Coklat Yang Tak Sampai (Bagian 2) -->

Coklat Yang Tak Sampai (Bagian 2)

Yusvi Adi Mustofa
Rabu, 02 Mei 2012

Rio Ibrahim secara tidak sengaja mendapat email pemberitahuan dari PP Selandia Baru, bahwa ada diskusi panel tentang Obat-obatan Internasional, yang menghadirkan beberapa pembicara, termasuk wanita yang penah dicintainya, Anindita.  Padahal ia tidak pernah memberitahu kepada wanita itu kepergian Rio ke Selandia Baru.  Ia hanya membalas sms singkat  di busway ketika itu “i am off for a while, thanks for everything”. Tidak pernah ia ceritakan bahwa ia akan pergi dari Indonesia untuk menuntut ilmu. Bagaimanakah kisahnya ?

***

Casio Edifice Rio sudah menunjukkan jam 2 pagi.  Tapi matanya masih belum mau istirahat juga. Badannya agak menggigil kedinginan, maklum kulit asianya tidak pernah akur dengan iklim Auckland yang sangat berbeda dengan kampung halamannya di Banjarmasin, kutukan sungai barito kata orang.  Entah sudah berapa kali ia keluar masuk kamar mandi, sekedar mengkalibrasi suhu tubuhnya dengan cairan di dalamnya, pikirnya.  Padahal besok pagi ia harus segera menemui professor pembimbingnya di kampus, melaporkan kemajuan thesis yang ia buat.
“Hhh...” Rio menghela napasnya sekaligus menggeser selimutnya.  Ia segera bergegas kembali ke kamar mandi, kali ini bukan untuk buang air kecil, melainkan mengambil air wudhu. Daripada diajak tidur nggak mau, mending diajak tahajud sekalian, pikir Rio menghibur. 
...
Rio duduk tepat di Albert Park, persis depan kampusnya yang hanya berjarak sekitar 50 meter.  Sinar matahari hari ini agak akrab dengan Rio ditambah rimbunnya hutan kota di Albert Park, menambah betah untuk menghabiskan hari ini bersantai di taman. Biasanya waktu senggang ini ia gunakan untuk mengerjakan tugas kuliah, atau sekedar membuat tulisan, atau hanya sekedar update status twitter, dan yang terakhir tadi yang lebih sering.  Dipandanginya kemacetan di jalan Wellesley depan kampusnya dan juga pohon whistling thorns atau duri yang bersiul, tapi orang kampungnya lebih suka menyebutnya dengan pohon Akasia.
“buzz..” tiba-tiba account skype Rio berbunyi.  “Assalamualaikum wr wb mas..” sapa Wisnu di menu message.
“Waalaikumsalam wr wb nu, ade ape nih ?” sahut Rio sok Betawi
“Maaf mengganggu mas.. hehe”
“Kagak apa-apa, lagi kosong koq, nyari inspirasi di albert park #halahh , kenapa nih ? ada yang bisa saya bantu ?”
“Nah itu yang kami tunggu mas :) .. kebetulan PPI kerjasama dengan KBRI mengadakan seminar farmasi kedokteran “
“Hmm terus... “
“Ya itu, rencananya kegiatannya akhir pekan ini .. “
“Koq mendadak ?”
“Sebenarnya nggak mendadak mas, udah beberapa minggu yang lalu direncanakan, Cuma memang mas Rio nggak dilibatin, takut nganggu tugas tesis nya hehe.. “
“Ah segitunya.. hehe”
“Nah kami di PPI sudah bagi2 tugas, tapi ada satu yang kurang sampe sekarang mas.. dan nggak dapet orangnya”
“Apa itu nu ?”
“Pendamping, sekaligus driver.. tahu khan maksudnya ? :)”
“Ooo... saya jadi pendamping sekaligus driver pembicaranya gitu maksudnya ?”
“seratus mas :) “
“#LemparBakiak :) .. boleh deh .. Cuma akhir pekan ini khan ?”
“Iya mas, acaranya hari sabtu, mereka datang hari jumat, dan hari ahad langsung balik ke Indonesia”
“Sipp.. nanti email aja detail nama pembicaranya jam kedatangan sama jadwal selama disini ya”
“Oke mas.. asyik... makasih ya mas”
“Sama-sama..”
“Syukron Jazakallah Khair..”
“Waiyakum akh..”
Memang biasanya PPI selalu mengadakan kegiatan rutin baik itu untuk mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Selandia Baru, namun juga lebih sering dibuka untuk umum.  Sekaligus sosialisasi pariwisata di Indonesia, sambil menyelam minum air.  Diputarnya kembali murottal dari laptopnya, didengarnya melalui headset sambil menunggu email dari Wisnu, ketua PPI Selandia Baru.  Surat Ar Rahman dari Syeikh Mishary Alafasi pun mengalun indah, membuka sebagian hafalan quran Rio yang baru mencapai 5 Juz.  Notifikasi email Rio berbunyi, sesaat dibukanya dan dibaca perlahan email dari Wisnu termasuk file attachment pamflet kegiatan akhir pekan ini.
Isinya pada dasarnya biasa saja, hanya menjelaskan tugas Rio yang “ringan”, mengantar jemput pembicara sekaligus mendampingi mereka termasuk jika mereka ingin melihat pemandangan dan suasana di kota Auckland.  Tugas ini terkadang memang selalu dilimpahkan kepada Rio, selain dia termasuk beberapa mahasiswa Indonesia yang bisa mengendarai mobil, Rio juga dikenal sebagai mahasiswa yang hafal jalan-jalan di Auckland, baik itu jalan besar maupun jalan-jalan kecil antar taman, karena kebiasaannya naik sepeda atau sekedar jogging di minggu pagi.
Tapi yang membuat ia terkejut ialah ketika ia membaca file attachment, dalam pamflet tersebut disebutkan bahwa pembicaranya didatangkan dari Indonesia, seorang dokter ahli farmakologi, dr. Anindita Sp.FK. “Hahhh.... “
...

Maka sepertiga malamnya air mata Rio seperti tak pernah kering, dibacanya lamat-lamat hafalan qurannya. Makin lama makin deras kucuran air matanya, mengingat kejadian tadi pagi.  Padahal sudah hampir 1,5 tahun ini ia tidak pernah mendengar nama itu.  Nama itu sudah dikubur jauh-jauh sejak ia melempar kado coklat untuk nama itu di sungai barito.  Ia lebih memilih menyibukkan dirinya dengan banyak menambah hafalan qurannya. 
Nama itu memang dikenalnya sejak SMA, nama yang ia kenal yang selalu lewat di depan kelasnya karena wanita tersebut menghabiskan waktu istirahatnya di musholla sekolah, sholat dhuha.  Nama itu juga yang akhirnya menyadarkan Rio dari kesia-siaan masa muda. Nama yang diharapkan menjadi takdir kebersamaan Rio, Anindita.
“Ya Allah.. kenapa ENGKAU takdirkan pertemuan kami kembali ?” tanya Rio dalam jeda doanya. Sementara air matanya masih menetes, meleleh melalui pipi tirusnya.


Aku tak mungkin menghindari kejadian ini, pasti nanti mereka akan bertanya-tanya...
Apa yang harus kuucapkan ketika bertemu nanti di depannya ?...
Seperti apakah anindita sekarang ?...
Apakah ia masih ingat padaku ?...

“Ya Allah.. berikanlah jalan keluar terbaikMU dari sisi takdirmu yang paling indah untuk kami semua..aminnn” tutupnya.
...

“Assalamualaikum wr wb, akh Wisnu, insya allah saya siap membantu panitia PPI nanti, tapi dengan satu syarat...” ketik Rio singkat dalam balasan emailnya kepada Wisnu, setelah hatinya mantap beristikharah mencari jalan keluar terbaik.

...

Anindita masih berdiri menunggu di bagasi yang mau keluar dari tempatnya.  “Yah, nanti kita dijemput sama orang indonesia juga, namanya Yahya”
“Ya alhamdulillah atuh.. jadi nggak repot dan canggung” balas suaminya Anindita, Baskoro. 
“Termasuk mendampingi kita selama disini..” ucap Anindita melengkapi. Suaminya hanya mengangguk pelan, agak cuek tapi mengerti.
Bagasi koper warna biru bergerak perlahan menyusuri roda berjalan, dengan sigap Baskoro segera mengambilnya dan segera membawanya.  Sementara tangan kanan Anin masih memegang hasil print email dari Wisnu selaku ketua acara seminar mengenai detail acara mereka selama di Auckland.  Kepalanya masih clingak-clinguk mencari sekelebat orang berperawakan Indonesia yang seharusnya memegang kertas pengumuman berisikan nama Anindita dan suaminya.  Tak lama kemudian ia melihat seperti orang yang sedang dicarinya sedang berjalan ke arah mereka.
“Ibu Anindita ya ?” ucap orang tersebut sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
“Iya..” jawab Anin halus menolak salaman tersebut. “Oya ini suami saya, Baskoro..” ucap Anin
“Yahya mas..” ucap orang tersebut yang bernama Yahya sambil bersalaman erat dengan Baskoro. “Selamat datang di Auckland ya, semoga kerasan” ucap Yahya tersenyum yang tertutup syal yang dikenakannya menutupi mulut hingga lehernya. 
Setelah perkenalan singkat tersebut dan basa-basi antar mereka, kemudian segera Yahya mengantar mereka ke hotel yang sudah ditunjuk oleh PPI sebagai tempat menginap Anindita dan suaminya selama berada di Auckland.
Tugas Yahya memang hanya mengantar dan mendampingi mereka, agar tak terjadi apa-apa.  Ringan memang, tapi dia punya tugas yang lebih berat, bahkan sangat berat.  Menutupi identitas aslinya, agar tak dikenali Anin.  Rio ingin selama di Auckland, Anindita tak mengenalinya, karena tak mungkin Rio menolak tugas ini.  Tugas yang seharusnya sangat ringan.  Sejak malam istikharahnya itu, ia mendapat ide menutupi identitasnya, dengan beralasan dingin ia akan selalu memakai syal yang menutupi mulut dan lehernya, serta topi kupluk manis yang dipasang di kepalanya. 
Sejauh ini Anindita tidak mengenali Rio.  Bahkan ketika mereka bertiga berjalan-jalan mengelilingi kota Auckland dengan mobil KBRI, Rio masih sempat menjelaskan sejarah kota Auckland yang awalnya didiami suku Maori pun dengan panjang lebar pun tidak menarik perhatian Anin untuk mengenali Rio. Semua sudah berubah ternyata, ujar Rio dalam hati bersyukur.  Walau terkadang sesekali Rio masih tidak dapat menahan untuk melihat wajah Anin lebih lama, melihat guratan wajah manisnya, yang pernah hinggap di kepalanya selama bertahun-tahun. 

...

Acara seminar berlangsung sukses, bahkan pihak KBRI menyampaikan rasa terima kasihnya kepada PPI yang sukses mengadakan seminar kedokteran farmasi yang mengangkat tema posisi potensi Alam Tumbuhan Indonesia dalam Farmasi Regional Asia Pasifik. Dokter Anindita telah berhasil mempresentasikan dan menghipnotis audiens, mengenai alam flora Indonesia yang luar biasa.  Bahkan pada akhir sesi, Walikota Auckland berjanji akan mengunjungi Indonesia pada akhir tahun nanti. Luar biasa anin, ucap Rio jauh di depan panggung, di belakang kursi peserta seminar. You are still the best !
...

Sebenarnya rencana Rio hampir saja berhasil 100%, jika hari terakhir itu Baskoro tidak mengajaknya ke pasar oleh-oleh khas Selandia Baru, selain untuk membelikan oleh-oleh anak-anak mereka yang ditinggal di Indonesia dan juga coklat khas Selandia Baru untuk anak bungsunya, sekaligus meninggalkan Anindita di hotel yang masih sibuk berkemas untuk pulang ke Indonesia hari itu.
 “Tunggu disini ya mas Yahya..” Ucap Baskoro, “Sebentar aja koq..” tambahnya.
“Iya mas..” jawab Rio sambil memarkirkan mobilnya di seberang jalan depan Victoria Market. Dan Rio pun menunggu di bawah pohon, di lapangan depan pasar.  Sementara Baskoro sudah tidak terlihat dalam pandangan Rio, sudah tenggelam di dalam pasar untuk mencari oleh-oleh yang akan dibawanya ke Indonesia nanti.  Sambil mengisi waktu menunggu, Rio memutuskan untuk berjalan memutar lapangan, menyusuri jogging track nya, sembari memasang music player iphonenya, yang memutar murottal surat Al Kahfi, bahan murojaah dalam pengajian pekanannya beberapa hari mendatang.  Belum selesai satu putaran, Rio melihat dari jauh, seorang pria yang dikeroyok tiga orang sekaligus, mengambil plastik bawaannya, sekaligus merebut dompet orang tersebut.. Ya Allah.. ternyata... Baskoro sedang mengerang kesakitan. Seketika itu juga Rio segera berlari menghampiri. 

Rio bukan anak rantau sembarangan, selama kuliah di Bandung Rio selalu menghabiskan waktu malam minggunya dengan berlatih beladiri, Thifan Po Khan aliran Tsufuk, beladiri muslim asal china, penjelasan singkat Rio jika ada yang bertanya hal tersebut.  Bahkan setelah tiba di Auckland pun Rio masih berlatih rutin, tanpa sepengetahuan teman-temannya yang lain. 

Rio masih berlari menghampiri. Ketiga bule tersebut kaget melihat ada yang berani menghampiri mereka.. bahkan anak muda yang ukurannya secara fisik lebih kecil dari mereka tersebut berlari sambil mengepalkan tangannya erat-erat.
“What the hell” sumpah serapah seorang bule brewok yang berbaju biru.  Matanya melotot, menyadarkan kedua temannya yang masih kaget dengan kehadiran Rio. Bule tersebut pun segera mengayunkan tangan kanannya, posisi tinju jarak dekat. Rio sadar, ia segera mengambil jurus tsenkay satu , sedikit mengelak di samping kirinya, sambil menangkis tinjuan bule tersebut dengan tangan kirinya.  Posisi badannya kosong tepat di depan bule tersebut, tangan kanan Rio masih mengepal erat, kosong, segera dihentakkan dengan persis ke titik lemah lawannya, di wajah antara kedua mata, dengan sekuat tenaga, dengan pernafasan kekuatan tangan, maka bule tersebut yang belum sempat kaget sudah tumbang dengan rasa sakit yang luar biasa dan darah yang mengucur melalui hidungnya. Tinggal dua ucap Rio dalam hati.
Bule yang berkaos hitam melihat temannya tumbang menjadi murka.  Nampak wajahnya memerah karena geram dengan Rio. Badannya jauh lebih besar dari temannya yang tumbang tadi, apalagi dari Rio.  Bule itu segera mengepalkan kedua tangannya,  tangan kirinya segera mengambil ikat pinggang besi yang melilit celananya, diayunkan ke Rio.  Whuzz... dengan sigap Rio mengambil rahapan bawah, salah satu teknik menghindar dalam beladiri Thifan.  Sekejap, “Rio ini bukan adegan film, penuh salto dan lompat, kamu harus fokus dengan musuhmu”.  Serasa ada yang menasehatinya. Hasil latihan yang rutin dan konsisten membentuk kesadaran kedua, refleks.  Dengan rahapan bawah ke arah sisi kanan lawannya, Rio menganyunkan kepala tangannya ke ulu hati bule tersebut.  Kemudian berdiri dalam posisi kuda-kuda kembali di belakang musuhnya tadi.  Bule tersebut langsung balik badan, tanpa merasakan sakit akibat dari pukulan Rio tadi.  Wajahnya bertambah garang, menyeringai kepada Rio, memperlihatkan gigi-giginya yang menguning akibat terlalu banyak merokok dan minum alkohol, baunya sangat menyeruak. “Only that .. huh ...” seru bule tersebut sambil tersenyum senang karena pukulan Rio ke ulu hati tadi tidak terasa sakit. Oya jurus tangan kipas, seru Rio dalam hati.  Sehingga ketika bule tersebut memulai kembali pertarungan dengan tangan kanannya, Rio langsung melepaskan kepalan tangannya, mengganti dengan jurus tangan kipas, dan mengambil pernafasan telapak tangan yang menguatkan sendi tangan hingga mengeraskan telapak tangan bak pisau.  Ditangkisnya dengan lembut gaya tai chi tangan kiri, diputarnya badan Rio, dan langsung melecutkan tangan bentuk kipasnya tadi dengan tangan kanan, kuat, kokoh, persis beberapa senti di bawah dagu, jakun.  Bule yang badannya besar tersebut tidak berdaya, rasa sesak napas membuat dia hilang kesadaran sesaat dan tumbang.
Sadar bahwa yang dia hadapi bukan orang asia sembarangan, bule ketiga segera mengeluarkan pisaunya. Rio agak lengah, ayunan pisau tadi mengenai tipis perut kanan, robek, dan mengeluarkan darah segar.  Senang melihat musuhnya berdarah, dan tidak menduga serangannya yang ia lakukan dari belakang, ia langsung mengayunkan kembali kepalan tangannya.  Rio sempat mengelak tipis, namun tetap terkena wajah kirinya. Terasa panas.  Ya Allah.. Rio sadar bahwa yang dihadapinya penjahat betulan.  Bukan teman tandingnya dahulu ketika latihan di Masjid Salman ITB. Maka sambil ditahan rasa sakitnya di perut dan di wajahnya, Rio mengambil inisiatif serangan, kali ini Rio tidak main-main, energinya terbatas, diambilnya segera jurus mendayung hampa, mirip kungfu delapan arah mata angin, diayunkan dengan gesit sikut tangan kanan dan kirinya ke arah wajah bule terakhir tersebut, kemudian ditutup dengan posisi setengah melompat, mengambil kepala bule tersebut dari arah belakang, dililitkan tangannya ke belakang leher musuhnya, diayunkan ke depan... brakk.. persis mengenai lutut kakinya Rio yang mengayun keras ke arah wajah musuhnya.  Bule ketiga tumbang.
Posisi berdiri Rio mulai goyah, ia melihat semua berputar.. dalam putaran pandangan dunianya ia melihat Baskoro sudah bangun menghampirinya..namun semua langsung menguning..  lalu gelap seketika. Rio pingsan.

***

Dalam ketidaksadaran Rio, Baskoro membawanya ke Southern Cross Hospital, rumah sakit terdekat dari Victoria Market.  Menggunakan mobil patroli polisi yang menghampiri mereka sesaat setelah Rio pingsan.  Sesekali Rio tersadar kemudian gelap kembali.  Sadarnya terakhir kali ia sempat melihat ruangan bersih putih, dikelilingi perawat, di rumah sakit, gelap kembali. 

***

Cukup lama Rio pingsan, hingga kemudian ia tersadar.  Mendengar suara Baskoro yang sedang menelpon istrinya, Anindita, menceritakan kejadian yang barusan mereka alami.. ah Anindita pikir Rio sesaat.
“Yahya sudah menyelamatkan ayah bun” ucap Baskoro sayup-sayup terdengar.  Baskoro menceritakan detail kejadian perampokan tadi.  Dan segera meminta istrinya untuk segera datang ke rumah sakit.  Rencananya Anindita akan datang ke rumah sakit dengan mobil taxi sewaan sebelum mereka menuju airport.  Baskoro sudah mengabarkan pengurus PPI, termasuk Wisnu, dan mereka semuanya sudah bergerak menuju rumah sakit.
Sementara Rio masih menahan sakit di sisi perut kanannya yang sudah terbalut perban putih.  Ia sudah sadar, tapi masih lemah, matanya masih ditutupnya, tapi telinganya tajam mendengar apa yang sedang terjadi di sekililingnya. Dalam dunia yang sedang gelap saat ini, pikiran Rio mulai cemas, Anindita akan datang melihat ia terbaring lemah dengan syal penutup yang sudah tidak dipakainya lagi. Rio tidak yakin ia sanggup berhadapan dengan Anindita,  mengetahui bahwa ia sudah bersama sejak beberapa hari yang lalu.    Maka kemudian serpihan kenangan itu pun kembali muncul..

“Aku nggak mau kita berkomunikasi lagi Rio” pinta Anin dalam beberapa BBM terakhir beberapa waktu sebelum Rio berangkat ke Selandia Baru.
“Tapi anin..” Rio tak meneruskan pesannya.  Hanya diwakili hatinya yang berdegup kencang.
“Aku akan tetap menjadi debu dan duri……..jika aku meneruskan hubungan ini. Tapi aku debu dan duri yang ingin mempunyai arti. Seperti debu yang dapat mensucikan dan duri yang dapat melindungi keindahan mawar bagi si pemetik” pesan Anin terakhir membalas BBM Rio.

Dan itu menjadi pesan terakhir Anin yang belum sempat dibalas Rio.  Rio hanya mendiamkan nasihat dari Anin untuk dirinya, ditelannya bulat-bulat semua gundah gulana.  Dan saat itu Rio sudah berjanji dalam hatinya sendiri.. “Baik Anin.. kita berpisah”

...

“Ya Allah.. bunda lama banget sih” ucap Baskoro cemas, “Ayo kita ke kamar Yahya”, tangan kanan Baskoro menggandeng Anindita tergesa-gesa menuju ruang emergency.  “Untung ada dia, kalau tidak ada dia entah ayah sudah jadi seperti apa”.  “Kita harus sempat pamit ke mas Yahya...” Mereka berdua berjalan tergesa-gesa ke kamar Rio.  Sesampainya disana, tiba-tiba...
“Lho, kemana ya ?” ucap Baskoro bingung.  Melihat tempat tidur kosong, sedikit acak-acakan, dan masih tersisa sedikit noda darah yang agak mengering. “Tadi ada disini bun” ucap Baskoro yakin.  Seketika timbul sedikit kekacauan di ruang emergency tersebut.  Baskoro bertanya ke beberapa perawat yang sedang tugas jaga.  Namun tidak ada satupun yang tahu.  Bahkan para perawat itu pun terperanjat kaget, mengetahui luka yang seharusnya mendapat perawatan intensif di rumah sakit.  Rio menghilang.  Untung Baskoro masih inget, ia menyimpan nomor telepon Yahya.  Segera dipencetnya tombol-tombol nomor telepon dari telepon genggamnya.  Di ujung sambungan, Rio melihat layar iphonenya, “Mas Baskoro TAMU PPI”.. sambil menahan rasa sakit yang masih terasa ia menekan tombol “silent” .. Tidak Baskoro, aku tidak akan datang.. jalannya Rio masih agak terpincang karena luka yang belum sembuh.

Anin, aku tak pernah sedih dan kecewa dengan takdir ini, bagiku ini takdir yang sudah dituliskan. Dikenalkan aku dengan satu nama, Anindita.  Bahkan dengan "label" yang sudah terlanjur melekat dalam pribadi kita. Yang bahkan aku pun tak tahu tulisanNya dalam kitab Lauh Mahfuzh tidak menyebut namamu lagi dalam episode hidupku berikutnya atau tidak..
Kita hanya aktor..seperti katamu... bahkan kesadaran ini pun ditakdirkanNya...

Anin, aku tidak tahu apakah kamu masih mengingatku, tapi aku masih dan selalu mengingatmu.  Bahkan ketika kamu tidak mengenaliku. Aku sudah bukan Rio yang kamu kenal nin, aku sudah tidak mengharap cintamu. Aku hanya ingin menjadi muslim kaffah, itu saja.

Baskoro bingung Rio tidak menjawab panggilan teleponnya. “Nggak diangkat bun..” ujar Baskoro lemas, “kenapa ya dia menghindari kita..” Baskoro makin bingung.  Seketika giliran jantung Anin berdegup kencang, ia mengingat tingkah laku Yahya yang sangat aneh.  Seolah-olah menutupi sesuatu.  Ia pun segera mengirim sms kepada Wisnu, “Mas Wisnu, nama yang mendampingi kami kemarin siapa ya ?”
“Yahya itu panggilan kami bu, nama aslinya Rio Ibrahim, murabbi saya, ada apa ? kami semua... ” ujung pesan Wisnu sudah tidak dibaca Anin.
“Rio...” Anin tertunduk lesu dan menangis..

Hujan kau ingatkan aku
Tentang satu rindu
Di masa yang lalu
Saat mimpi masih indah bersamamu
-Opick-