Islamedia - Waktu bergulir begitu cepat. Hanya tinggal satu pekan lagi,
aku dan ribuan siswa kelas 12 SMA se-Indonesia akan melaksanakan hajat besar
nasional bersama-sama. Sebuah hajat pemerintah yang sering menjadi sangat menyedihkan.
Dimana banyak idealisme siswa tergadaikan. Banyak nilai kejujuran yang rela
ditukarkan dengan nilai besar yang tertera di ijazah mereka. Ujian Nasional.
Aku merasa ada yang berbeda dengan teman-temanku. Sikap
mereka terhadapku, terutama terhadap Firman. Kami semua seolah menjauh.
Lebih-lebih Firman. Sangat terlihat kekecewaan teman-teman terhadap Firman.
Mungkin ini disebabkan oleh sikap Firman yang konsisten terhadap kejujuran yang
dia pegang.
“Ya, kalaupun gak mau dapat kunci jawaban, jangan pelit
sendiri dong! Mentang-mentang orang pinter..” ucap salah seorang rekanku kepada
Firman suatu ketika. Ini terjadi ketika beberapa pekan lalu kami melaksanakan
Ujian Akhir Semester yang pada tahun ini dilaksanakan sebelum penyelenggaraan
UN.
“Iya nih.. Kita menghargai kamu yang yakin sama kemampuan
kamu sehingga mengerjakan ujian itu sendirian.. Gak menerima kunci jawaban yang
udah susah-susah kita cari ke sekolah lain.. Tapi ya seenggaknya kamu bantuin
temen-temen yang lain lah.. Cocokkin kunci jawabannya sama jawaban kamu, supaya
kita tau kunci jawaban itu benar atau nggak..” sambung yang lain dengan polos.
Firman hanya terdiam di tempat duduknya.
“Kawan, coba kalian lihat di peraturan nomor 4 itu.. Disana
disebutkan bahwa kita tidak boleh menanyakan jawaban kepada orang lain, atau
memberikan jawaban kepada orang lain.. Berinteraksi saja sebenarnya sudah tidak
boleh.. Kalau saya memberikan jawaban saya kepada salah seorang dari kalian,
itu sama saja melanggar peraturan.. Kalau gitu, buat apa saya bela-belain jujur
dan ga liat kunci jawaban kalian.. Mendingan liat yang kalian juga kalau begitu
mah.. Rugi di saya atuh..?” ucap Firman dengan tenang.
Teman-teman terlihat tambah jengkel menghadapinya.
“Nah kalau gitu kamu juga lihat aja..! Kita mah gak apa-apa kok..” sambung yang
lain.
“Gak mau ah.. Takut ketahuan sama Pak Yahya..” ucap Firman
dengan polos. Pak Yahya adalah seorang guru yang sangat idealis. Mungkin bukan
satu-satunya guru idealis yang tersisa di sekolah kami, tapi yang pasti
beliaulah yang paling berani. Beberapa teman sekelasku pernah mendapatkan
‘dampak’ dari ketidakjujuran mereka di UAS ini. Pak Yahya samasekali tidak
segan untuk merobek lembar jawaban mereka dan mempersilahkan siswa yang
ketahuan menyontek untuk ke ruang POKJA.
“Nggak bakalan..! Gue jamin deh.. Kan kita juga hati-hati
Man.. Guru-guru gak bakalan ada yang lihat deh..!! Percaya sama gue, Man.. Ntar
biar gue yang atur..” jawab salah seorang dari mereka.
Firman kemudian berdiri seraya tersenyum. Menatap wajah
temanku yang berbicara tadi dalam-dalam. Tatapannya sangat tenang dan
meyakinkan. “Ya, mungkin Pak Yahya tidak melihat kita.. Tapi…… bukankah
TUHANNYA Pak Yahya PASTI MELIHAT kita..?” ucapnya dengan tenang.
Matanya masih
menatap tajam wajah temanku. Aku terkagum melihatnya. Sungguh berani.
“Kenapa kita harus takut kepada Pak Yahya sedangkan kita
samasekali tidak takut kepada Allah..? Kenapa kita harus malu kepada para
guru-guru sedangkan kita samasekali tidak malu kepada Allah..? Ini jalanku,
kawan.. Aku harap kalian bisa menghormatinya, sebagaimana aku menghormati
pilihan kalian tadi.. Aku samasekali tidak melapor kepada guru kan, bahwa
kalian saling bekerjasama..? Padahal itu jelas dilarang dalam aturan..”
lanjutnya dengan tegas.
Teman-teman yang ada di sana terdiam. Diam seribu bahasa.
Tampak sangat kaget dan tidak mampu berkata-kata. Karisma yang terpancar dari
ketulusan hati Firman tampak membuat mereka sangat segan. “Emmh.. Ah.. Eumh..
Halaah.. terserah lo aja deh!” jawab temanku yang ditatap Firman dengan agak
terbata. Mereka semua lalu langsung beranjak keluar dari ruangan kelas. Firman
menghembuskan nafas panjang, kemudian terduduk lagi. Dia membuka buku pelajaran
yang akan diujikan hari ini.
Semenjak itulah Firman seolah menjadi musuh bagi seluruh
teman-temanku. Ralat, tidak semua. Terkecuali anak-anak Rohis dan anak-anak halaqah.
Beberapa dari mereka juga sebenarnya sering menyontek. Dan aku sangat
mengetahui bahwa mereka juga sebenarnya masih mengharapkan Firman melunak. Tapi
mereka tidak memusuhi Firman.
Yang aku kagumi dari Firman, dia samasekali tidak membalas
sikap-sikap itu dengan sikap yang serupa. Dia justru sangat giat untuk
mengingatkan teman-teman seangkatan dengan sering mengirimkan SMS Dakwah. Di
samping itu, dia giat sekali mengajak teman-teman lain untuk belajar bersama.
Tapi hanya sedikit yang merespon. Kebanyakan dari kalangan akhwat.
Aku sendiri masih agak bingung tentang matematika.
Belakangan aku mendalami pelajaran-pelajaran lain. Aku agak melunak. Aku sempat
berpikir untuk menyontek hanya di pelajaran matematika saja. Dengan begitu, aku
bisa lebih fokus di mata pelajaran lain yang memang lebih aku kuasai dan aku
sukai. Tapi melihat Firman, aku jadi malu sendiri.
“Firman.. Apa gak sebaiknya kamu sedikit melunak saja,
Man..? Kamu bilang saja sama mereka, bahwa mereka boleh saja melihat
jawabanmu.. Asalkan kamu tidak tahu..” ucapku pada suatu kesempatan. Firman
hanya menimpali dengan senyuman dan tatapan keyakinan terhadapku.
Keteguhannya
bagai sinyal untuk meyakiniku, sudah
tidak apa-apa Mal.. Ini sudah yang terbaik.. Hal itu membuatku jadi malu
sendiri telah menanyakan pertanyaan itu kepadanya.
Akhirnya aku memutuskan untuk tetap pada pendirianku. Aku
akan tetap jujur, apapun hasilnya kelak. Tapi aku tidak boleh pasrah. Ikhtiarku
harus terus berjalan. Harus tetap istiqamah pada jalan yang tepat. Satu pekan
ini akan menjadi pekan pertarungan terakhirku. Pekan penentuan nasibku setelah
selama tiga tahun ini berikhtiar di tingkat SMA. Aku tidak akan menyerahkan
kejujuranku hanya kepada satu kata lulus. Aku akan lulus, dengan jujur!
***
Lagi-lagi waktu terus bergulir dengan cepat. Pantaslah Allah
swt., sangat menghargai waktu. Bahkan dalam surah Al-Ashr, Allah bersumpah atas
nama waktu. Aku pernah membaca dalam sebuah buku bahwa sepanjang sejarah tafsir
dalam Al-Qur’an, ketika Allah bersumpah dengan salah satu makhluknya, maka bisa
dipastikan bahwa sesuatu tersebut adalah hal yang sangat penting dalam
kehidupan. Ketika Allah bersumpah dengan makhlukNya, maka hal tersebut pasti
memiliki kedudukan yang sangat stategis dalam struktur kehidupan manusia.
Misalnya, selain waktu, Allah bersumpah atas nama matahari, bulan, bintang, dan
yang lainnya.
Ini sangat menunjukkan bahwa waktu adalah hal yang sangat
penting dan sangat strategis dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya,
beruntunglah mereka yang sangat menghargai waktu dan memanfaatkan waktu yang
ada dengan seoptimal mungkin. Tentu saja, karena satu detik yang telah terlalui
takkan pernah kembali. Dan satu detik ke depan tak akan pernah sama dengan
detik yang tengah kita lalui sekarang. Itulah hebatnya waktu. Jika Allah saja
sangat ‘menghargai’ waktu, mengapa kita tidak?
Tidak terasa beberapa waktu yang lalu kami telah memulai
pelaksanaan Ujian Nasional. Dan bagiku, hari ini adalah hari penentuannya. Hari
pelaksanaan Ujian Nasional, suatu hajat besar tingkat nasional untuk
siswa-siswi kelas 12 SMA se-Indonesia. Mata pelajaran yang akan diujikan hari
ini adalah yang tersulit bagiku. Matematika.
Pelajaran-pelajaran yang lain telah aku selesaikan dengan
baik. Dan aku sangat yakin bahwa aku bisa meraih nilai yang optimal di dua
pelajaran sebelum hari ini. Namun hari inilah yang tersulit. Secara umum,
konsep-konsep Matematika telah aku hafal dalam otakku. Namun terkadang aku
masih sulit untuk mengerjakan bentuk soal dalam varian yang berbeda.
Bismillahirrahmanirrahim,
ucapku dalam hati. Hari ini adalah hari terakhir ikhtiarku dalam perjuangan
untuk ‘bersahabat’ dengan Matematika. Aku
harus bisa jujur! Apapun hasilnya!, tegasku dalam hati.
Bel sekolah berdering, seiring dengan suara pengumuman dari
Pak Yahya bahwa pelaksanaan Ujian Nasional mata pelajaran matematika akan
dimulai dalam waktu sepuluh menit lagi. Aku semakin tegang. Terlebih ketika
kedua pengawas dari sebuah instansi pendidikan Kristen masuk ke dalam kelasku. Kedua
pengawas dari sekolah Kristen tersebut memang ditugaskan oleh pemerintah untuk
mengawas di sekolahku, yang notabene merupakan sekolah islam.
Lembar jawaban dibagikan. Aku berusaha untuk menenangkan
diriku, kemudian mengisi identitasku dengan teliti. Selesai. Tak berapa lama,
lembar soal dibagikan. Matematika. Ah,
aku pasti bisa! Bismillahirrahmanirrahim..
Perlahan aku membuka lembar demi lembar soal tersebut. Satu
per satu aku kerjakan soal-soal yang berada dalam penguasaan materiku. Satu,
dua, tiga, dan beberapa soal lainnya berhasil aku kerjakan. Aku sangat khusyuk
mengerjakannya. Sesekali aku terlihat bingung sendiri, dengan ekspresi yang
sangat menunjukkan bahwa aku tengah terbingung. Memang terkadang aku sangat
ekspresif, tanpa aku sadari.
Mungkin hal itu juga yang membuat salah seorang pengawas
mendatangiku dan memperhatikanku. Aku bingung dibuatnya. Jangan-jangan pengawas ini menyangka aku berbuat curang. Ah, padahal
teman-teman yang lain terlihat sangat jelas tengah bekerjasama. Bahkan aku saja
bisa melihatnya. Tapi kenapa malah aku yang didatangi?, batinku. Tapi aku
berusaha untuk tidak menghiraukan pengawas itu, dan tetap fokus pada soal yang
tengah aku kerjakan.
Tanpa pernah aku duga sebelumnya, tiba-tiba pengawas yang
tengah memperhatikanku tersebut mengambil sebuah pensil cadangan yang ada di
dalam kotak pensilku. Kemudian dengan tenang dan wajah tanpa dosa, dia
menyoretkan beberapa coretan dalam lembar soalku. Tanpa berbicara, dia
menyerahkan kembali lembaran soal tersebut. Setelah aku memperhatikan
tulisan-tulisan tersebut, ternyata itu adalah rumus-rumus serta pengerjaan
lengkap salah satu soal dalam kertas ujianku. Pengawas ini mengerjakan sebuah soal untukku!
“Nanti dihapus ya..” ucap pengawas wanita yang berambut
pendek tersebut dengan wajah tanpa dosa. Ya
Allah, mungkinkah ini ‘ujian’ yang sesungguhnya? ‘Ujian’ yang langsung kau
berikan kepadaku yang memang tengah gundah? Astagfirullahal’adzhiim.. Kuatkan
aku ya Allah, teriak batinku.
Dengan mencoba untuk tidak melihat tulisan-tulisan tersebut,
aku langsung menghapusnya. Aku berusaha untuk menghapusnya serapi mungkin. Aku
sebenarnya sangat jengkel kepada pengawas tersebut. Namun aku bingung harus
berbuat apa saat itu. Ah, sudahlah. Aku
harus tetap fokus mengerjakan soal-soal ini. Masih banyak soal yang belum
selesai aku kerjakan, pikirku.
Tidak terasa, waktu untuk mengerjakan soal tinggal lima
belas menit lagi. Aku sudah mengevaluasi soal-soal yang telah selesai aku
kerjakan. Namun ternyata aku masih menyisakan sepuluh dari total empat puluh
soal yang harus aku kerjakan. Aku mulai panik. Aku lihat di sekelilingku,
teman-teman sudah santai. Bahkan ada beberapa orang yang memprovokasi panitia
untuk menyudahi waktu pengerjaan, karena mereka semua sudah selesai. Egois!, batinku.
Tanpa sengaja tatapanku bertemu dengan lembaran jawaban dari
Mahmud, yang terkenal jagonya matematika di kelasku bersama Firman. Entah
kenapa tatapan ini tak mau cepat-cepat pindah dari lembar jawaban tersebut. Aku
terdiam. Namun segera aku beristigfar dalam hati. Astagfirullah! Aku tidak boleh mengkhianati integritasku. Ya Allah,
kuatkan aku!!
Akhirnya aku mencoba untuk tenang dan kembali membaca
soal-soal yang terpampang di hadapanku. Aku tatap salah satu soal, kemudian aku
ingat-ingat lagi penjelasan dari Bu Ani guru matematikaku. Aku korelasikan
rumus dasar yang telah aku ingat dengan varian soal ini. Bismillahirrahmanirrahim.
Tak terasa beberapa soal telah selesai aku kerjakan. 80% aku
yakin terhadap pengerjaan soal-soal tersebut. Kini tersisa lima soal lagi. Dan
waktu untuk mengerjakan hanya tinggal dua menit! Aku tatap soal-soal tersebut
untuk mengecek, barangkali ada soal yang aku ingat langkah-langkah
pengerjaannya. Ternyata aku bingung. Akhirnya aku gunakan jurus Pak Yahya. Aku
isi kelima soal tersebut dengan jawaban yang sama : C. C untuk cucah, karena soal-soal tersebut adalah
soal-soal yang cucah (baca : susah). Hehehe.
Bel berdering. Pak Yahya mengumumkan bahwa waktu pengerjaan
soal matematika telah selesai, dan seluruh siswa diharuskan untuk keluar dari
ruangan. Alhamdulillah, aku berhasil
mengerjakan soal-soal matematika yang notabene merupakan pelajaran yang sangat
sulit bagiku dengan jujur. Kini aku tinggal terus berdo’a dan bertawakal kepada
Allah untuk segala hasil yang telah ditentukan olehNya.
Ya Allah, jika memang
aku belum ditakdirkan untuk lulus dalam ujian nasional kali ini, aku yakin
bahwa itulah yang terbaik dariMu. Dan aku berharap, apapun takdir yang Engkau
berikan dalam ujian duniawi ini, semoga itu menjadi penguatku dalam melewati
ujian kehidupan yang sesungguhnya dariMu. Kalaupun aku belum ditakdirkan lulus
dalam ujia duniawi ini, semoga di mataMu aku telah berhasil untuk lulus dalam
ujian kehidupan yang sesungguhnya. Amin, ya Mujib..
*bersambung
Muhammad Fathan
Mubina
Mahasiswa Ilmu Politik UI 2011
Staff PSDM FSI FISIP UI
Mahasiswa Ilmu Politik UI 2011
Staff PSDM FSI FISIP UI