukah aku harus mengejar status lulus itu dengan
menggadaikan kejujuran yang selama ini aku bina? Sejujurnya, aku ragu bisa
mengejar ketertinggalanku semenjak kelas 10 yang jarang sekali belajar. Entahlah.
Semua itu terus berkecamuk di benakku.
***
“Keduanya bukan pilihanmu, kawan.. Aku percaya, bahwa kita
bisa mengoptimalkan sisa waktu kita ini! Ayo kita terus berikhtiar bersama,
Mal..!” ucap Firman kepadaku ketika aku menceritakan kegalauanku kepadanya.
“Tapi jujur, Man.. Aku sangat terkait jauh dibandingkan
kamu.. Untuk Matematika, aku sudah sangat bingung.. Pelajaran semenjak kelas
10, aku hanya sedikit mengerti di 3 Bab saja.. Sisanya, aku benar-benar
bingung! Lalu bagaimana mungkin aku lulus jika aku jujur pada kemampuanku ini,
Man..?” ucapku.
“Kita pasti bisa, Mal.. Kau sendiri tau bagaimana aku
belajar di rumah selama ini.. Aku tidak serajin yang teman-teman bayangkan..
Bahkan kurasa kamu lebih rajin dariku.. Aku percaya, kalau kita bisa optimalkan
masa-masa terakhir kita ini, kita bisa melaluinya dengan jujur Mal..!” jawabnya
dengan tegas.
“Tapi Man..”
“Firman benar, Mal.. Kalau kalian bisa optimal dalam ikhtiar
ini, kakak yakin kalian bisa..” ucap Kak Randi menenangkanku. “Seorang mujahid
sejati akan senantiasa memegang teguh prinsip yang dia pegang, selama dia yakin
bahwa itu benar.. Kakak yakin kalian, khususnya kamu Mal, bisa..” lanjutnya.
Kali ini terdengar lebih melejitkan semangatku.
“Hmm.. Astagfirullahal’adzim.. Apa yang aku lakukan? Maaf ya
Man, kak Randi.. Aku khilaf..” ucapku. “Insya Allah, sisa waktu ini akan aku
manfaatkan dengan optimal..” lanjutku yakin.
“Alhamdulillah.. Gitu dong, Akh.. Hehehe..” sambung Firman
seraya merangkul bahuku.
“Ayo, hamasah yaa ikhwah!!” ucap Kak Randi seraya merangkul
bahuku yang satu lagi. Ah, beruntung rasanya aku bisa mendapatkan atmosfer ini.
Indahnya kebersamaan dalam dekapan ukhuwah. Alhamdulillah, ya Allah!
***
“Mal.. Akmal… Ayo bangun Mal.. Kita tahajud dulu…”
Aku tergugu mendengar ajakan itu. Aku paksakan mataku untuk
terbuka dan tubuh-tubuhku untuk bangkit dari pesona mimpi yang melenakanku.
Setengah terpejam, aku mengangguk sedapatnya kepada Firman. “Iya Akh… Oaaahm..”
“Tutup mulutnya kalau menguap akh.. Hehehe..”
“Eh, iya.. Astagfirullah..” ucapku. Aku kemudian
mengumpulkan nyawaku dan segera menuju ke kamar mandi. Wajahku kemudian
disegarkan oleh cipratan air yang kuambil untuk menyempurnakan wudhuku. Segar
yang membangunkanku secara utuh. Aku segera keluar setelah selesai berwudhu dan
menuju ke kamarku.
“Beres tahajud langsung kesini ya Akh.. Kita sahur
bareng-bareng..” ucap Kak Randi. Agaknya dia sudah selesai tahajud. Basahnya
air wudhu masih menetes dari janggutnya yang rapih.
“Iya Kak.. Wah, keduluan melulu nih..” ucapku.
“Gak apa-apa Akh.. Kakak juga lagi mau masak soalnya..
Hehehe..”
Aku masuk ke kamar dan menyalakan lampu kamarku yang
cahayanya kemudian memenuhi seluruh ruangan sempit itu. Aku fokuskan pikiranku,
lalu aku dirikan shalat tahajudku malam ini dengan syahdu. Sangat indah.
Tangisku meledak ketika sujudku yang terakhir. Kembali
terkuak wajah kedua orangtuaku yang terus memaksaku untuk mengurangi
idealisme-ku dalam menghadapi ujian kali ini. Juga dari pihak sekolah yang juga
sedikit menganjurkanku untuk mengurangi idealisme-ku ini. Beberapa dari mereka
tidak percaya atas kemampuanku. Aku sangat sedih menerima kenyataan itu. Bahwa
mereka sangat menyayangiku dengan cara yang tidak aku sukai. Tangisku meledak
lagi. Sujud kali ini cukup lama aku lakoni.
Usai shalat, aku panjatkan aduanku ini pada Penggenggam
Jiwaku. Sepenuh hati, aku berdoa agar aku dikuatkan. Karena aku merasa sangat
lemah. Sangat labil.
Selesai dengan pengaduanku, aku mengambil buku latihan soal
Ujian Nasional yang sudah jauh hari aku beli. Lalu aku menuju ruang makan untuk
menyantap sahur bersama Kak Randi dan Firman. Aku mengerjakan soal-soal di buku
tersebut seraya menyantap sahur bersama. Sesekali aku bertanya kepada Firman
jika aku menemukan soal yang sulit untuk aku kerjakan sendiri.
“Gimana persiapan kalian nih..?” ucap Kak Randi.
“Alhamdulillah, kak.. Masih terus proses ikhtiar..” ucap
Firman. “Kalau saya Alhamdulillah tinggal latihan-latihan varian soal lagi..
Secara konsep, Insya Allah udah ada di kepala.. Hehe..” lanjutnya.
“Saya juga Kak.. Masih harus belajar.. Masih ada beberapa
bab yang masih harus di perdalam lagi pemahamannya.. Apalagi Matematika.. Baru
menguasai yang kelas satu aja..” sambungku.
“Alhamdulillah kalau begitu.. Ikhtiar kalian akan dicatat
sebagai amalan kalian, Insya Allah.. Kakak pernah dengar, kata Imam Syahid
Hasan Al-Banna.. Beliau pernah memberi nasihat bahwa Allah tidak menuntut hasil
kerja.. Samasekali tidak.. Bukan hasil kerja, tetapi benarnya orientasi dan
baiknya persiapan.. Setelahnya, bila kita keliru, maka kita akan mendapat pahala
kerja yang sungguh-sungguh.. Dan bila kita benar, maa kita akan mendapat pahala
dan keberhasilan.. Ketahuilah bahwa Allah beserta kita dan tidak akan
menyia-nyiakan amalan kita.. Dan sesungguhnya, kemenangan adalah milik
orang-orang yang bekerja, Akhi..” ucap Kak Randi panjang lebar. Kami hanya
tersenyum-senyum mendengarnya.
“Iya, Kak.. Kalimat yang sangat indah dan bernilai
motivasi..” ucapku.
“Intinya adalah benarnya niat dan baiknya persiapan ya,
Kak.. Itu bagian dari ikhtiar kan, ya Kak..?” sambung Firman.
“Ya.. Setelah ikhtiar itu telah selesai kita optimalkan, ada
dua suplemen yang akan senantiasa membuat kita kuat.. Sabar dan syukur.. Kedua
sikap itulah yang akan senantiasa membuat kita lebih kuat menghadapi segala
hasil yang telah diskenariokan oleh-Nya..”
“Ya Kak.. Insya Allah, ya..” ucap Firman.
“Saya juga suka sama kata-kata Kakak.. Yang dulu Kakak
SMS-kan ke saya.. Isinya adalah bahwa setiap rintangan dan ujian, jika itu
tidak sampai membuat kita MATI, maka semua itu hanya akan membuat kita lebih
kuat.. Ya, itu sangat menguatkan saya..” sambungku.
“Ya.. Semua itu
adalah yang terbaik yang telah diberikan Allah bagi kita.. Insya Allah, ya..”
lanjut Kak Randi. Tak lama kemudian terdengar suara adzan. Adzan merdu yang
menandakan dimulainya hari ini. Aku tekadkan di dalam hati bahwa ikhtiarku
hanya aku persembahkan kepada Rabb-ku.
Selanjutnya terserah kepada Allah. Namun
tidak dapat aku nafikan bahwa aku masih agak takut jika tidak lulus. Dan aku
merasa bahwa kemampuan Matematika-ku masih sangat kurang. Ah, sudahlah.
Ikhtiar dulu!
*bersambung
Muhammad Fathan
Mubina
Mahasiswa Ilmu Politik UI 2011
Staff PSDM FSI FISIP UI
Mahasiswa Ilmu Politik UI 2011
Staff PSDM FSI FISIP UI