"Doktor mengatakan bahwa seruan kepada Negara Islam adalah seruan untuk mencontoh negara yang dikelola oleh sahabat Nabi. Tetapi
dalam kesempatan yang sama, doktor berulang kali menekankan perselisihan yang
terjadi di kalangan sahabat terkait kepemimpinan," saya melontarkan
pertanyaan.
Pemakalah seminar itu termenung mendengar pertanyaan yang saya ajukan.
"Jadi, bagaimanakah kita akan meyakinkan masyarakat, bahwa Negara Islam ini adalah sebuah agenda yang baik, jika seruannya adalah untuk mencontoh sekelompok manusia yang berkelahi segera setelah kewafatan pemimpinnya (Nabi Muhammad SAW)?" saya menyelesaikan pertanyaan.
Jantung saya berdebar-debar.
Saya tahu, banyak hadirin sedang memandang ke arah saya. Paling tidak, ada 1000 orang karena ruangan penuh sepenuh-penuhnya.
Saya menanyakan pertanyaan itu, karena saya menduga bahwa pemakalah seminar adalah seorang pro-Syiah dan memuja Khomeini. Dalam waktu yang sama, dia mengajak kepada Negara Islam. Negara yang penuh perselisihan, seperti yang beliau sendiri ceritakan. Maka saya bertanya, karena ingin melihat bagaimana ia memberikan reaksi, juga agar hadirin peka dengan konflik besar ini.
"Dalam hal perselisihan generasi Sahabat, kita tidak bisa sebut panjang-panjang. Semoga Allah mengampuni mereka! "Jawab pemakalah tersebut.
"Artinya para Sahabat memang berselisih seperti yang Dokter sebutkan tadilah ya?" saya bertanya meminta kepastian.
"Ya" jawab beliau. Tegas.
Meskipun saya tidak setuju dengan pendapat tokoh tanah air itu, tujuan saya bertanya bukan untuk mengubah pendapat beliau. Siapalah saya, seorang bocah tahun pertama di Universitas Mu'tah, Yordania. Sedang balik liburan dan hadir ke seminar itu karena ditugaskan untuk bertemu dengan seseorang. Tujuan saya bertanya, adalah untuk menampakkan warna Syiah pemakalah itu, dan terserah kepada hadirin untuk membuat penilaian.
Peristiwa pada tahun 1994 di Balai Islam Lundang, Kuala Lumpur itu masih segar dalam ingatan.Saya bukan mau bercerita tentang isu Syiah atau Negara Islam. Saya hanya mau berbagi kisah, bahwa 'dulu-dulu', saya dan teman-teman memang tidak pernah melepaskan kesempatan untuk bertanya. Baik itu dalam seminar, forum, ceramah, kajian, bahkan kuliah di universitas, BERTANYA selalu menjadi rukun wajib dalam proses belajar.
SEBAB BERTANYA
Kita ada banyak sebab untuk bertanya.
Kita bertanya karena kita tidak tahu.
Kita bertanya karena kita tahu, tetapi tidak jelas.
Kita bertanya karena kita tahu, tetapi kita mau orang lain tahu.
Kita bertanya supaya yang ditanya menyempurnakan penyampaiannya untuk manfaat semua.
Selalu ada alasan untuk bertanya.
Belakangan ini saya semakin lelah gara-gara susahnya mengorek pertanyaan dari peserta. Apakah dalam program umum, seminar dan forum, kursus motivasi, bengkel manajemen, maupun kajian, usrah dan kuliah, saya jarang-jarang sekali mendapat pertanyaan. Peserta senyum. Menengok kiri kanan. Tunduk. Sesekali datang pertanyaan 'Adabi Gaya Pos' melalui kertas yang dikirim ke moderator.
PERTANYAAN SETELAH TUTUP MAJLIS
Lebih membingungkan, ketika sesi tanya jawab berakhir tanpa pertanyaan, acara ditutup, dan kemudian peserta datang kepada saya menanyakan pertanyaan. Ada yang bersifat pribadi, tetapi banyak yang biasa-biasa saja. Kenapa tidak bertanya pada saat sesi tanya jawab? Apakah mereka paham apa yang disampaikan? Bukankah ada banyak konflik dalam presentasi kita yang seharusnya menggelisahkan mereka lalu mereka bangun bertanya?
Apakah mereka memproses apa yang disampaikan?Apakah mereka BERFIKIR?
PROSES BERFIKIR
Tony Robbins menekankan bahwa berpikir adalah proses bertanya dan menjawab pertanyaan. Sangat penting untuk kita ketahui bagaimana cara mengajukan pertanyaan yang benar, untuk mendapatkan jawaban yang benar, agar dengan itu kita mendapat hasil yang benar.Persoalan ini adalah inti Hadits Jibril 'alayhi al-Salaam ketika bertanya tentang Iman, Islam, Ihsan dan perihal Kiamat.
ثم قال لي يا عمر أتدري من السائل قلت الله ورسوله أعلم قال فإنه جبريل أتآكم يعلمكم دينكم "رواه مسلم"... Kemudian Rasulullah sallallaahu 'alayhi wa sallam bertanya: Wahai Umar, tahukah kamu siapa si penanya itu tadi? Aku (Umar) menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Lalu beliau berkata, "Inilah Jibril, dia datang mengajar kamu akan agama kamu" [Riwayat Muslim]
Jibril datang menanyakan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang agama. Pertanyaannya itu menjadikan hadits ini dikenal sebagai Umm al-Sunnah (Ibu Kepada Sunnah), karena pertanyaan-pertanyaan yang ditanya menyimpulkan keseluruhan isi Sunnah dan Islam itu sendiri. Cara Jibril bertanya itu, bukan semata-mata menunjuk pada jawaban, tetapi juga memperlihatkan signifikansi dan arti penting pertanyaan.
Bukan saja hadits ini. Bahkan mayoritas hadits tersampaikan dalam format tanya dan jawab.
Betapa besarnya Sunnah bertanya pertanyaan dalam proses pembelajaran.
ENAM PERINGKAT PEMBELAJARAN
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah rahimahullah menegaskan di dalam Miftaah Dar al-Sa'aadah, bahwa proses menuntut ilmu itu terdiri dari enam tingkat:
Bertanya pertanyaan dengan adab yang baik
Diam dan mendengarkan dengan penuh perhatian
Memahami ilmu yang diajarkan dengan baik
Mengingat apa yang diajarkan (menghafal)
Mengajar apa yang telah dipelajari
Mengamalkan apa yang telah dipelajari
Amat penting mentransfer ilmu kepada amal, dengan jembatan besar yang dimulai dengan SOAL JAWAB. Jika soal jawab ditinggalkan, ia meruntuhkan sebuah proses penting pada membuahkan amal hasil ilmu.
Biar pun saya tidak ada survei untuk membuktikannya, saya yakin jika kelompok peserta banyak mengajukan pertanyaan, maka kelompok itu berprospek untuk maju. Mereka memproses, menampakkan kesungguhan, menerima dan menolak. Mereka seakan tidak mengizinkan acara selesai sebelum mereka benar-benar menguasai apa yang disampaikan. Saya amat bersyukur jika diberikan peserta seperti ini. Ia bukan untuk saya, tetapi ia penting untuk diri mereka sendiri.
Jika peserta sepi dan mendiamkan saja, biar pun mereka memberikan penilaian yang tinggi dalam kuesioner evaluasi, saya sulit membayangkan bagaimana penyampaian tersebut bakal membantu mereka memperbaiki diri dan organisasi.
Sedangkan di tingkat individu, mereka yang sering mengambil kesempatan bertanya, dengan pertanyaan-pertanyaan yang bernas, Insya Allah 10 tahun mendatang, mereka akan menjadi somebody! Orang kita ini pandai, cerdik, cuma harus berani ke depan. Ke depan itu bukan berbekalkan kecerdikan, tetapi karakter yang kuat. Dan kelemahan karakter itulah yang paling mengkhawatirkan kita semua.
Hasrizal Abdul Jamil
Ustadz. Trainer. Penulis buku best-seller di Malaysia. Narablog SaifulIslam.com
Pemakalah seminar itu termenung mendengar pertanyaan yang saya ajukan.
"Jadi, bagaimanakah kita akan meyakinkan masyarakat, bahwa Negara Islam ini adalah sebuah agenda yang baik, jika seruannya adalah untuk mencontoh sekelompok manusia yang berkelahi segera setelah kewafatan pemimpinnya (Nabi Muhammad SAW)?" saya menyelesaikan pertanyaan.
Jantung saya berdebar-debar.
Saya tahu, banyak hadirin sedang memandang ke arah saya. Paling tidak, ada 1000 orang karena ruangan penuh sepenuh-penuhnya.
Saya menanyakan pertanyaan itu, karena saya menduga bahwa pemakalah seminar adalah seorang pro-Syiah dan memuja Khomeini. Dalam waktu yang sama, dia mengajak kepada Negara Islam. Negara yang penuh perselisihan, seperti yang beliau sendiri ceritakan. Maka saya bertanya, karena ingin melihat bagaimana ia memberikan reaksi, juga agar hadirin peka dengan konflik besar ini.
"Dalam hal perselisihan generasi Sahabat, kita tidak bisa sebut panjang-panjang. Semoga Allah mengampuni mereka! "Jawab pemakalah tersebut.
"Artinya para Sahabat memang berselisih seperti yang Dokter sebutkan tadilah ya?" saya bertanya meminta kepastian.
"Ya" jawab beliau. Tegas.
Meskipun saya tidak setuju dengan pendapat tokoh tanah air itu, tujuan saya bertanya bukan untuk mengubah pendapat beliau. Siapalah saya, seorang bocah tahun pertama di Universitas Mu'tah, Yordania. Sedang balik liburan dan hadir ke seminar itu karena ditugaskan untuk bertemu dengan seseorang. Tujuan saya bertanya, adalah untuk menampakkan warna Syiah pemakalah itu, dan terserah kepada hadirin untuk membuat penilaian.
Peristiwa pada tahun 1994 di Balai Islam Lundang, Kuala Lumpur itu masih segar dalam ingatan.Saya bukan mau bercerita tentang isu Syiah atau Negara Islam. Saya hanya mau berbagi kisah, bahwa 'dulu-dulu', saya dan teman-teman memang tidak pernah melepaskan kesempatan untuk bertanya. Baik itu dalam seminar, forum, ceramah, kajian, bahkan kuliah di universitas, BERTANYA selalu menjadi rukun wajib dalam proses belajar.
SEBAB BERTANYA
Kita ada banyak sebab untuk bertanya.
Kita bertanya karena kita tidak tahu.
Kita bertanya karena kita tahu, tetapi tidak jelas.
Kita bertanya karena kita tahu, tetapi kita mau orang lain tahu.
Kita bertanya supaya yang ditanya menyempurnakan penyampaiannya untuk manfaat semua.
Selalu ada alasan untuk bertanya.
Belakangan ini saya semakin lelah gara-gara susahnya mengorek pertanyaan dari peserta. Apakah dalam program umum, seminar dan forum, kursus motivasi, bengkel manajemen, maupun kajian, usrah dan kuliah, saya jarang-jarang sekali mendapat pertanyaan. Peserta senyum. Menengok kiri kanan. Tunduk. Sesekali datang pertanyaan 'Adabi Gaya Pos' melalui kertas yang dikirim ke moderator.
PERTANYAAN SETELAH TUTUP MAJLIS
Lebih membingungkan, ketika sesi tanya jawab berakhir tanpa pertanyaan, acara ditutup, dan kemudian peserta datang kepada saya menanyakan pertanyaan. Ada yang bersifat pribadi, tetapi banyak yang biasa-biasa saja. Kenapa tidak bertanya pada saat sesi tanya jawab? Apakah mereka paham apa yang disampaikan? Bukankah ada banyak konflik dalam presentasi kita yang seharusnya menggelisahkan mereka lalu mereka bangun bertanya?
Apakah mereka memproses apa yang disampaikan?Apakah mereka BERFIKIR?
PROSES BERFIKIR
Tony Robbins menekankan bahwa berpikir adalah proses bertanya dan menjawab pertanyaan. Sangat penting untuk kita ketahui bagaimana cara mengajukan pertanyaan yang benar, untuk mendapatkan jawaban yang benar, agar dengan itu kita mendapat hasil yang benar.Persoalan ini adalah inti Hadits Jibril 'alayhi al-Salaam ketika bertanya tentang Iman, Islam, Ihsan dan perihal Kiamat.
ثم قال لي يا عمر أتدري من السائل قلت الله ورسوله أعلم قال فإنه جبريل أتآكم يعلمكم دينكم "رواه مسلم"... Kemudian Rasulullah sallallaahu 'alayhi wa sallam bertanya: Wahai Umar, tahukah kamu siapa si penanya itu tadi? Aku (Umar) menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Lalu beliau berkata, "Inilah Jibril, dia datang mengajar kamu akan agama kamu" [Riwayat Muslim]
Jibril datang menanyakan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang agama. Pertanyaannya itu menjadikan hadits ini dikenal sebagai Umm al-Sunnah (Ibu Kepada Sunnah), karena pertanyaan-pertanyaan yang ditanya menyimpulkan keseluruhan isi Sunnah dan Islam itu sendiri. Cara Jibril bertanya itu, bukan semata-mata menunjuk pada jawaban, tetapi juga memperlihatkan signifikansi dan arti penting pertanyaan.
Bukan saja hadits ini. Bahkan mayoritas hadits tersampaikan dalam format tanya dan jawab.
Betapa besarnya Sunnah bertanya pertanyaan dalam proses pembelajaran.
ENAM PERINGKAT PEMBELAJARAN
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah rahimahullah menegaskan di dalam Miftaah Dar al-Sa'aadah, bahwa proses menuntut ilmu itu terdiri dari enam tingkat:
Bertanya pertanyaan dengan adab yang baik
Diam dan mendengarkan dengan penuh perhatian
Memahami ilmu yang diajarkan dengan baik
Mengingat apa yang diajarkan (menghafal)
Mengajar apa yang telah dipelajari
Mengamalkan apa yang telah dipelajari
Amat penting mentransfer ilmu kepada amal, dengan jembatan besar yang dimulai dengan SOAL JAWAB. Jika soal jawab ditinggalkan, ia meruntuhkan sebuah proses penting pada membuahkan amal hasil ilmu.
Biar pun saya tidak ada survei untuk membuktikannya, saya yakin jika kelompok peserta banyak mengajukan pertanyaan, maka kelompok itu berprospek untuk maju. Mereka memproses, menampakkan kesungguhan, menerima dan menolak. Mereka seakan tidak mengizinkan acara selesai sebelum mereka benar-benar menguasai apa yang disampaikan. Saya amat bersyukur jika diberikan peserta seperti ini. Ia bukan untuk saya, tetapi ia penting untuk diri mereka sendiri.
Jika peserta sepi dan mendiamkan saja, biar pun mereka memberikan penilaian yang tinggi dalam kuesioner evaluasi, saya sulit membayangkan bagaimana penyampaian tersebut bakal membantu mereka memperbaiki diri dan organisasi.
Sedangkan di tingkat individu, mereka yang sering mengambil kesempatan bertanya, dengan pertanyaan-pertanyaan yang bernas, Insya Allah 10 tahun mendatang, mereka akan menjadi somebody! Orang kita ini pandai, cerdik, cuma harus berani ke depan. Ke depan itu bukan berbekalkan kecerdikan, tetapi karakter yang kuat. Dan kelemahan karakter itulah yang paling mengkhawatirkan kita semua.
Hasrizal Abdul Jamil
Ustadz. Trainer. Penulis buku best-seller di Malaysia. Narablog SaifulIslam.com