Ketika Kejujuran Dipertaruhkan #2 -->

Ketika Kejujuran Dipertaruhkan #2

Jumat, 18 Mei 2012
http://setiaonebudhi.files.wordpress.com/2012/04/ujiannasional2012.jpg?w=358&h=269
Islamedia - Waktu bergulir begitu cepat. Hanya tinggal satu pekan lagi, aku dan ribuan siswa kelas 12 SMA se-Indonesia akan melaksanakan hajat besar nasional bersama-sama. Sebuah hajat pemerintah yang sering menjadi sangat menyedihkan. Dimana banyak idealisme siswa tergadaikan. Banyak nilai kejujuran yang rela ditukarkan dengan nilai besar yang tertera di ijazah mereka. Ujian Nasional.

Aku merasa ada yang berbeda dengan teman-temanku. Sikap mereka terhadapku, terutama terhadap Firman. Kami semua seolah menjauh. Lebih-lebih Firman. Sangat terlihat kekecewaan teman-teman terhadap Firman. Mungkin ini disebabkan oleh sikap Firman yang konsisten terhadap kejujuran yang dia pegang.

“Ya, kalaupun gak mau dapat kunci jawaban, jangan pelit sendiri dong! Mentang-mentang orang pinter..” ucap salah seorang rekanku kepada Firman suatu ketika. Ini terjadi ketika beberapa pekan lalu kami melaksanakan Ujian Akhir Semester yang pada tahun ini dilaksanakan sebelum penyelenggaraan UN.

“Iya nih.. Kita menghargai kamu yang yakin sama kemampuan kamu sehingga mengerjakan ujian itu sendirian.. Gak menerima kunci jawaban yang udah susah-susah kita cari ke sekolah lain.. Tapi ya seenggaknya kamu bantuin temen-temen yang lain lah.. Cocokkin kunci jawabannya sama jawaban kamu, supaya kita tau kunci jawaban itu benar atau nggak..” sambung yang lain dengan polos. Firman hanya terdiam di tempat duduknya.

“Kawan, coba kalian lihat di peraturan nomor 4 itu.. Disana disebutkan bahwa kita tidak boleh menanyakan jawaban kepada orang lain, atau memberikan jawaban kepada orang lain.. Berinteraksi saja sebenarnya sudah tidak boleh.. Kalau saya memberikan jawaban saya kepada salah seorang dari kalian, itu sama saja melanggar peraturan.. Kalau gitu, buat apa saya bela-belain jujur dan ga liat kunci jawaban kalian.. Mendingan liat yang kalian juga kalau begitu mah.. Rugi di saya atuh..?” ucap Firman dengan tenang. Teman-teman terlihat tambah jengkel menghadapinya.

“Nah kalau gitu kamu juga lihat aja..! Kita mah gak apa-apa kok..” sambung yang lain.
“Gak mau ah.. Takut ketahuan sama Pak Yahya..” ucap Firman dengan polos. Pak Yahya adalah seorang guru yang sangat idealis. Mungkin bukan satu-satunya guru idealis yang tersisa di sekolah kami, tapi yang pasti beliaulah yang paling berani. Beberapa teman sekelasku pernah mendapatkan ‘dampak’ dari ketidakjujuran mereka di UAS ini. Pak Yahya samasekali tidak segan untuk merobek lembar jawaban mereka dan mempersilahkan siswa yang ketahuan menyontek untuk ke ruang POKJA.

“Nggak bakalan..! Gue jamin deh.. Kan kita juga hati-hati Man.. Guru-guru gak bakalan ada yang lihat deh..!! Percaya sama gue, Man.. Ntar biar gue yang atur..” jawab salah seorang dari mereka.
Firman kemudian berdiri seraya tersenyum. Menatap wajah temanku yang berbicara tadi dalam-dalam. Tatapannya sangat tenang dan meyakinkan. “Ya, mungkin Pak Yahya tidak melihat kita.. Tapi…… bukankah TUHANNYA Pak Yahya PASTI MELIHAT kita..?” ucapnya dengan tenang. 
Matanya masih menatap tajam wajah temanku. Aku terkagum melihatnya. Sungguh berani.

“Kenapa kita harus takut kepada Pak Yahya sedangkan kita samasekali tidak takut kepada Allah..? Kenapa kita harus malu kepada para guru-guru sedangkan kita samasekali tidak malu kepada Allah..? Ini jalanku, kawan.. Aku harap kalian bisa menghormatinya, sebagaimana aku menghormati pilihan kalian tadi.. Aku samasekali tidak melapor kepada guru kan, bahwa kalian saling bekerjasama..? Padahal itu jelas dilarang dalam aturan..” lanjutnya dengan tegas.

Teman-teman yang ada di sana terdiam. Diam seribu bahasa. Tampak sangat kaget dan tidak mampu berkata-kata. Karisma yang terpancar dari ketulusan hati Firman tampak membuat mereka sangat segan. “Emmh.. Ah.. Eumh.. Halaah.. terserah lo aja deh!” jawab temanku yang ditatap Firman dengan agak terbata. Mereka semua lalu langsung beranjak keluar dari ruangan kelas. Firman menghembuskan nafas panjang, kemudian terduduk lagi. Dia membuka buku pelajaran yang akan diujikan hari ini.

Semenjak itulah Firman seolah menjadi musuh bagi seluruh teman-temanku. Ralat, tidak semua. Terkecuali anak-anak Rohis dan anak-anak halaqah. Beberapa dari mereka juga sebenarnya sering menyontek. Dan aku sangat mengetahui bahwa mereka juga sebenarnya masih mengharapkan Firman melunak. Tapi mereka tidak memusuhi Firman.

Yang aku kagumi dari Firman, dia samasekali tidak membalas sikap-sikap itu dengan sikap yang serupa. Dia justru sangat giat untuk mengingatkan teman-teman seangkatan dengan sering mengirimkan SMS Dakwah. Di samping itu, dia giat sekali mengajak teman-teman lain untuk belajar bersama. Tapi hanya sedikit yang merespon. Kebanyakan dari kalangan akhwat.

Aku sendiri masih agak bingung tentang matematika. Belakangan aku mendalami pelajaran-pelajaran lain. Aku agak melunak. Aku sempat berpikir untuk menyontek hanya di pelajaran matematika saja. Dengan begitu, aku bisa lebih fokus di mata pelajaran lain yang memang lebih aku kuasai dan aku sukai. Tapi melihat Firman, aku jadi malu sendiri.

“Firman.. Apa gak sebaiknya kamu sedikit melunak saja, Man..? Kamu bilang saja sama mereka, bahwa mereka boleh saja melihat jawabanmu.. Asalkan kamu tidak tahu..” ucapku pada suatu kesempatan. Firman hanya menimpali dengan senyuman dan tatapan keyakinan terhadapku. 

Keteguhannya bagai sinyal untuk meyakiniku, sudah tidak apa-apa Mal.. Ini sudah yang terbaik.. Hal itu membuatku jadi malu sendiri telah menanyakan pertanyaan itu kepadanya.

Akhirnya aku memutuskan untuk tetap pada pendirianku. Aku akan tetap jujur, apapun hasilnya kelak. Tapi aku tidak boleh pasrah. Ikhtiarku harus terus berjalan. Harus tetap istiqamah pada jalan yang tepat. Satu pekan ini akan menjadi pekan pertarungan terakhirku. Pekan penentuan nasibku setelah selama tiga tahun ini berikhtiar di tingkat SMA. Aku tidak akan menyerahkan kejujuranku hanya kepada satu kata lulus. Aku akan lulus, dengan jujur!

***
Lagi-lagi waktu terus bergulir dengan cepat. Pantaslah Allah swt., sangat menghargai waktu. Bahkan dalam surah Al-Ashr, Allah bersumpah atas nama waktu. Aku pernah membaca dalam sebuah buku bahwa sepanjang sejarah tafsir dalam Al-Qur’an, ketika Allah bersumpah dengan salah satu makhluknya, maka bisa dipastikan bahwa sesuatu tersebut adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan. Ketika Allah bersumpah dengan makhlukNya, maka hal tersebut pasti memiliki kedudukan yang sangat stategis dalam struktur kehidupan manusia. Misalnya, selain waktu, Allah bersumpah atas nama matahari, bulan, bintang, dan yang lainnya.

Ini sangat menunjukkan bahwa waktu adalah hal yang sangat penting dan sangat strategis dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, beruntunglah mereka yang sangat menghargai waktu dan memanfaatkan waktu yang ada dengan seoptimal mungkin. Tentu saja, karena satu detik yang telah terlalui takkan pernah kembali. Dan satu detik ke depan tak akan pernah sama dengan detik yang tengah kita lalui sekarang. Itulah hebatnya waktu. Jika Allah saja sangat ‘menghargai’ waktu, mengapa kita tidak?

Tidak terasa beberapa waktu yang lalu kami telah memulai pelaksanaan Ujian Nasional. Dan bagiku, hari ini adalah hari penentuannya. Hari pelaksanaan Ujian Nasional, suatu hajat besar tingkat nasional untuk siswa-siswi kelas 12 SMA se-Indonesia. Mata pelajaran yang akan diujikan hari ini adalah yang tersulit bagiku. Matematika.

Pelajaran-pelajaran yang lain telah aku selesaikan dengan baik. Dan aku sangat yakin bahwa aku bisa meraih nilai yang optimal di dua pelajaran sebelum hari ini. Namun hari inilah yang tersulit. Secara umum, konsep-konsep Matematika telah aku hafal dalam otakku. Namun terkadang aku masih sulit untuk mengerjakan bentuk soal dalam varian yang berbeda.

Bismillahirrahmanirrahim, ucapku dalam hati. Hari ini adalah hari terakhir ikhtiarku dalam perjuangan untuk ‘bersahabat’ dengan Matematika. Aku harus bisa jujur! Apapun hasilnya!, tegasku dalam hati.

Bel sekolah berdering, seiring dengan suara pengumuman dari Pak Yahya bahwa pelaksanaan Ujian Nasional mata pelajaran matematika akan dimulai dalam waktu sepuluh menit lagi. Aku semakin tegang. Terlebih ketika kedua pengawas dari sebuah instansi pendidikan Kristen masuk ke dalam kelasku. Kedua pengawas dari sekolah Kristen tersebut memang ditugaskan oleh pemerintah untuk mengawas di sekolahku, yang notabene merupakan sekolah islam.

Lembar jawaban dibagikan. Aku berusaha untuk menenangkan diriku, kemudian mengisi identitasku dengan teliti. Selesai. Tak berapa lama, lembar soal dibagikan. Matematika. Ah, aku pasti bisa! Bismillahirrahmanirrahim..

Perlahan aku membuka lembar demi lembar soal tersebut. Satu per satu aku kerjakan soal-soal yang berada dalam penguasaan materiku. Satu, dua, tiga, dan beberapa soal lainnya berhasil aku kerjakan. Aku sangat khusyuk mengerjakannya. Sesekali aku terlihat bingung sendiri, dengan ekspresi yang sangat menunjukkan bahwa aku tengah terbingung. Memang terkadang aku sangat ekspresif, tanpa aku sadari.

Mungkin hal itu juga yang membuat salah seorang pengawas mendatangiku dan memperhatikanku. Aku bingung dibuatnya. Jangan-jangan pengawas ini menyangka aku berbuat curang. Ah, padahal teman-teman yang lain terlihat sangat jelas tengah bekerjasama. Bahkan aku saja bisa melihatnya. Tapi kenapa malah aku yang didatangi?, batinku. Tapi aku berusaha untuk tidak menghiraukan pengawas itu, dan tetap fokus pada soal yang tengah aku kerjakan.

Tanpa pernah aku duga sebelumnya, tiba-tiba pengawas yang tengah memperhatikanku tersebut mengambil sebuah pensil cadangan yang ada di dalam kotak pensilku. Kemudian dengan tenang dan wajah tanpa dosa, dia menyoretkan beberapa coretan dalam lembar soalku. Tanpa berbicara, dia menyerahkan kembali lembaran soal tersebut. Setelah aku memperhatikan tulisan-tulisan tersebut, ternyata itu adalah rumus-rumus serta pengerjaan lengkap salah satu soal dalam kertas ujianku. Pengawas ini mengerjakan sebuah soal untukku!

“Nanti dihapus ya..” ucap pengawas wanita yang berambut pendek tersebut dengan wajah tanpa dosa. Ya Allah, mungkinkah ini ‘ujian’ yang sesungguhnya? ‘Ujian’ yang langsung kau berikan kepadaku yang memang tengah gundah? Astagfirullahal’adzhiim.. Kuatkan aku ya Allah, teriak batinku.

Dengan mencoba untuk tidak melihat tulisan-tulisan tersebut, aku langsung menghapusnya. Aku berusaha untuk menghapusnya serapi mungkin. Aku sebenarnya sangat jengkel kepada pengawas tersebut. Namun aku bingung harus berbuat apa saat itu. Ah, sudahlah. Aku harus tetap fokus mengerjakan soal-soal ini. Masih banyak soal yang belum selesai aku kerjakan, pikirku.

Tidak terasa, waktu untuk mengerjakan soal tinggal lima belas menit lagi. Aku sudah mengevaluasi soal-soal yang telah selesai aku kerjakan. Namun ternyata aku masih menyisakan sepuluh dari total empat puluh soal yang harus aku kerjakan. Aku mulai panik. Aku lihat di sekelilingku, teman-teman sudah santai. Bahkan ada beberapa orang yang memprovokasi panitia untuk menyudahi waktu pengerjaan, karena mereka semua sudah selesai. Egois!, batinku.

Tanpa sengaja tatapanku bertemu dengan lembaran jawaban dari Mahmud, yang terkenal jagonya matematika di kelasku bersama Firman. Entah kenapa tatapan ini tak mau cepat-cepat pindah dari lembar jawaban tersebut. Aku terdiam. Namun segera aku beristigfar dalam hati. Astagfirullah! Aku tidak boleh mengkhianati integritasku. Ya Allah, kuatkan aku!!

Akhirnya aku mencoba untuk tenang dan kembali membaca soal-soal yang terpampang di hadapanku. Aku tatap salah satu soal, kemudian aku ingat-ingat lagi penjelasan dari Bu Ani guru matematikaku. Aku korelasikan rumus dasar yang telah aku ingat dengan varian soal ini. Bismillahirrahmanirrahim.

Tak terasa beberapa soal telah selesai aku kerjakan. 80% aku yakin terhadap pengerjaan soal-soal tersebut. Kini tersisa lima soal lagi. Dan waktu untuk mengerjakan hanya tinggal dua menit! Aku tatap soal-soal tersebut untuk mengecek, barangkali ada soal yang aku ingat langkah-langkah pengerjaannya. Ternyata aku bingung. Akhirnya aku gunakan jurus Pak Yahya. Aku isi kelima soal tersebut dengan jawaban yang sama : C. C untuk cucah, karena soal-soal tersebut adalah soal-soal yang cucah (baca : susah). Hehehe.

Bel berdering. Pak Yahya mengumumkan bahwa waktu pengerjaan soal matematika telah selesai, dan seluruh siswa diharuskan untuk keluar dari ruangan. Alhamdulillah, aku berhasil mengerjakan soal-soal matematika yang notabene merupakan pelajaran yang sangat sulit bagiku dengan jujur. Kini aku tinggal terus berdo’a dan bertawakal kepada Allah untuk segala hasil yang telah ditentukan olehNya.

Ya Allah, jika memang aku belum ditakdirkan untuk lulus dalam ujian nasional kali ini, aku yakin bahwa itulah yang terbaik dariMu. Dan aku berharap, apapun takdir yang Engkau berikan dalam ujian duniawi ini, semoga itu menjadi penguatku dalam melewati ujian kehidupan yang sesungguhnya dariMu. Kalaupun aku belum ditakdirkan lulus dalam ujia duniawi ini, semoga di mataMu aku telah berhasil untuk lulus dalam ujian kehidupan yang sesungguhnya. Amin, ya Mujib..
*bersambung


Muhammad Fathan Mubina
Mahasiswa Ilmu Politik UI 2011
Staff PSDM FSI FISIP UI