Islamedia - Angin lembut menafasi malam di Altinozu. Dinginnya sampai jua ke
hamparan tanah lapang itu. Tutupan plastik pelapis kain putih itu, sesekali
ikut bergelombang. Suaranya terdengar seperti sekelepak kibaran bendera. Tapi
tiada bendera dari kelompok politik manapun di sana. Hanya samar terlihat al-Hilal
al-Asmar tercetak di bagian atap kain itu. Tertulis juga TurkKizilayi
dengan warna hitam dan merah menyala.
Bocah itu di sana sejak lama. Wajahnya tebal oleh pasir dan debu. Ia
berdiri menunggui belasan, puluhan, ratusan, ribuan orang yang berjalan
melewatinya. Ribuan wajah sudah ia amati. Tak seorang pun mirip dengan orang
yang ia cari.
Tongkat ranting zaitun yang dibawanya hampir saja patah karena menahan
beban tubuhnya. Matanya terus menyelidik jauh. Ia melihat seseorang.
Ranting itu ia tinggalkan. Berlarilah ia menuju orang itu, menembus
barisan orang yang berjalan, seraya terpaksa mencium bau pakaian kumal, makanan
basi, dan amis darah.
“Abi! Abi!” teriakannya nyaris ditelan suara derap langkah orang-orang.
Yang ia panggil terus saja berjalan.
Ia tiba juga di depan orang tua itu. Orang yang ia yakin adalah
ayahnya. Orang yang ia lihat terus saja berjalan, seraya mendorong ranjang
rumah sakit. Ranjang yang besinya tampak hitam hangus. Di atasnya ada tumpukan
tertutup kain bendera. Strip hijau, putih, dan hitam. Tiga bintang merah di
bagian strip putihnya. Kain bendera yang juga kumal dan penuh bercak darah.
Bocah itu ikut berjalan bersama rombongan orang-orang. Ia mencoba membantu
orang yang dipanggilnya Abi. Tapi gerak refleks membuatnya melepaskan tangan
dari mendorong ranjang itu. Besi hangus itu terasa panas, teramat panas. Ia
terheran mengapa Abi biasa saja mendorongnya.
Angin kencang seketika menerbangkan kain bendera. Kain itu tersingkap
dan nyaris menjauh kalau tak tersangkut menutupi bocah itu.
Digulungnya bendera yang menyelimutinya. Ia melihat tiga badan
berdesakan di atas ranjang, dengan wajah yang teramat dikenalnya. Ketika ia
berteriak ketakutan, terdengarlah sebuah ledakan dari barisan depan.
Mimpi buruk itu baru saja menyerbu. Membuat bocah lelaki itu terbangun
dalam tendanya. Dilihatnya ke sebelah samping, seorang perempuan yang tengah
hamil besar, masih terlelap begitu teduh. Sebuah mushaf Al-Quran tertelungkup
di haribaannya. Mushaf lusuh itu terpegang lemah, oleh tangannya yang tampak
bertambah tua.
Seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya saat terbangun karena
mimpi buruk, Tsabit lalu mengambil mushaf dari tangan ibunya itu. Tapi kali ini
ia terlebih dulu membuka-buka mushaf itu, sambil duduk bersila.
Yang terbayang justru wajah Abu Omar, seakan muncul di halaman mushaf
yang tak sempat ia perhatikan ayat dan surat apa. Terbayang lagi saat-saat ia
diajari membaca Al-Qur'an oleh ayahnya itu. Terbariskan pula bermacam kenangan
dalam benaknya. Dalam diam, ia menyadari kembali apa yang telah terjadi. Ia
menyadari bahwa dirinya cuma anak kelas 6 yang hampir lulus dari Ta'lim
Asasii Halaqatu Uulaa, sebelum bom menghancurkan sekolahnya, dan
mengugurkan sebagian teman-temannya1. Ia terperangah ketakutan
melihat wajah-wajah yang nyaris tak dikenalinya itu penuh darah. Ia melihat
jasad teman-temannya terbujur kaku. Dideretkan bersama korban anak-anak
lainnya.
Kakak pertamanya, Omar, yang membelikan mushaf itu sebagai hadiah milad
untuknya, tak lagi memberi kabar sejak Free Syrian Army terlibat baku
tembak dengan tentara rezim pemerintah. Kakak perempuannya, 'Aisyah, entah di
mana. Surat terakhir yang Tsabit terima pada awal Muharram, menunjukkan bahwa
kakaknya itu sudah pulang ke Idlib dari Damaskus, kota tempat kampusnya berada.
Sedangkan Asma, adiknya, ah.
Tsabit menjulurkan tangan. Ia meletakan mushaf itu kembali ke
tempatnya. Ke dalam tas besar di sisi dalam tenda. Tas yang menjadi terlalu
kecil, ketika mereka gunakan untuk mengangkut barang ke pengungsian. Barang
yang serba seadanya, karena dibawa serba tergesa pada Juni itu.
Juni itu, pada tahun lalu, ia bersama Ummi dan rombongan pengungsi,
berjalan jauh di tengah teriknya musim panas. Menembus tiga puluh lima derajat
celcius untuk perjalanan yang tak direncanakan, perjalanan penuh ketakutan.
Ia hanya berbekal pakaian tiga pasang saja. Jumlah yang masih lebih
lumayan, dibanding kebanyakan bocah lainnya, yang cuma punya sepasang pakaian,
itupun yang melekat di badan.
Tsabit lalu berdiri. Ia rapatkan lagi jaket merahnya. Dengan hati-hati
ia melangkah keluar tenda.
Di bawah pohon zaitun, ia duduk bersandar. Langit hitam dan kerlip
bintang tak terpantul di matanya. Ia pandangi jejeran tenda yang berdiri di
sana, di sebuah bekas lahan pertanian yang disulap menjadi area perkemahan. Ia
menyadari ada ribuan orang istirah di dalam tenda-tenda itu2. Jumlahnya
terus bertambah dari waktu ke waktu.
Kegiatan seharian tadi cukup melelahkannya. Bulan Sabit Merah Turki
yang mengelola tenda-tenda pengungsi, menyelenggarakan arena melukis anak-anak
dan makan bersama dengan menu khusus. Padahal setiap hari mereka memang harus
makan bersama. Mengantri dengan nampan kosong, menunggu diisi oleh petugas
kamp.
Badan Warga Pengungsi pun mengadakan pertemuan. Orang-orang berkumpul
di lapangan. Bergiliran. Membaca Al-Qur'an. Menyanyikan lagu-lagu revolusi dan
kebebasan. Sebagian lagi membawa poster-poster perlawanan. Anak-anak kecil
dipanggul ayah atau kakak lelakinya, wajah polos mereka berhias bendera
perlawanan.
Tsabit maju membaca puisi. Suaranya mula-mula lembut lalu berapi-api.
i was born in
syria
where
many prophets
live
and died
where
countless heroes
fate
with pride
where
mosques and churces
stand
side by side
where
a dictator lies
like
his dad once lied
and
all the nations
watch
and stand aside
while
he execute his daily genocide
on
this holy historic land
Lukisan Tsabit juga terpajang di galeri buatan.
Ummu Tsabit pasti jauh lebih kelelahan. Bersama ibu-ibu lainnya, ia
tadi memasak shawurma begitu banyak. Burger atau kebab khas Syria itu
favorit Tsabit sejak kecil. Tapi bagi Tsabit, yang terlezat tetaplah buatan Ummi.
Pada mulanya Tsabit tak suka puisi dan melukis. Baginya kegembiraan itu
adalah bola dan bola. Setiap kali Kak Omar pulang dari barak tentara, mereka
pasti asyik bermain bola, di gang-gang dekat rumah. Terkadang sampai sore
sekali, dan baru selesai ketika mereka tahu ayahnya pulang bekerja dari rumah
sakit. Mereka berlari terburu-buru ke dalam rumah, sambil tertawa-tawa. Tak
jarang bola yang mereka tendang-tendang itu dibiarkan begitu saja. Kontan ayah
mereka tahu ketika menemukan bola itu masih terpantul-pantul di samping rumah.
Sepertinya dulu hanya dengan Kak Omar saja ia merasa akrab. Tsabit suka
mengagumi kakaknya yang tampak gagah mengenakan baju tentara. Ia juga ingin
menyandang senjata. Tapi yang paling ia inginkan waktu itu ialah tas besar
milik kakaknya. Ia membayangkan bisa membawa banyak bekal shawurma ke
dalam tas besar itu. Juga tak lupa membawa bola sepak milik sendiri, agar
leluasa bermain di sekolah.
Tapi kakaknya menolak ketika ia meminta tas itu ditinggal saja di
rumah. "Milik negara," kata Kak Omar sambil membereskan
barang-barangnya sebelum kembali ke barak.
Tsabit sedikit kecewa. Tapi ia mengerti bagaimana kakak laki-lakinya
itu. Kalau ia ngotot, tentulah kak Omar lagi-lagi bakal menceritakan kisah dua
Umar, bin Khatab dan bin Abdul Aziz. Dua sosok yang Tsabit tahu dikagumi betul
oleh kakaknya itu. Dua sosok yang tak bosan diceritakan Kak Omar sebagai
pemimpin yang adil dan amanah, pemimpin yang menjaga betul agar tak ada barang
haram melekat di tubuhnya dan di tubuh keluarganya. Bagi Tsabit, kalau sedang
kumat, Kak Omar bisa terasa membosankan juga seperti Kak 'Aisyah yang suka
menceramahinya.
Biasanya Tsabit suka sengaja mengambil dan menyembunyikan buku
kakaknya, biar Kak Omar lebih lama tinggal di rumah. Di dalam kamar, di
belakang rumah, di kolong meja makan, bahkan di atas pohon, berganti-ganti
tempat, ia melihat-lihat foto-foto dalam buku itu. Foto-foto berbagai jenis
senjata dan alat kemiliteran yang luar biasa mengesankan baginya. Tapi entah
mengapa, kakaknya itu selalu berhasil menemukan persembunyiannya.
"Kata itu senjata!" suatu ketika Kak 'Aisyah bilang.
"Suatu saat di negeri-negeri Islam akan terjadi revolusi. Mau
Kakak ceritakan bagaimana dulu Imam Al-Ghazali merintis perjuangan kebangkitan
dari masjid ini?" tutur Kak 'Aisyah sambil mengajak Tsabit menuju Menara
Barat Masjid Umayyah Damaskus.
"Masjid ini lebih tua 10 tahun dibanding Masjid Umayyah di Aleppo.
Dibangun seribu tiga ratus tahun yang lalu," tutur kakaknya ketika
sebelumnya baru memasuki pintu masjid. Tsabit pernah ke Aleppo, sebelah timur
laut dan ditempuh hanya empat puluh lima menit dari Idlib, tempat tinggalnya.
Itu pun karena diajak oleh Kak 'Aisyah juga.
Tsabit mendengarnya sekilas saja. Biar cerewet, kata-kata kakaknya
kalau didengarkan selalu berarti, meski banyak pula yang baginya sukar
dipahami, dan jadinya membosankan
Padahal pada kesempatan itu, pada suatu pagi jauh-jauh hari sebelum
terjadi huru-hara, ia hanya ingin menikmati pemandangan Masjid Umayyah, ketika
mereka sekeluarga mengunjungi Kak Aisyah di Damaskus. Malah ia sebelumnya
hampir-hampir menolak diajak keliling, kalau saja tak dijanjikan mencoba shawurma
oleh kakaknya.
"Maaf Ummi, shawurma buatan Ummi tetap yang paling enak.
Aku cuma ingin menyenangkan hati Kak 'Aisyah," begitu dalihnya kepada Ummu
Tsabit, sebelum berangkat.
Tapi pesona masjid tua itu begitu megah dan indah. Membuatnya
terkesima, dan ia ingin menikmati keterkesimaannya. Bentuk bangunannya teramat
berwibawa. Tiang-tiang besar itu di mata Tsabit seperti pemain bola, berdiri
berjajar menyanyikan senandung kebanggaan sebelum tendangan pertama dimulai.
Warna dominan putih dan lainnya seperti campuran warna seragam tim yang
berjaya, menampakkan diri penuh semangat, agung, dan bersiap menyongsong
kemenangan.
Apalagi halaman masjid yang sangat luas. Dibentengi oleh bagian-bagian
bangunannya. "Kalau saja aku membawa bola," begitu benaknya serasa
dibisiki.
Kak 'Aisyah masih saja bersemangat menceritakan Suriah di masa lalu dan
masa kini. Perihal bendera-bendera negara yang begitu banyak, berganti dari
masa ke masa. Mulai sejak kepemimpinan Ottoman hingga zaman belakangan. Kak
Aisyah memaparkan, warna bendera negara-negara Arab dan Afrika Utara masa kini
dipengaruhi oleh gerakan pan-Arabisme. Warna-warna itu diambil dari warna
bendera di speanjang kekuasaan Arab. Intinya terdapat empat warna: hitam,
merah, hijau, dan putih.
Kalau itu Tsabit lekas mengingatnya pernah diajarkan di sekolah. Warna
hitam melambangkan bendera Rasulullah dan khulafau rasyidin serta khilafah
Abbasiyah, warna merah menyimbolkan kejayaan Magribhi kekhalifahan Andalus,
warna hijau digunakan oleh khilafah Fathimiyah, dan warna putih dari khilafah
Umayyah. Kak 'Aisyah cuma mengacak-acak rambut Tsabit sambil tersenyum kagum.
Perjalanan bersama kakaknya itu takkan terlupa. Selain mencoba shawurma
Damaskus sebagaimana yang dijanjikan, ternyata Kak 'Aisyah membelikan Tasbit
sebuah tas. Tas besar serupa punya Kak Omar. Tas besar yang kini ada di dalam
tendanya di pengungsian, di Altinozu, provinsi Hatay, Turki bagian tenggara.
Sekian kilometer jauhnya di sebelah barat laut Idlib, tempat kelahirannya.
Tsabit berhenti memainkan rumput jarang, yang ia cabuti sekenanya. Ia
bangkit dari duduk. Lalu melangkahkan kaki di sela-sela tenda pengungsi. Ia
berjalan menuju galeri buatan. Melewati area kecil taman bermain yang diisi
jungkat-jungkit, perosotan, terowongan, dan ayunan. Melewati bagian belakang
tenda pembagian makanan, tempat para pegawainya suka mengenakan rompi putih,
dengan kepala dibungkus plastik, dan bersarung tangan, kostum yang hampir mirip
seperti sering digunakan ayahnya ketika bertugas.
Galeri buatan itu cuma tenda biasa. Ukurannya saja yang lebih luas dan
atapnya lebih tinggi. Disulap jadi tempat memajang lukisan-lukisan karya
anak-anak pengungsi hasil dari perlombaan.
Dilihatnya lukisan-lukisan itu. Hitam, merah, hijau, putih. Lapangan,
sekolah, masjid, taman bermain. Corat-coret yang tidak dimengertinya.
Kaligrafi. Shawurma. Wajah perempuan menangis. Darah di wajah bocah. Rumah
dengan pekarangan kecil. Rantai yang pecah. Pelangi. Banyak sekali. Konon esok
hari lukisan-lukisan itu akan dibawa ke balai lelang, untuk penggalangan dana.
Dilihatnya lukisannya sendiri. Langit hitam penuh gemintang dan bulan
sabit. Tiga bintang tampak besar sendiri dan berwarna merah. Sama merahnya
dengan warna bulan sabitnya. Langit itu menyatu dengan hamparan bebukit
berwarna hijau. Tampak tenda-tenda putih di salah satu bagian lembahnya.
Tapi semua gambaran tadi sebentar saja muncul dalam pandangannya. Sebab
dalam lukisannya sendiri, ia seakan melihat wajah seorang bocah perempuan.
Wajah yang ia kenal, wajah Asma, adiknya. Wajah lucu yang seringkali ia cubiti
hidung dan pipinya. Yang sering ia sembunyikan kerudungnya, tapi juga sering ia
sisirkan rambutnya dan ia kenakan kerudung kepadanya. Wajah lucu yang terakhir
kali ia lihat sore itu.
"Ayo lekaslah!" kata Tsabit.
"Sedikit lagi, Kak!" jawab Asma sambil terus mencoret-coret
pensil krayonnya.
"Aku mau mandi," kata Tsabit sambil terus bergaya. Ia berdiri
tegap. Tangannya bersedekap. Bola sepak ia injak dengan kaki kanannya.
"Sebentar lagi Abi pulang!" ujar Tsabit tak sabar.
"Iya, Kak. Sebentar lagi," ujar Asma yang menggambar sambil
duduk di teras rumah.
Dalam hati, Tsabit menahan senyum. Karena melihat adiknya itu
coreng-moreng oleh krayon. Terpikir dalam benaknya untuk menggoda adiknya.
"Kak Tsabit, sedikit lagiiii," teriak Asma dari luar rumah.
Tsabit berada di dalam, berpura-pura mencari bola yang sebenarnya menggelinding
karena ditendangnya sendiri.
"Na'am, ini bolanya sudah kakak dapat," balas Tsabit
hampir tergelak, sebelum sesaat kemudian dari luar terdengar ledakan memekakan
telinga.
Di mata Tsabit, bayangan wajah di kanvas itu terus tersenyum dan
bergaya centil khas anak kecil. Tapi tiba-tiba makin menjauh, samar dan
akhirnya hilang. Belum sempat Tsabit mengajak bocah kecil itu agar bermain
bersamanya di pengungsian. Belum sempat Tsabit memberitahukan bocah perempuan
itu, bahwa ia akan menjaga begitu bocah perempuan itu menuruni perosotan,
menaiki ayunan, menerobos mainan terowongan. Belum sempat ...
"Tsabit, Ummuka!" kata seorang lelaki yang tiba-tiba
masuk ke dalam tenda galeri.
Itu Agabey Selcuk, petugas dari TurkKizilayi, Bulan Sabit Merah Turki.
Agabey yang membuatnya tersenyum untuk pertama kali setelah sebulan berada di
pengungsian. Kakak yang malam itu menceritakan kepadanya kisah-kisah Nashrudin
Hoja dalam bahasa Arab. Selain tertawa dibuatnya, Tsabit waktu itu ia makin
yakin bahwa kakak perempuannya memang terlalu serius. Bagaimana mungkin
mahasiswi sastra itu tak menceritakan kepadanya kisah Nashrudin. Terbersit di
benaknya untuk mempertemukan Agabey Selcuk dengan Kak 'Aisyah.
Tsabit tak sempat menyeka air matanya. Ia berjalan keluar dengan
tergesa, berjalan di belakang Agabey Selcuk. Tsabit berjalan mengikuti irama
lelaki muda itu. Orang yang memberikan jaket merah beremblem putih dengan bulan
sabit merah kepadanya beberapa bulan lalu. Orang yang membuatnya bisa menerima
cetakan surat-surat dari ayah dan juga puisi-puisi dari kakaknya, setelah
dikirim melalui surat elektronik. Seorang Kakak yang sore tadi terkagum-kagum
dengan lukisannya, sementara kebanyakan petugas lainnya geleng-geleng kepala
keheranan.
Hiruk-pikuk terjadi di jalanan perkemahan. Sekelompok pengungsi baru
saja datang. Sebagian barang yang mereka bawa tampak basah. Tsabit mendengar
orang-orang menyebut, bahwa mereka menyebrangi Sungai Orontes. Ada pula yang
dibawa tandu, sebab kakinya terlihat tidak utuh dan terbebat kain. Tsabit
mendengar orang-orang berkata, bahwa orang itu terkena ranjau darat yang sudah
dipasang pemerintah Suriah di perbatasan.
Agabey Selcuk tak berjalan menuju tenda Ibunya. Tsabit menjadi cemas,
tapi juga berusaha meneguhkan hati.
Ummi? Ada apa Ummi? Mungkin besok Abi akan datang ke
sini, Ummi. Mungkin besok Kak Omar akan membelikan mushaf baru, Ummi. Mungkin
besok Kak 'Aisyah akan mengirimkan surat lagi, Ummi. Aku berjanji akan menjaga
adikku, Ummi. Aku menyayangimu, Ummi.
Sembilan derajat celcius di Altinozu malam itu. Sejenak angin terasa
berhenti. Sedangkan Tsabit terus melangkah. Jantungnya berdegup kian kencang,
seirama dengan suara hati yang berdentang dengan sendirinya: Hurriyyah!
Hurriyyah! Hurriyyah!3
Jakarta, 2012
Catatan:
1) Sejak mekarnya revolusi Suriah pada Maret 2011, sekurangnya 9.000 orang dilaporkan telah gugur dibantai rezim penguasa Suriah, Bashar Assad; karena menyuarakan kebebasan dari rezim tiran yang korup dan menyengsarakan rakyat.
2) Sekurangnya 17.000 warga Suriah kini dilaporkan mengungsi di Turki. Belum lagi mereka yang mengungsi ke Libanon dan Yordania. Laporan PBB pada pertengahan Maret malah menyebut sudah 230.000 warga Suriah mengungsi.
3) Kemerdekaan! Kebebasan!