Islamedia - Jakarta punya bermacam-macam nama jalan. Yang terkenal tentu saja nama-nama pahlawan nasional. Tapi nama yang punya gaung luas dan paling lestari setiap hari agaknya cuma satu: macet! Jalan macet! Mungkin inilah contoh penerapan asas berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Orang bilang itu karena kendaraan perbadi. Laju pertumbuhannya cepat sekali. Jauh lebih cepat melampaui laju pertumbuhan jalan. Ini pun masih bukan penyebab utama. Penyebabnya karena tidak tersedianya sarana transportasi massal yang memadai.
Tapi ada juga yang bilang, itu karena perilaku pengendara sendiri. Egois dan tak patuh rambu-rambu. Padahal peraturan lalu lintas, ada juga mengatur bagaimana seharusnya berperilaku di jalanan.
Saya kira bukan ide baik untuk mempertentangkan kedua penyebab itu. Laju tumbuh jumlah kendaraan memang hitung-hitungannya jelas. Orang bilang urusannya bisa merembet ke masalah politik dan bisnis. Sedangkan penyebab kedua sama nyatanya. Barangkali anda sendiri yang pernah menjadi saksi matanya.
Seperti saya pada suatu malam. Ketika berjalan pulang kerja, menjadi pedestrian di atas trotoar sempit, penuh lubang dan bergelombang.
Dari arah berlawanan, saya dengar suara klakson bersahutan. Setelah cukup dekat, saya lihat sebuah sedan hitam dengan nomor polisi (menurut etika, katanya tak perlu disebutkan) diparkir di lajur kiri jalan. Saya lihat bangku supir kosong. Tapi samar-samar terlihat bayangan orang di bangku belakang.
Tak jauh dari sana, saya berhenti di gerobak penjual martabak. Memesan satu martabak telor. Penjual itu sedang membalik segepok martabak telor untuk terakhir kalinya. Kemudian memindahkannya dari kuali ke atas nampan di gerobaknya. Memotong-motongnya. Memasukannya ke dalam kotak yang sudah dibuka sebelumnya. Menutup kotak itu. Memasukannya ke dalam kantong kresek. Lalu berkata,
“Sebentar Mas, saya antarkan pesanan ini dulu,” ujar Pak Penjual itu.
Selama itu saya melihat seporsi martabak telor dikemas, selama itu pula itu mobil sedan tadi bergeming diam di jalanan yang padat. Orang-orang di sana sudah berkomentar macam-macam. Ke mana itu perginya si supir. Entahlah bagaimana pula rutukan orang-orang yang memencet klakson berulang-ulang.
Ketika kemacetan itu kian memanjang, tampak seseorang berjalan agak tergesa. Ia keluar dari minimarket menuju ke... mobil itu. Jarak dari minimarket ke mobil kutaksir sekitar panjang lapangan bulu tangkis.
Sedan hitam melaju. Antrian pun mencair, pelan-pelan.
Tapi apakah cuma mobil mewah saja penyebab kemacetan. Ternyata tidak. Pada lain waktu, penyebabnya ternyata bajaj. Kejadiannya sama, pada malam selepas Isya. Bajaj itu berhenti tanpa rasa bersalah. Ternyata si bajaj mengangkut sejumlah karung yang sedang dimasukkan ke dalam rumah di pinggir jalan itu.
Waktu henti kendaraan selama beberapa menit saja ternyata bisa sangat berpengaruh.
Tapi apakah cuma kendaraan saja penyebab kemacetan? Ternyata tidak.
Penyeberang jalan pun punya kesempatan sama untuk jadi biang kerok kemacetan. Seperti saban pagi saat sejumlah pejalan kaki nekad menyeberang di zebra cross, menerobos lampu hijau yang sebenarnya diperuntukkan bagi kendaraan.
Kecuali saban hari itu, ketika lampu lalu-lintas di zebra cross mati tak bisa digunakan. Kami sebagai penyeberang jalan, tak mungkin bisa bersabar terus-terusan memberi kesempatan kepada lalu-lalang kendaraan. Terpaksa kami harus mengambil inisiatif, walaupun harus tampak seperti orang yang hendak menabrakkan diri. Intinya kami patuh pada pepatah: di mana ada kemauan, di situ ada jalan.
Jakarta butuh perubahan!
Orang bilang itu karena kendaraan perbadi. Laju pertumbuhannya cepat sekali. Jauh lebih cepat melampaui laju pertumbuhan jalan. Ini pun masih bukan penyebab utama. Penyebabnya karena tidak tersedianya sarana transportasi massal yang memadai.
Tapi ada juga yang bilang, itu karena perilaku pengendara sendiri. Egois dan tak patuh rambu-rambu. Padahal peraturan lalu lintas, ada juga mengatur bagaimana seharusnya berperilaku di jalanan.
Saya kira bukan ide baik untuk mempertentangkan kedua penyebab itu. Laju tumbuh jumlah kendaraan memang hitung-hitungannya jelas. Orang bilang urusannya bisa merembet ke masalah politik dan bisnis. Sedangkan penyebab kedua sama nyatanya. Barangkali anda sendiri yang pernah menjadi saksi matanya.
Seperti saya pada suatu malam. Ketika berjalan pulang kerja, menjadi pedestrian di atas trotoar sempit, penuh lubang dan bergelombang.
Dari arah berlawanan, saya dengar suara klakson bersahutan. Setelah cukup dekat, saya lihat sebuah sedan hitam dengan nomor polisi (menurut etika, katanya tak perlu disebutkan) diparkir di lajur kiri jalan. Saya lihat bangku supir kosong. Tapi samar-samar terlihat bayangan orang di bangku belakang.
Tak jauh dari sana, saya berhenti di gerobak penjual martabak. Memesan satu martabak telor. Penjual itu sedang membalik segepok martabak telor untuk terakhir kalinya. Kemudian memindahkannya dari kuali ke atas nampan di gerobaknya. Memotong-motongnya. Memasukannya ke dalam kotak yang sudah dibuka sebelumnya. Menutup kotak itu. Memasukannya ke dalam kantong kresek. Lalu berkata,
“Sebentar Mas, saya antarkan pesanan ini dulu,” ujar Pak Penjual itu.
Selama itu saya melihat seporsi martabak telor dikemas, selama itu pula itu mobil sedan tadi bergeming diam di jalanan yang padat. Orang-orang di sana sudah berkomentar macam-macam. Ke mana itu perginya si supir. Entahlah bagaimana pula rutukan orang-orang yang memencet klakson berulang-ulang.
Ketika kemacetan itu kian memanjang, tampak seseorang berjalan agak tergesa. Ia keluar dari minimarket menuju ke... mobil itu. Jarak dari minimarket ke mobil kutaksir sekitar panjang lapangan bulu tangkis.
Sedan hitam melaju. Antrian pun mencair, pelan-pelan.
Tapi apakah cuma mobil mewah saja penyebab kemacetan. Ternyata tidak. Pada lain waktu, penyebabnya ternyata bajaj. Kejadiannya sama, pada malam selepas Isya. Bajaj itu berhenti tanpa rasa bersalah. Ternyata si bajaj mengangkut sejumlah karung yang sedang dimasukkan ke dalam rumah di pinggir jalan itu.
Waktu henti kendaraan selama beberapa menit saja ternyata bisa sangat berpengaruh.
Tapi apakah cuma kendaraan saja penyebab kemacetan? Ternyata tidak.
Penyeberang jalan pun punya kesempatan sama untuk jadi biang kerok kemacetan. Seperti saban pagi saat sejumlah pejalan kaki nekad menyeberang di zebra cross, menerobos lampu hijau yang sebenarnya diperuntukkan bagi kendaraan.
Kecuali saban hari itu, ketika lampu lalu-lintas di zebra cross mati tak bisa digunakan. Kami sebagai penyeberang jalan, tak mungkin bisa bersabar terus-terusan memberi kesempatan kepada lalu-lalang kendaraan. Terpaksa kami harus mengambil inisiatif, walaupun harus tampak seperti orang yang hendak menabrakkan diri. Intinya kami patuh pada pepatah: di mana ada kemauan, di situ ada jalan.
Jakarta butuh perubahan!
Jack Arta