Heboh Wanita “Reformis” -->

Heboh Wanita “Reformis”

Kamis, 10 Mei 2012
http://images.solopos.com/2012/05/090512_JOGJA_Menolak-Irshad-Manji_SUR-02-370x246.jpg
Islamedia - Perempuan itu biasa-biasa saja. Tidak ada yang terlalu menarik secara fisik. Secara intelektual juga tidak ada hal yang menonjol. Semuanya serba biasa. Kalaupun ada yang tidak biasa, itu ada pada pola hidupnya. Perempuan muda ini sampai sekarang gagal mengenali diri pada tingkat yang paling dasar: pengenalan jenis (ma’rifah jinsiyyah). Ia wanita, tapi tak suka pada pria. Ia wanita, tapi bernafsu pada sesama kaum Hawa.

Mungkin pula dendam masa lalu karena ayahnya adalah profil lelaki penyiksa, pengeksploitasi wanita, lahir-batin. Maka tiap lelaki dipersepsi seperti Bapaknya, sehingga ngeri timbul di hatinya ketika harus berurusan dengan kum Adam. Mungkin pula karena pola pikirnya terlalu rumit.  Barangkali terlalu dalam lamunannya, terlalu canggih teorinya atau terlalu sarat input filosofisnya; “konsep gender itu tak sama dengan jenis kelamin”,gender adalah konstruksi sosial”, “budaya patriarkal telah merasuk ke dalam jiwa sosial, lalu menjadi determinan budaya dan tolak-ukur peran sosial”, atau “pembedaan berdasarkan jenis  kelamin telah mendistorsi semangat egalitarianisme dan mengalienasi perempuan dari ranah publik”, dan seterusnya. 

Entahlah, bagi saya yang anak kampung, mendengar kalimat-kalimat semacam itu bukan main  susahnya; rumit, ruwet. Sepertinya karena saya tumbuh di lingkungan anak Indonesia kebanyakan. Semuanya berjalan biasa-biasa, normal-normal saja. Soal jenis kelamin, peran dan tanggung-jawab bukan sesuatu yang mesti diributkan. Anak-anak balita pun sudah paham benar dengan jenis kelaminnya, sehingga mereka pun menempatkan diri sesuai dengan kodratnya. Bocah-bocah lelaki kemudian tumbuh dalam permainan gundu, kejar-kejaran, sesekali baku-hantam kecil-kecilan. Para anak wanita akan berkhayal menjadi ibu dalam permainan masak-masakan atau arisan imajiner mereka. Semua serba normal, serba kodrati. Semua lekat dengan fitrah asasi. 

Lepas beberapa tahun dari usia balita, ketika masih berseragam putih-merah, anak-anak ini pun sudah ada yang mengenal perasaan alamiah manusia kepada lawan jenisnya. Ada yang mulai suka dan malu-malu bertitip salam pada gadis kecil juara kelas. Ada yang sedikit lebih okem; berkirim surat  cinta dengan resiko kuping dijewer Bu Guru jika ketahuan (dan jeweran ini bisa dipastikan tidak akan mengantarkan Ibu Guru ke hadapan Komnas HAM!).  Si gadis kecil pun kadang hanya bisa memandang dari jauh sambil tersenyum dengan kontur bibir yang berantakan; karena ge-er sekaligus memendam rasa; cinta monyet. 

Soal natinya terjerumus pacaran atau mampu menjaga diri hingga dewasa, itu lain soal (tentu saja kita tak ingin bocah-bocah ini jadi korban pergaulan bebas sebelum pernikahan). Tapi yang ingin saya soroti adalah; betapa manusia-manusia kecil yang baru genap sewindu menghirup udara dunia itu telah begitu mudahnya menyadari identitas jenisnya; “Aku lelaki dan engkau wanita”. Aku menyukaimu, karena kita berbeda!

Ketika pulang ke rumah, suasana yang terjadi juga biasa-biasa saja. Ayah bekerja dan ibu memasak. Kadang-kadang ayah coba memasak dan Ibu iseng-iseng jualan untuk menambah penghasilan keluarga. Ayah memperbaiki atap rumah yang bocor, ibu menjahitkan celana si ananda tersayang yang sobek tersangkut paku di pintu kelas. Ayah begitu maskulin, gagah dan berwibawa, Ibu begitu lembut, sabar dan penyayang. 

Soal memperlakukan keduanya juga tak ada masalah. Ketika mengaji selepas Maghrib di musholla, ustadz akan bertanya: “mana yang lebih didahulukan bakti padanya?”, saya jawab “Ibu”. Kalau ditanya, “siapakah yang kita dahulukan perintahnya, Ayah atau Ibu?”, saya jawab, “Ayah”. Dan karena jawaban itu benar, guru ngaji kami yang baik hati pun memberi bonus berupa uang koin seratus rupiah, yang kala itu bisa dipakai untu membeli empat biji es sirop. Ah indahnya.

***
Lalu tiba-tiba badai itu datang. Perempuan berpenampilan biasa itu ternyata membawa pikiran yang diluar adat-kebiasaan. Konon ia adalah pejuang hebat di luar negeri sana, ulama mumpuni tempat meminta fatwa (mujtahidah). Katanya pula ia datang dengan misi yang tak tanggung-tanggung hebatnya: “membebaskan para perempuan dari keterbelengguan”, sekaligus “memperjuangkan hak-hak untuk mencurahkan cinta dan membina keluarga di luar jalur konvensional yang terbelenggu batas-batas fisik: gender nomor dua, yang penting cinta!” . Alamak…

Pikiran saya langsung melayang pada (sebut saja) Rina Banci, entah kenapa terasosiasi begitu saja. Dua puluh lima tahun yang lalu, dialah lelaki abnormal satu-satunya di kampung kami yang saban hari berdandan ala wanita. Rina ini juga sukanya pada sesama pria. Kalau ada pemuda ganteng lewat, sudah pasti digoda oleh si Rina. Tapi si Rina ini adalah anomali, satu di antara sekian ribu. Dan masyarakat pun mafhum; orang ini “sakit”. Devian istilah sosialnya. Tapi Si Rina Banci bukan orang sekolahan. Gayanya juga norak dan bikin takut anak-anak kecil. Pergaulannya sebatas dengan beberapa Ibu-ibu kampung yang hobi bersolek. Si Rina memang piawai soal mendandan dan rias wanita, meskipun Cuma kelas kampung, boleh lah….

Nah, perempuan yang satu ini jauh beda. Pakaiannya modis, gayanya cukup keren. Kacamatanya mengesankan intelektualitas yang lumayan. Maklumlah, katanya dia datang dari negara paling sejahtera di dunia; Kanada. Kalau dipikir-pikir, tak susah untuk menemukan jodoh seorang lelaki mapan untuk orang semacam ini. Tapi ya itu, cintanya hanya untuk sesama wanita. Heh….
***
Jika mengikuti pola pikir orang-orang di kampung saya yang sederhana, maka kita bisa simpulkan: orang ini keren tapi sakit. Patut dikasihani, mesti ditunjukkan jalan untuk terapi. 

Tapi sayangnya dia tak datang kemari untuk berobat. Dia datang justru untuk “mengobati” masyarakat Indonesia yang patriarkal dan konon cenderung “bias gender” dalam relasi sosialnya. Jauh-jauh dia terbang untuk mengajari orang-orang di negara berkembang ini soal “kemajuan pikir” dalam memandang cinta, kebebasan. Menyiapkan mental untuk hubungan cinta yang lebih advance. Bahkan dikenalkannya pula cara baru mengenali Tuhan dan menafsir kitab suci Al-Qur’an. Wanita yang bahkan belum tahu cara berkerudung yang benar itu mau ngajarin juga agama ternyata!

Sayangnya, banyak orang tak bisa lagi berpikir dengan logika sederhana. Mungkin intelektualitasnya kelewat batas atau bisa jadi sekolahnya kelewat tinggi.  Perempuan dengan  “penyakit menular”  diusung kesana-kemari. Dijadikan narasumber di berbagai forum “ilmiah”. Dipersiapkan baginya panggung mulia di teater Salihara, di kampus ini dan itu, di forum diskusi ini dan lingkaran pemikir itu. Sibuk betul, hebat betul! Para wartawan pun tak luput, mereka dikuliahi dengan berbagai teori dan wacana soal kebebasan. Bagaimana seharusnya menjadi pewarta yang berani dan menjunjung nilai kebebasan, pluralisme dan lain-lain. Tak kalah heboh dii luar ruangan, sekelompok laskar –yang juga katanya- anti bacok siap siaga mengamankan “intelektual agung” , “mujtahidah reformis” yang sekaligus penyuka sesama jenis(?). Ketika sebuah kampus terbesar di negeri ini memilih berpikir tepat, jernih, sederhana dan sangat toleran: “Silahkan diskusi, asal jangan di kampus ini”, itu pun jadi bahan protes dan cercaan. Kita memang betul-betul heboh.

Betapa repot dan hebohnya negeri besar  ini dengan kedatangan seorang perempuan abnormal. Padahal kunjungannya sepekan saja, seorang diri pula. Untungnya dia sudah pulang. 

Tinggallah kita yang kelelahan, setelah berjibaku antara sesama kita, mempertengkarkan satu hal yang sudah jelas adanya. 

Tinggallah kita yang kelelahan, dan masih harus membersihkan sisa-sisa kotoran pemikiran dan wacana yang menyimpan bermacam virus dan bakteri moral. 

Tinggallah kita yang kelelahan, setelah sepekan penuh kehebohan, untuk selanjutnya kembali berupaya mengajari anak-anak bangsa ini untuk hidup lurus, benar dan tidak suka berpikir “ugal-ugalan”. 

Tinggallah kita yang kelelahan, campur prihatin dan banyak-banyak minta ampun pada Tuhan; kenapa negeri kami bisa-bisanya jadi tempat propaganda kesesatan….
Selamat jalan Irshad Manji, selamat kembali negeri anda yang jauh di sana. Kalau bisa, jangan datang lagi ya….:-)


Andree
Da’i kampung, sedang belajar di program doktoral sosiologi IIUM