Malam Tsabit -->

Malam Tsabit

Kamis, 12 April 2012
Islamedia - Angin lembut menafasi malam di Altinozu. Dinginnya sampai jua ke hamparan tanah lapang itu. Tutupan plastik pelapis kain putih itu, sesekali ikut bergelombang. Suaranya terdengar seperti sekelepak kibaran bendera. Tapi tiada bendera dari kelompok politik manapun di sana. Hanya samar terlihat al-Hilal al-Asmar tercetak di bagian atap kain itu. Tertulis juga TurkKizilayi dengan warna hitam dan merah menyala.

Bocah itu di sana sejak lama. Wajahnya tebal oleh pasir dan debu. Ia berdiri menunggui belasan, puluhan, ratusan, ribuan orang yang berjalan melewatinya. Ribuan wajah sudah ia amati. Tak seorang pun mirip dengan orang yang ia cari.

Tongkat ranting zaitun yang dibawanya hampir saja patah karena menahan beban tubuhnya. Matanya terus menyelidik jauh. Ia melihat seseorang.

Ranting itu ia tinggalkan. Berlarilah ia menuju orang itu, menembus barisan orang yang berjalan, seraya terpaksa mencium bau pakaian kumal, makanan basi, dan amis darah.

“Abi! Abi!” teriakannya nyaris ditelan suara derap langkah orang-orang. Yang ia panggil terus saja berjalan.

Ia tiba juga di depan orang tua itu. Orang yang ia yakin adalah ayahnya. Orang yang ia lihat terus saja berjalan, seraya mendorong ranjang rumah sakit. Ranjang yang besinya tampak hitam hangus. Di atasnya ada tumpukan tertutup kain bendera. Strip hijau, putih, dan hitam. Tiga bintang merah di bagian strip putihnya. Kain bendera yang juga kumal dan penuh bercak darah.

Bocah itu ikut berjalan bersama rombongan orang-orang. Ia mencoba membantu orang yang dipanggilnya Abi. Tapi gerak refleks membuatnya melepaskan tangan dari mendorong ranjang itu. Besi hangus itu terasa panas, teramat panas. Ia terheran mengapa Abi biasa saja mendorongnya.

Angin kencang seketika menerbangkan kain bendera. Kain itu tersingkap dan nyaris menjauh kalau tak tersangkut menutupi bocah itu.

Digulungnya bendera yang menyelimutinya. Ia melihat tiga badan berdesakan di atas ranjang, dengan wajah yang teramat dikenalnya. Ketika ia berteriak ketakutan, terdengarlah sebuah ledakan dari barisan depan.

Mimpi buruk itu baru saja menyerbu. Membuat bocah lelaki itu terbangun dalam tendanya. Dilihatnya ke sebelah samping, seorang perempuan yang tengah hamil besar, masih terlelap begitu teduh. Sebuah mushaf Al-Quran tertelungkup di haribaannya. Mushaf lusuh itu terpegang lemah, oleh tangannya yang tampak bertambah tua.

Seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya saat terbangun karena mimpi buruk, Tsabit lalu mengambil mushaf dari tangan ibunya itu. Tapi kali ini ia terlebih dulu membuka-buka mushaf itu, sambil duduk bersila.

Yang terbayang justru wajah Abu Omar, seakan muncul di halaman mushaf yang tak sempat ia perhatikan ayat dan surat apa. Terbayang lagi saat-saat ia diajari membaca Al-Qur'an oleh ayahnya itu. Terbariskan pula bermacam kenangan dalam benaknya. Dalam diam, ia menyadari kembali apa yang telah terjadi. Ia menyadari bahwa dirinya cuma anak kelas 6 yang hampir lulus dari Ta'lim Asasii Halaqatu Uulaa, sebelum bom menghancurkan sekolahnya, dan mengugurkan sebagian teman-temannya1. Ia terperangah ketakutan melihat wajah-wajah yang nyaris tak dikenalinya itu penuh darah. Ia melihat jasad teman-temannya terbujur kaku. Dideretkan bersama korban anak-anak lainnya.

Kakak pertamanya, Omar, yang membelikan mushaf itu sebagai hadiah milad untuknya, tak lagi memberi kabar sejak Free Syrian Army terlibat baku tembak dengan tentara rezim pemerintah. Kakak perempuannya, 'Aisyah, entah di mana. Surat terakhir yang Tsabit terima pada awal Muharram, menunjukkan bahwa kakaknya itu sudah pulang ke Idlib dari Damaskus, kota tempat kampusnya berada. Sedangkan Asma, adiknya, ah.

Tsabit menjulurkan tangan. Ia meletakan mushaf itu kembali ke tempatnya. Ke dalam tas besar di sisi dalam tenda. Tas yang menjadi terlalu kecil, ketika mereka gunakan untuk mengangkut barang ke pengungsian. Barang yang serba seadanya, karena dibawa serba tergesa pada Juni itu.

Juni itu, pada tahun lalu, ia bersama Ummi dan rombongan pengungsi, berjalan jauh di tengah teriknya musim panas. Menembus tiga puluh lima derajat celcius untuk perjalanan yang tak direncanakan, perjalanan penuh ketakutan.

Ia hanya berbekal pakaian tiga pasang saja. Jumlah yang masih lebih lumayan, dibanding kebanyakan bocah lainnya, yang cuma punya sepasang pakaian, itupun yang melekat di badan.

Tsabit lalu berdiri. Ia rapatkan lagi jaket merahnya. Dengan hati-hati ia melangkah keluar tenda.

Di bawah pohon zaitun, ia duduk bersandar. Langit hitam dan kerlip bintang tak terpantul di matanya. Ia pandangi jejeran tenda yang berdiri di sana, di sebuah bekas lahan pertanian yang disulap menjadi area perkemahan. Ia menyadari ada ribuan orang istirah di dalam tenda-tenda itu2. Jumlahnya terus bertambah dari waktu ke waktu.

Kegiatan seharian tadi cukup melelahkannya. Bulan Sabit Merah Turki yang mengelola tenda-tenda pengungsi, menyelenggarakan arena melukis anak-anak dan makan bersama dengan menu khusus. Padahal setiap hari mereka memang harus makan bersama. Mengantri dengan nampan kosong, menunggu diisi oleh petugas kamp.

Badan Warga Pengungsi pun mengadakan pertemuan. Orang-orang berkumpul di lapangan. Bergiliran. Membaca Al-Qur'an. Menyanyikan lagu-lagu revolusi dan kebebasan. Sebagian lagi membawa poster-poster perlawanan. Anak-anak kecil dipanggul ayah atau kakak lelakinya, wajah polos mereka berhias bendera perlawanan.

Tsabit maju membaca puisi. Suaranya mula-mula lembut lalu berapi-api. 

                i was born in syria
                where many prophets
                live and died
                where countless heroes
                fate with pride
                where mosques and churces
                stand side by side
                where a dictator lies
                like his dad once lied
                and all the nations
                watch and stand aside
                while he execute his daily genocide
                on this holy historic land
                
Lukisan Tsabit juga terpajang di galeri buatan.

Ummu Tsabit pasti jauh lebih kelelahan. Bersama ibu-ibu lainnya, ia tadi memasak shawurma begitu banyak. Burger atau kebab khas Syria itu favorit Tsabit sejak kecil. Tapi bagi Tsabit, yang terlezat tetaplah buatan Ummi.

Pada mulanya Tsabit tak suka puisi dan melukis. Baginya kegembiraan itu adalah bola dan bola. Setiap kali Kak Omar pulang dari barak tentara, mereka pasti asyik bermain bola, di gang-gang dekat rumah. Terkadang sampai sore sekali, dan baru selesai ketika mereka tahu ayahnya pulang bekerja dari rumah sakit. Mereka berlari terburu-buru ke dalam rumah, sambil tertawa-tawa. Tak jarang bola yang mereka tendang-tendang itu dibiarkan begitu saja. Kontan ayah mereka tahu ketika menemukan bola itu masih terpantul-pantul di samping rumah.

Sepertinya dulu hanya dengan Kak Omar saja ia merasa akrab. Tsabit suka mengagumi kakaknya yang tampak gagah mengenakan baju tentara. Ia juga ingin menyandang senjata. Tapi yang paling ia inginkan waktu itu ialah tas besar milik kakaknya. Ia membayangkan bisa membawa banyak bekal shawurma ke dalam tas besar itu. Juga tak lupa membawa bola sepak milik sendiri, agar leluasa bermain di sekolah.

Tapi kakaknya menolak ketika ia meminta tas itu ditinggal saja di rumah. "Milik negara," kata Kak Omar sambil membereskan barang-barangnya sebelum kembali ke barak.

Tsabit sedikit kecewa. Tapi ia mengerti bagaimana kakak laki-lakinya itu. Kalau ia ngotot, tentulah kak Omar lagi-lagi bakal menceritakan kisah dua Umar, bin Khatab dan bin Abdul Aziz. Dua sosok yang Tsabit tahu dikagumi betul oleh kakaknya itu. Dua sosok yang tak bosan diceritakan Kak Omar sebagai pemimpin yang adil dan amanah, pemimpin yang menjaga betul agar tak ada barang haram melekat di tubuhnya dan di tubuh keluarganya. Bagi Tsabit, kalau sedang kumat, Kak Omar bisa terasa membosankan juga seperti Kak 'Aisyah yang suka menceramahinya.

Biasanya Tsabit suka sengaja mengambil dan menyembunyikan buku kakaknya, biar Kak Omar lebih lama tinggal di rumah. Di dalam kamar, di belakang rumah, di kolong meja makan, bahkan di atas pohon, berganti-ganti tempat, ia melihat-lihat foto-foto dalam buku itu. Foto-foto berbagai jenis senjata dan alat kemiliteran yang luar biasa mengesankan baginya. Tapi entah mengapa, kakaknya itu selalu berhasil menemukan persembunyiannya.

"Kata itu senjata!" suatu ketika Kak 'Aisyah bilang.

"Suatu saat di negeri-negeri Islam akan terjadi revolusi. Mau Kakak ceritakan bagaimana dulu Imam Al-Ghazali merintis perjuangan kebangkitan dari masjid ini?" tutur Kak 'Aisyah sambil mengajak Tsabit menuju Menara Barat Masjid Umayyah Damaskus.

"Masjid ini lebih tua 10 tahun dibanding Masjid Umayyah di Aleppo. Dibangun seribu tiga ratus tahun yang lalu," tutur kakaknya ketika sebelumnya baru memasuki pintu masjid. Tsabit pernah ke Aleppo, sebelah timur laut dan ditempuh hanya empat puluh lima menit dari Idlib, tempat tinggalnya. Itu pun karena diajak oleh Kak 'Aisyah juga.

Tsabit mendengarnya sekilas saja. Biar cerewet, kata-kata kakaknya kalau didengarkan selalu berarti, meski banyak pula yang baginya sukar dipahami, dan jadinya membosankan

Padahal pada kesempatan itu, pada suatu pagi jauh-jauh hari sebelum terjadi huru-hara, ia hanya ingin menikmati pemandangan Masjid Umayyah, ketika mereka sekeluarga mengunjungi Kak Aisyah di Damaskus. Malah ia sebelumnya hampir-hampir menolak diajak keliling, kalau saja tak dijanjikan mencoba shawurma oleh kakaknya.

"Maaf Ummi, shawurma buatan Ummi tetap yang paling enak. Aku cuma ingin menyenangkan hati Kak 'Aisyah," begitu dalihnya kepada Ummu Tsabit, sebelum berangkat.

Tapi pesona masjid tua itu begitu megah dan indah. Membuatnya terkesima, dan ia ingin menikmati keterkesimaannya. Bentuk bangunannya teramat berwibawa. Tiang-tiang besar itu di mata Tsabit seperti pemain bola, berdiri berjajar menyanyikan senandung kebanggaan sebelum tendangan pertama dimulai. Warna dominan putih dan lainnya seperti campuran warna seragam tim yang berjaya, menampakkan diri penuh semangat, agung, dan bersiap menyongsong kemenangan.

Apalagi halaman masjid yang sangat luas. Dibentengi oleh bagian-bagian bangunannya. "Kalau saja aku membawa bola," begitu benaknya serasa dibisiki.

Kak 'Aisyah masih saja bersemangat menceritakan Suriah di masa lalu dan masa kini. Perihal bendera-bendera negara yang begitu banyak, berganti dari masa ke masa. Mulai sejak kepemimpinan Ottoman hingga zaman belakangan. Kak Aisyah memaparkan, warna bendera negara-negara Arab dan Afrika Utara masa kini dipengaruhi oleh gerakan pan-Arabisme. Warna-warna itu diambil dari warna bendera di speanjang kekuasaan Arab. Intinya terdapat empat warna: hitam, merah, hijau, dan putih.

Kalau itu Tsabit lekas mengingatnya pernah diajarkan di sekolah. Warna hitam melambangkan bendera Rasulullah dan khulafau rasyidin serta khilafah Abbasiyah, warna merah menyimbolkan kejayaan Magribhi kekhalifahan Andalus, warna hijau digunakan oleh khilafah Fathimiyah, dan warna putih dari khilafah Umayyah. Kak 'Aisyah cuma mengacak-acak rambut Tsabit sambil tersenyum kagum.

Perjalanan bersama kakaknya itu takkan terlupa. Selain mencoba shawurma Damaskus sebagaimana yang dijanjikan, ternyata Kak 'Aisyah membelikan Tasbit sebuah tas. Tas besar serupa punya Kak Omar. Tas besar yang kini ada di dalam tendanya di pengungsian, di Altinozu, provinsi Hatay, Turki bagian tenggara. Sekian kilometer jauhnya di sebelah barat laut Idlib, tempat kelahirannya.

Tsabit berhenti memainkan rumput jarang, yang ia cabuti sekenanya. Ia bangkit dari duduk. Lalu melangkahkan kaki di sela-sela tenda pengungsi. Ia berjalan menuju galeri buatan. Melewati area kecil taman bermain yang diisi jungkat-jungkit, perosotan, terowongan, dan ayunan. Melewati bagian belakang tenda pembagian makanan, tempat para pegawainya suka mengenakan rompi putih, dengan kepala dibungkus plastik, dan bersarung tangan, kostum yang hampir mirip seperti sering digunakan ayahnya ketika bertugas.

Galeri buatan itu cuma tenda biasa. Ukurannya saja yang lebih luas dan atapnya lebih tinggi. Disulap jadi tempat memajang lukisan-lukisan karya anak-anak pengungsi hasil dari perlombaan.

Dilihatnya lukisan-lukisan itu. Hitam, merah, hijau, putih. Lapangan, sekolah, masjid, taman bermain. Corat-coret yang tidak dimengertinya. Kaligrafi. Shawurma. Wajah perempuan menangis. Darah di wajah bocah. Rumah dengan pekarangan kecil. Rantai yang pecah. Pelangi. Banyak sekali. Konon esok hari lukisan-lukisan itu akan dibawa ke balai lelang, untuk penggalangan dana.

Dilihatnya lukisannya sendiri. Langit hitam penuh gemintang dan bulan sabit. Tiga bintang tampak besar sendiri dan berwarna merah. Sama merahnya dengan warna bulan sabitnya. Langit itu menyatu dengan hamparan bebukit berwarna hijau. Tampak tenda-tenda putih di salah satu bagian lembahnya.

Tapi semua gambaran tadi sebentar saja muncul dalam pandangannya. Sebab dalam lukisannya sendiri, ia seakan melihat wajah seorang bocah perempuan. Wajah yang ia kenal, wajah Asma, adiknya. Wajah lucu yang seringkali ia cubiti hidung dan pipinya. Yang sering ia sembunyikan kerudungnya, tapi juga sering ia sisirkan rambutnya dan ia kenakan kerudung kepadanya. Wajah lucu yang terakhir kali ia lihat sore itu.

"Ayo lekaslah!" kata Tsabit.
"Sedikit lagi, Kak!" jawab Asma sambil terus mencoret-coret pensil krayonnya.
"Aku mau mandi," kata Tsabit sambil terus bergaya. Ia berdiri tegap. Tangannya bersedekap. Bola sepak ia injak dengan kaki kanannya.
"Sebentar lagi Abi pulang!" ujar Tsabit tak sabar.
"Iya, Kak. Sebentar lagi," ujar Asma yang menggambar sambil duduk di teras rumah.

Dalam hati, Tsabit menahan senyum. Karena melihat adiknya itu coreng-moreng oleh krayon. Terpikir dalam benaknya untuk menggoda adiknya.

"Kak Tsabit, sedikit lagiiii," teriak Asma dari luar rumah. Tsabit berada di dalam, berpura-pura mencari bola yang sebenarnya menggelinding karena ditendangnya sendiri.

"Na'am, ini bolanya sudah kakak dapat," balas Tsabit hampir tergelak, sebelum sesaat kemudian dari luar terdengar ledakan memekakan telinga.

Di mata Tsabit, bayangan wajah di kanvas itu terus tersenyum dan bergaya centil khas anak kecil. Tapi tiba-tiba makin menjauh, samar dan akhirnya hilang. Belum sempat Tsabit mengajak bocah kecil itu agar bermain bersamanya di pengungsian. Belum sempat Tsabit memberitahukan bocah perempuan itu, bahwa ia akan menjaga begitu bocah perempuan itu menuruni perosotan, menaiki ayunan, menerobos mainan terowongan. Belum sempat ...

"Tsabit, Ummuka!" kata seorang lelaki yang tiba-tiba masuk ke dalam tenda galeri.

Itu Agabey Selcuk, petugas dari TurkKizilayi, Bulan Sabit Merah Turki. Agabey yang membuatnya tersenyum untuk pertama kali setelah sebulan berada di pengungsian. Kakak yang malam itu menceritakan kepadanya kisah-kisah Nashrudin Hoja dalam bahasa Arab. Selain tertawa dibuatnya, Tsabit waktu itu ia makin yakin bahwa kakak perempuannya memang terlalu serius. Bagaimana mungkin mahasiswi sastra itu tak menceritakan kepadanya kisah Nashrudin. Terbersit di benaknya untuk mempertemukan Agabey Selcuk dengan Kak 'Aisyah.

Tsabit tak sempat menyeka air matanya. Ia berjalan keluar dengan tergesa, berjalan di belakang Agabey Selcuk. Tsabit berjalan mengikuti irama lelaki muda itu. Orang yang memberikan jaket merah beremblem putih dengan bulan sabit merah kepadanya beberapa bulan lalu. Orang yang membuatnya bisa menerima cetakan surat-surat dari ayah dan juga puisi-puisi dari kakaknya, setelah dikirim melalui surat elektronik. Seorang Kakak yang sore tadi terkagum-kagum dengan lukisannya, sementara kebanyakan petugas lainnya geleng-geleng kepala keheranan.

Hiruk-pikuk terjadi di jalanan perkemahan. Sekelompok pengungsi baru saja datang. Sebagian barang yang mereka bawa tampak basah. Tsabit mendengar orang-orang menyebut, bahwa mereka menyebrangi Sungai Orontes. Ada pula yang dibawa tandu, sebab kakinya terlihat tidak utuh dan terbebat kain. Tsabit mendengar orang-orang berkata, bahwa orang itu terkena ranjau darat yang sudah dipasang pemerintah Suriah di perbatasan.

Agabey Selcuk tak berjalan menuju tenda Ibunya. Tsabit menjadi cemas, tapi juga berusaha meneguhkan hati.

Ummi? Ada apa Ummi? Mungkin besok Abi akan datang ke sini, Ummi. Mungkin besok Kak Omar akan membelikan mushaf baru, Ummi. Mungkin besok Kak 'Aisyah akan mengirimkan surat lagi, Ummi. Aku berjanji akan menjaga adikku, Ummi. Aku menyayangimu, Ummi.

Sembilan derajat celcius di Altinozu malam itu. Sejenak angin terasa berhenti. Sedangkan Tsabit terus melangkah. Jantungnya berdegup kian kencang, seirama dengan suara hati yang berdentang dengan sendirinya: Hurriyyah! Hurriyyah! Hurriyyah!3

Jakarta, 2012


Catatan:

1) Sejak mekarnya revolusi Suriah pada Maret 2011, sekurangnya 9.000 orang dilaporkan telah gugur dibantai rezim penguasa Suriah, Bashar Assad; karena menyuarakan kebebasan dari rezim tiran yang korup dan menyengsarakan rakyat.
2) Sekurangnya 17.000 warga Suriah kini dilaporkan mengungsi di Turki. Belum lagi mereka yang mengungsi ke Libanon dan Yordania. Laporan PBB pada pertengahan Maret malah menyebut sudah 230.000 warga Suriah mengungsi.
3) Kemerdekaan! Kebebasan!