Rio Ibrahim secara tidak sengaja mendapat email pemberitahuan dari PP Selandia Baru, bahwa ada diskusi panel tentang Obat-obatan Interna...
Rio Ibrahim secara tidak sengaja mendapat email pemberitahuan dari PP
Selandia Baru, bahwa ada diskusi panel tentang Obat-obatan Internasional, yang
menghadirkan beberapa pembicara, termasuk wanita yang penah dicintainya,
Anindita. Padahal ia tidak pernah
memberitahu kepada wanita itu kepergian Rio ke Selandia Baru. Ia hanya membalas sms singkat di busway ketika itu “i am off for a while,
thanks for everything”. Tidak pernah ia ceritakan bahwa ia akan pergi dari
Indonesia untuk menuntut ilmu. Bagaimanakah kisahnya ?
***
Casio Edifice Rio sudah menunjukkan jam 2 pagi. Tapi matanya masih belum mau istirahat juga.
Badannya agak menggigil kedinginan, maklum kulit asianya tidak pernah akur
dengan iklim Auckland yang sangat berbeda dengan kampung halamannya di
Banjarmasin, kutukan sungai barito kata orang.
Entah sudah berapa kali ia keluar masuk kamar mandi, sekedar
mengkalibrasi suhu tubuhnya dengan cairan di dalamnya, pikirnya. Padahal besok pagi ia harus segera menemui
professor pembimbingnya di kampus, melaporkan kemajuan thesis yang ia buat.
“Hhh...” Rio menghela napasnya sekaligus menggeser selimutnya. Ia segera bergegas kembali ke kamar mandi,
kali ini bukan untuk buang air kecil, melainkan mengambil air wudhu. Daripada
diajak tidur nggak mau, mending diajak tahajud sekalian, pikir Rio menghibur.
...
Rio duduk tepat di Albert Park, persis depan kampusnya yang hanya
berjarak sekitar 50 meter. Sinar
matahari hari ini agak akrab dengan Rio ditambah rimbunnya hutan kota di Albert
Park, menambah betah untuk menghabiskan hari ini bersantai di taman. Biasanya
waktu senggang ini ia gunakan untuk mengerjakan tugas kuliah, atau sekedar
membuat tulisan, atau hanya sekedar update status twitter, dan yang terakhir
tadi yang lebih sering. Dipandanginya
kemacetan di jalan Wellesley depan kampusnya dan juga pohon whistling thorns
atau duri yang bersiul, tapi orang kampungnya lebih suka menyebutnya dengan
pohon Akasia.
“buzz..” tiba-tiba account skype Rio berbunyi. “Assalamualaikum wr wb mas..” sapa Wisnu di
menu message.
“Waalaikumsalam wr wb nu, ade ape nih ?” sahut Rio sok Betawi
“Maaf mengganggu mas.. hehe”
“Kagak apa-apa, lagi kosong koq, nyari inspirasi di albert park
#halahh , kenapa nih ? ada yang bisa saya bantu ?”
“Nah itu yang kami tunggu mas :) .. kebetulan PPI kerjasama dengan
KBRI mengadakan seminar farmasi kedokteran “
“Hmm terus... “
“Ya itu, rencananya kegiatannya akhir pekan ini .. “
“Koq mendadak ?”
“Sebenarnya nggak mendadak mas, udah beberapa minggu yang lalu direncanakan,
Cuma memang mas Rio nggak dilibatin, takut nganggu tugas tesis nya hehe.. “
“Ah segitunya.. hehe”
“Nah kami di PPI sudah bagi2 tugas, tapi ada satu yang kurang sampe
sekarang mas.. dan nggak dapet orangnya”
“Apa itu nu ?”
“Pendamping, sekaligus driver.. tahu khan maksudnya ? :)”
“Ooo... saya jadi pendamping sekaligus driver pembicaranya gitu
maksudnya ?”
“seratus mas :) “
“#LemparBakiak :) .. boleh deh .. Cuma akhir pekan ini khan ?”
“Iya mas, acaranya hari sabtu, mereka datang hari jumat, dan hari ahad
langsung balik ke Indonesia”
“Sipp.. nanti email aja detail nama pembicaranya jam kedatangan sama
jadwal selama disini ya”
“Oke mas.. asyik... makasih ya mas”
“Sama-sama..”
“Syukron Jazakallah Khair..”
“Waiyakum akh..”
Memang biasanya PPI selalu mengadakan kegiatan rutin baik itu untuk
mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Selandia Baru, namun juga lebih
sering dibuka untuk umum. Sekaligus
sosialisasi pariwisata di Indonesia, sambil menyelam minum air. Diputarnya kembali murottal dari laptopnya,
didengarnya melalui headset sambil menunggu email dari Wisnu, ketua PPI
Selandia Baru. Surat Ar Rahman dari
Syeikh Mishary Alafasi pun mengalun indah, membuka sebagian hafalan quran Rio
yang baru mencapai 5 Juz. Notifikasi
email Rio berbunyi, sesaat dibukanya dan dibaca perlahan email dari Wisnu
termasuk file attachment pamflet kegiatan akhir pekan ini.
Isinya pada dasarnya biasa saja, hanya menjelaskan tugas Rio yang
“ringan”, mengantar jemput pembicara sekaligus mendampingi mereka termasuk jika
mereka ingin melihat pemandangan dan suasana di kota Auckland. Tugas ini terkadang memang selalu dilimpahkan
kepada Rio, selain dia termasuk beberapa mahasiswa Indonesia yang bisa
mengendarai mobil, Rio juga dikenal sebagai mahasiswa yang hafal jalan-jalan di
Auckland, baik itu jalan besar maupun jalan-jalan kecil antar taman, karena
kebiasaannya naik sepeda atau sekedar jogging di minggu pagi.
Tapi yang membuat ia terkejut ialah ketika ia membaca file attachment,
dalam pamflet tersebut disebutkan bahwa pembicaranya didatangkan dari
Indonesia, seorang dokter ahli farmakologi, dr. Anindita Sp.FK. “Hahhh.... “
...
Maka sepertiga malamnya air mata Rio seperti tak pernah kering,
dibacanya lamat-lamat hafalan qurannya. Makin lama makin deras kucuran air
matanya, mengingat kejadian tadi pagi.
Padahal sudah hampir 1,5 tahun ini ia tidak pernah mendengar nama
itu. Nama itu sudah dikubur jauh-jauh
sejak ia melempar kado coklat untuk nama itu di sungai barito. Ia lebih memilih menyibukkan dirinya dengan
banyak menambah hafalan qurannya.
Nama itu memang dikenalnya sejak SMA, nama yang ia kenal yang selalu
lewat di depan kelasnya karena wanita tersebut menghabiskan waktu istirahatnya
di musholla sekolah, sholat dhuha. Nama
itu juga yang akhirnya menyadarkan Rio dari kesia-siaan masa muda. Nama yang
diharapkan menjadi takdir kebersamaan Rio, Anindita.
“Ya Allah.. kenapa ENGKAU takdirkan pertemuan kami kembali ?” tanya
Rio dalam jeda doanya. Sementara air matanya masih menetes, meleleh melalui
pipi tirusnya.
Aku tak mungkin menghindari
kejadian ini, pasti nanti mereka akan bertanya-tanya...
Apa yang harus kuucapkan ketika
bertemu nanti di depannya ?...
Seperti apakah anindita sekarang
?...
Apakah ia masih ingat padaku
?...
“Ya Allah.. berikanlah jalan keluar terbaikMU dari sisi takdirmu yang
paling indah untuk kami semua..aminnn” tutupnya.
...
“Assalamualaikum wr wb, akh Wisnu, insya allah saya siap membantu
panitia PPI nanti, tapi dengan satu syarat...” ketik Rio singkat dalam balasan
emailnya kepada Wisnu, setelah hatinya mantap beristikharah mencari jalan
keluar terbaik.
...
Anindita masih berdiri menunggu di bagasi yang mau keluar dari
tempatnya. “Yah, nanti kita dijemput
sama orang indonesia juga, namanya Yahya”
“Ya alhamdulillah atuh.. jadi nggak repot dan canggung” balas suaminya
Anindita, Baskoro.
“Termasuk mendampingi kita selama disini..” ucap Anindita melengkapi.
Suaminya hanya mengangguk pelan, agak cuek tapi mengerti.
Bagasi koper warna biru bergerak perlahan menyusuri roda berjalan,
dengan sigap Baskoro segera mengambilnya dan segera membawanya. Sementara tangan kanan Anin masih memegang
hasil print email dari Wisnu selaku ketua acara seminar mengenai detail acara
mereka selama di Auckland. Kepalanya
masih clingak-clinguk mencari sekelebat orang berperawakan Indonesia yang
seharusnya memegang kertas pengumuman berisikan nama Anindita dan
suaminya. Tak lama kemudian ia melihat
seperti orang yang sedang dicarinya sedang berjalan ke arah mereka.
“Ibu Anindita ya ?” ucap orang tersebut sambil menyodorkan tangannya
untuk bersalaman.
“Iya..” jawab Anin halus menolak salaman tersebut. “Oya ini suami
saya, Baskoro..” ucap Anin
“Yahya mas..” ucap orang tersebut yang bernama Yahya sambil bersalaman
erat dengan Baskoro. “Selamat datang di Auckland ya, semoga kerasan” ucap Yahya
tersenyum yang tertutup syal yang dikenakannya menutupi mulut hingga
lehernya.
Setelah perkenalan singkat tersebut dan basa-basi antar mereka,
kemudian segera Yahya mengantar mereka ke hotel yang sudah ditunjuk oleh PPI
sebagai tempat menginap Anindita dan suaminya selama berada di Auckland.
Tugas Yahya memang hanya mengantar dan mendampingi mereka, agar tak
terjadi apa-apa. Ringan memang, tapi dia
punya tugas yang lebih berat, bahkan sangat berat. Menutupi identitas aslinya, agar tak dikenali
Anin. Rio ingin selama di Auckland,
Anindita tak mengenalinya, karena tak mungkin Rio menolak tugas ini. Tugas yang seharusnya sangat ringan. Sejak malam istikharahnya itu, ia mendapat
ide menutupi identitasnya, dengan beralasan dingin ia akan selalu memakai syal
yang menutupi mulut dan lehernya, serta topi kupluk manis yang dipasang di
kepalanya.
Sejauh ini Anindita tidak mengenali Rio. Bahkan ketika mereka bertiga berjalan-jalan
mengelilingi kota Auckland dengan mobil KBRI, Rio masih sempat menjelaskan
sejarah kota Auckland yang awalnya didiami suku Maori pun dengan panjang lebar pun
tidak menarik perhatian Anin untuk mengenali Rio. Semua sudah berubah ternyata,
ujar Rio dalam hati bersyukur. Walau
terkadang sesekali Rio masih tidak dapat menahan untuk melihat wajah Anin lebih
lama, melihat guratan wajah manisnya, yang pernah hinggap di kepalanya selama
bertahun-tahun.
...
Acara seminar berlangsung sukses, bahkan pihak KBRI menyampaikan rasa
terima kasihnya kepada PPI yang sukses mengadakan seminar kedokteran farmasi
yang mengangkat tema posisi potensi Alam Tumbuhan Indonesia dalam Farmasi
Regional Asia Pasifik. Dokter Anindita telah berhasil mempresentasikan dan
menghipnotis audiens, mengenai alam flora Indonesia yang luar biasa. Bahkan pada akhir sesi, Walikota Auckland
berjanji akan mengunjungi Indonesia pada akhir tahun nanti. Luar biasa anin,
ucap Rio jauh di depan panggung, di belakang kursi peserta seminar. You are
still the best !
...
Sebenarnya rencana Rio hampir saja berhasil 100%, jika hari terakhir
itu Baskoro tidak mengajaknya ke pasar oleh-oleh khas Selandia Baru, selain
untuk membelikan oleh-oleh anak-anak mereka yang ditinggal di Indonesia dan
juga coklat khas Selandia Baru untuk anak bungsunya, sekaligus meninggalkan
Anindita di hotel yang masih sibuk berkemas untuk pulang ke Indonesia hari itu.
“Tunggu disini ya mas Yahya..”
Ucap Baskoro, “Sebentar aja koq..” tambahnya.
“Iya mas..” jawab Rio sambil memarkirkan mobilnya di seberang jalan
depan Victoria Market. Dan Rio pun menunggu di bawah pohon, di lapangan depan
pasar. Sementara Baskoro sudah tidak
terlihat dalam pandangan Rio, sudah tenggelam di dalam pasar untuk mencari
oleh-oleh yang akan dibawanya ke Indonesia nanti. Sambil mengisi waktu menunggu, Rio memutuskan
untuk berjalan memutar lapangan, menyusuri jogging track nya, sembari memasang
music player iphonenya, yang memutar murottal surat Al Kahfi, bahan murojaah
dalam pengajian pekanannya beberapa hari mendatang. Belum selesai satu putaran, Rio melihat dari
jauh, seorang pria yang dikeroyok tiga orang sekaligus, mengambil plastik
bawaannya, sekaligus merebut dompet orang tersebut.. Ya Allah.. ternyata...
Baskoro sedang mengerang kesakitan. Seketika itu juga Rio segera berlari
menghampiri.
Rio bukan anak rantau sembarangan,
selama kuliah di Bandung Rio selalu menghabiskan waktu malam minggunya dengan
berlatih beladiri, Thifan Po Khan aliran Tsufuk, beladiri muslim asal china,
penjelasan singkat Rio jika ada yang bertanya hal tersebut. Bahkan setelah tiba di Auckland pun Rio masih
berlatih rutin, tanpa sepengetahuan teman-temannya yang lain.
Rio masih berlari menghampiri. Ketiga bule tersebut kaget melihat ada
yang berani menghampiri mereka.. bahkan anak muda yang ukurannya secara fisik
lebih kecil dari mereka tersebut berlari sambil mengepalkan tangannya
erat-erat.
“What the hell” sumpah serapah seorang bule brewok yang berbaju
biru. Matanya melotot, menyadarkan kedua
temannya yang masih kaget dengan kehadiran Rio. Bule tersebut pun segera mengayunkan
tangan kanannya, posisi tinju jarak dekat. Rio sadar, ia segera mengambil jurus
tsenkay satu , sedikit mengelak di samping kirinya, sambil menangkis tinjuan
bule tersebut dengan tangan kirinya.
Posisi badannya kosong tepat di depan bule tersebut, tangan kanan Rio masih
mengepal erat, kosong, segera dihentakkan dengan persis ke titik lemah
lawannya, di wajah antara kedua mata, dengan sekuat tenaga, dengan pernafasan
kekuatan tangan, maka bule tersebut yang belum sempat kaget sudah tumbang
dengan rasa sakit yang luar biasa dan darah yang mengucur melalui hidungnya.
Tinggal dua ucap Rio dalam hati.
Bule yang berkaos hitam melihat temannya tumbang menjadi murka. Nampak wajahnya memerah karena geram dengan
Rio. Badannya jauh lebih besar dari temannya yang tumbang tadi, apalagi dari
Rio. Bule itu segera mengepalkan kedua
tangannya, tangan kirinya segera
mengambil ikat pinggang besi yang melilit celananya, diayunkan ke Rio. Whuzz... dengan sigap Rio mengambil rahapan
bawah, salah satu teknik menghindar dalam beladiri Thifan. Sekejap, “Rio ini bukan adegan film, penuh
salto dan lompat, kamu harus fokus dengan musuhmu”. Serasa ada yang menasehatinya. Hasil latihan
yang rutin dan konsisten membentuk kesadaran kedua, refleks. Dengan rahapan bawah ke arah sisi kanan
lawannya, Rio menganyunkan kepala tangannya ke ulu hati bule tersebut. Kemudian berdiri dalam posisi kuda-kuda
kembali di belakang musuhnya tadi. Bule
tersebut langsung balik badan, tanpa merasakan sakit akibat dari pukulan Rio
tadi. Wajahnya bertambah garang,
menyeringai kepada Rio, memperlihatkan gigi-giginya yang menguning akibat
terlalu banyak merokok dan minum alkohol, baunya sangat menyeruak. “Only that
.. huh ...” seru bule tersebut sambil tersenyum senang karena pukulan Rio ke
ulu hati tadi tidak terasa sakit. Oya
jurus tangan kipas, seru Rio dalam hati.
Sehingga ketika bule tersebut memulai kembali pertarungan dengan tangan
kanannya, Rio langsung melepaskan kepalan tangannya, mengganti dengan jurus
tangan kipas, dan mengambil pernafasan telapak tangan yang menguatkan sendi
tangan hingga mengeraskan telapak tangan bak pisau. Ditangkisnya dengan lembut gaya tai chi
tangan kiri, diputarnya badan Rio, dan langsung melecutkan tangan bentuk kipasnya
tadi dengan tangan kanan, kuat, kokoh, persis beberapa senti di bawah dagu,
jakun. Bule yang badannya besar tersebut
tidak berdaya, rasa sesak napas membuat dia hilang kesadaran sesaat dan
tumbang.
Sadar bahwa yang dia hadapi bukan orang asia sembarangan, bule ketiga
segera mengeluarkan pisaunya. Rio agak lengah, ayunan pisau tadi mengenai tipis
perut kanan, robek, dan mengeluarkan darah segar. Senang melihat musuhnya berdarah, dan tidak
menduga serangannya yang ia lakukan dari belakang, ia langsung mengayunkan
kembali kepalan tangannya. Rio sempat
mengelak tipis, namun tetap terkena wajah kirinya. Terasa panas. Ya Allah.. Rio sadar bahwa yang dihadapinya
penjahat betulan. Bukan teman tandingnya
dahulu ketika latihan di Masjid Salman ITB. Maka sambil ditahan rasa sakitnya
di perut dan di wajahnya, Rio mengambil inisiatif serangan, kali ini Rio tidak
main-main, energinya terbatas, diambilnya segera jurus mendayung hampa, mirip
kungfu delapan arah mata angin, diayunkan dengan gesit sikut tangan kanan dan
kirinya ke arah wajah bule terakhir tersebut, kemudian ditutup dengan posisi
setengah melompat, mengambil kepala bule tersebut dari arah belakang,
dililitkan tangannya ke belakang leher musuhnya, diayunkan ke depan... brakk..
persis mengenai lutut kakinya Rio yang mengayun keras ke arah wajah musuhnya. Bule ketiga tumbang.
Posisi berdiri Rio mulai goyah, ia melihat semua berputar.. dalam
putaran pandangan dunianya ia melihat Baskoro sudah bangun
menghampirinya..namun semua langsung menguning.. lalu gelap seketika. Rio pingsan.
***
Dalam ketidaksadaran Rio, Baskoro membawanya ke Southern Cross
Hospital, rumah sakit terdekat dari Victoria Market. Menggunakan mobil patroli polisi yang
menghampiri mereka sesaat setelah Rio pingsan.
Sesekali Rio tersadar kemudian gelap kembali. Sadarnya terakhir kali ia sempat melihat
ruangan bersih putih, dikelilingi perawat, di rumah sakit, gelap kembali.
***
Cukup lama Rio pingsan, hingga kemudian ia tersadar. Mendengar suara Baskoro yang sedang menelpon
istrinya, Anindita, menceritakan kejadian yang barusan mereka alami.. ah
Anindita pikir Rio sesaat.
“Yahya sudah menyelamatkan ayah bun” ucap Baskoro sayup-sayup
terdengar. Baskoro menceritakan detail
kejadian perampokan tadi. Dan segera
meminta istrinya untuk segera datang ke rumah sakit. Rencananya Anindita akan datang ke rumah
sakit dengan mobil taxi sewaan sebelum mereka menuju airport. Baskoro sudah mengabarkan pengurus PPI,
termasuk Wisnu, dan mereka semuanya sudah bergerak menuju rumah sakit.
Sementara Rio masih menahan sakit di sisi perut kanannya yang sudah
terbalut perban putih. Ia sudah sadar,
tapi masih lemah, matanya masih ditutupnya, tapi telinganya tajam
mendengar apa yang sedang terjadi di sekililingnya. Dalam dunia yang sedang
gelap saat ini, pikiran Rio mulai cemas, Anindita akan datang melihat ia
terbaring lemah dengan syal penutup yang sudah tidak dipakainya lagi. Rio tidak
yakin ia sanggup berhadapan dengan Anindita,
mengetahui bahwa ia sudah bersama sejak beberapa hari yang lalu. Maka
kemudian serpihan kenangan itu pun kembali muncul..
“Aku nggak mau kita
berkomunikasi lagi Rio” pinta Anin dalam beberapa BBM terakhir beberapa waktu
sebelum Rio berangkat ke Selandia Baru.
“Tapi anin..” Rio tak meneruskan
pesannya. Hanya diwakili hatinya yang
berdegup kencang.
“Aku akan tetap menjadi debu dan
duri……..jika aku meneruskan hubungan ini. Tapi aku debu dan duri yang ingin
mempunyai arti. Seperti debu yang dapat mensucikan dan duri yang dapat
melindungi keindahan mawar bagi si pemetik” pesan Anin terakhir membalas BBM
Rio.
Dan itu menjadi pesan terakhir Anin yang belum sempat dibalas
Rio. Rio hanya mendiamkan nasihat dari
Anin untuk dirinya, ditelannya bulat-bulat semua gundah gulana. Dan saat itu Rio sudah berjanji dalam hatinya
sendiri.. “Baik Anin.. kita berpisah”
...
“Ya Allah.. bunda lama banget sih” ucap Baskoro cemas, “Ayo kita ke
kamar Yahya”, tangan kanan Baskoro menggandeng Anindita tergesa-gesa menuju ruang
emergency. “Untung ada dia, kalau tidak
ada dia entah ayah sudah jadi seperti apa”.
“Kita harus sempat pamit ke mas Yahya...” Mereka berdua berjalan
tergesa-gesa ke kamar Rio. Sesampainya
disana, tiba-tiba...
“Lho, kemana ya ?” ucap Baskoro bingung. Melihat tempat tidur kosong, sedikit
acak-acakan, dan masih tersisa sedikit noda darah yang agak mengering. “Tadi
ada disini bun” ucap Baskoro yakin. Seketika
timbul sedikit kekacauan di ruang emergency tersebut. Baskoro bertanya ke beberapa perawat yang
sedang tugas jaga. Namun tidak ada
satupun yang tahu. Bahkan para perawat
itu pun terperanjat kaget, mengetahui luka yang seharusnya mendapat perawatan
intensif di rumah sakit. Rio menghilang. Untung Baskoro masih inget, ia menyimpan
nomor telepon Yahya. Segera dipencetnya
tombol-tombol nomor telepon dari telepon genggamnya. Di ujung sambungan, Rio melihat layar
iphonenya, “Mas Baskoro TAMU PPI”.. sambil menahan rasa sakit yang masih terasa
ia menekan tombol “silent” .. Tidak Baskoro, aku tidak akan datang.. jalannya
Rio masih agak terpincang karena luka yang belum sembuh.
Anin,
aku tak pernah sedih dan kecewa dengan takdir ini, bagiku ini takdir yang sudah
dituliskan. Dikenalkan aku dengan satu nama, Anindita. Bahkan dengan
"label" yang sudah terlanjur melekat dalam pribadi kita. Yang bahkan
aku pun tak tahu tulisanNya dalam kitab Lauh Mahfuzh tidak menyebut namamu lagi
dalam episode hidupku berikutnya atau tidak..
Kita
hanya aktor..seperti katamu... bahkan kesadaran ini pun ditakdirkanNya...
Anin, aku tidak tahu
apakah kamu masih mengingatku, tapi aku masih dan selalu mengingatmu. Bahkan ketika kamu tidak mengenaliku. Aku
sudah bukan Rio yang kamu kenal nin, aku sudah tidak mengharap cintamu. Aku
hanya ingin menjadi muslim kaffah, itu saja.
Baskoro bingung Rio tidak menjawab panggilan teleponnya. “Nggak
diangkat bun..” ujar Baskoro lemas, “kenapa ya dia menghindari kita..” Baskoro
makin bingung. Seketika giliran jantung
Anin berdegup kencang, ia mengingat tingkah laku Yahya yang sangat aneh. Seolah-olah menutupi sesuatu. Ia pun segera mengirim sms kepada Wisnu, “Mas
Wisnu, nama yang mendampingi kami kemarin siapa ya ?”
“Yahya itu panggilan kami bu, nama aslinya Rio Ibrahim, murabbi saya,
ada apa ? kami semua... ” ujung pesan Wisnu sudah tidak dibaca Anin.
“Rio...” Anin tertunduk lesu dan menangis..
Hujan kau ingatkan aku
Tentang satu rindu
Di masa yang lalu
Saat mimpi masih indah
bersamamu
-Opick-