Pertanyaan: Assalamu'alaykum wr wb Redaksi, saya ingin bertanya kepada ustadz Farid Nu'man Mohon dijawab pertanyaan ...

Pertanyaan:
Assalamu'alaykum wr wb
Redaksi, saya ingin bertanya kepada ustadz Farid Nu'man
Mohon dijawab pertanyaan saya berikut ini, sebelum dan sesudahnya jazakumullah
khoiran katsiron
Ustadz, bagaimana hukum memakai baju muslimah berupa atasan (semisal kemeja, blus, kaos, dsb) dan bawahan (rok)? Bagaimana dengan yang dimaksud dalam QS Al Ahzab ayat 59 yang berbunyi:
Ustadz, bagaimana hukum memakai baju muslimah berupa atasan (semisal kemeja, blus, kaos, dsb) dan bawahan (rok)? Bagaimana dengan yang dimaksud dalam QS Al Ahzab ayat 59 yang berbunyi:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan ALLOH
SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab: 59).
Dalam ayat di atas disebutkan
jilbab yang dalam bahasa arab berarti baju kurung/ gamis/abaya. Apakah tafsir
dari ayat di atas kita wajib menggunakan gamis/baju kurung/abaya? Apakah tidak
boleh menggunakan baju atasan dan bawahan?(p
[Rosita - Pembaca Islamedia]
Jawaban:
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu
‘ala Rasulillah wa ‘al Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:
Saudari Rosita yang dirahmati Allah .........
Pada prinsipnya pakaian syar’i bagi muslimah itu mesti memenuhi beberapa
kriteria sebagai berikut:
1.
1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan Ini adalah pendapat jumhur ulama, tentunya kita tetap menghargai para ulama
yang memasukkan wajah dan telapak tangan wanita juga termasuk aurat yang wajib
ditutup.
Berikut ini nash-nash
yang mendasari kriteria ini:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya. (QS. An Nuur (24): 31)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang surat An Nuur ayat 31 di atas:
بدن المرأة كله عورة يجب عليها ستره، ما عدا الوجه والكفين قال الله
تعالى (ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها)، أي ولا يظهرن مواضع الزينة، إلا الوجه
والكفين، كما جاء ذلك صحيحا عن ابن عباس وابن عمر وعائشة
“Seluruh tubuh wanita adalah
aurat, wajib atasnya untuk menutupnya kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya, Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah para wanita menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak
darinya.”, yaitu jangan menampakkan tempat-tempat perhiasannya kecuali wajah
dan kedua telapak tangan, sebagaimana yang diriwayatkan hal itu secara
shahih dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah.” [1]
Mayoritas para ulama mengatakan
wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat. Sebagaimana tertera dalam tafsir Imam Ibnu katsir berikut, ketika menafsirkan makna “Kecuali
yang biasa nampak darinya”:
ويحتمل أن ابن عباس ومن تابعه
أرادوا تفسير ما ظهر منها بالوجه والكفين، وهذا هو المشهور عند الجمهور
“Ibnu
Abbas dan orang-orang yang mengikutinya memaknai maksud “Maa zhahara minha
(apa-apa yang biasa nampak darinya)” adalah wajah dan kedua telapak tangan,
inilah yang masyhur menurut mayoritas ulama. “ [2]
Ini juga pendapat Ibnu Umar, Atha’, Ikrimah, Adh Dhahak, Abu Sya’tsa’, Said bin
Jubeir, dan lain-lain. Sementara Az Zuhri mengatakan: cincin dan gelang kaki.[3]
Sementara
Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An Nakha’i, Hasan Al Bashri, Ibnu Sirrin, Abu
Al Jauzaa, dan lain-lain, mereka menafsirkan makna “Kecuali yang biasa
nampak darinya” adalah pakaian dan selendang.[4]
Dengan kata lain menurut mereka, wajah wanita adalah aurat. Namun, dalam
riwayat lain dari Hasan Al Bashri,
beliau menafsirkan: wajah dan pakaian.
Abdullah
bin Abbas mengatakan maksud kalimat itu
adalah celak, pewarna tangan, dan cincin. Sementara Said bin Jubeir dan
Atha’ mengatakan: wajah dan kedua telapak tangan. Qatadah
mengatakan: celak, gelang, dan cincin. Al Miswar bin Mukhramah mengatakan:
cincin, celak, dan gelang. Mujahid berkata: cincin, pewarna tangan, dan
celak mata. Ibnu Zaid mengatakan: celak mata, pewarna tangan, dan
cincin, mereka mengatakan demikianlah yang dilihat oleh manusia. Al Auza’i
mengatakan: wajah dan dua telapak tangan. Adh Dhahak berkata: wajah dan
dua telapak tangan. Sementara Hasan
Al Bashri mengatakan: wajah dan pakaian.
Sedangkan
Imam Ibnu Jarir, setelah dia memaparkan berbagai tafsir ini, beliau
mengatakan:
وأولى الأقوال في ذلك بالصواب: قول
من قال: عنى بذلك: الوجه والكفان، يدخل في ذلك إذا كان كذلك: الكحل، والخاتم، والسوار،
والخضاب.
“Pendapat
yang paling unggul dan benar adalah pendapat yang mengartikannya dengan wajah
dan dua telapak tangan, dan jika demikian maka celak, cincin, gelang, dan
pewarna tangan termasuk di dalamnya.”[5]
Imam Al
Muzani Rahimahullah juga mengatakan makna “Kecuali yang biasa nampak
darinya” adalah wajah dan dua telapak tangan.[6]
Demikianlah
pendapat pilihan mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan).
2. Tidak sempit dan transparan
Hendaknya pakaian wanita itu longgar secara keseluruhannya, agar tidak
nampak lekukan tubuhnya. Begitu pula hendaknya tebal dan berlapis agar tidak
tembus pandangan.
Kriteria ini bisa dilakukan dengan jenis pakaian gamis atau atasan –
bawahan, selama memang longgar. Memakai gamis memang lebih utama, tetapi jika
ada muslimah memakai gamis yang
sempit sehingga kriteria ini tidak terpenuhi, maka
memakai blus dan rok yang jauh lebih longgar dan tebal
tentu lebih utama dan sesuai dengan maqashid (tujuan) dan ruh
syariat dibanding gamis yang seperti
itu. Apalagi jika blus dan rok tersebut dilapisi lagi oleh jubah
yang panjang, sehingga semakin jauh dari penampakan lekukan tubuh dan
transparan. Hendaknya hal ini diperhatikan benar, bahwa yang menjadi prinsip
adalah pakaian tersebut mampu menjauhkan seorang wanita dari nampaknya lekukan
tubuh dan tembus pandang. Hal ini bisa dicapai baik dengan gamis atau selain
gamis.
Kriteria ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ
يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ
رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا
يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua kelompok
penghuni neraka yang belum saya lihat sekarang, yaitu kaum yang membawa cemeti
(cambuk) seperti ekor sapi yang digunakan untuk memukul manusia. Dan para
wanita yang berpakaian tetapi telanjang, menggoyang-goyangkan
tubuhnya, memiringkan kepalanya, seperti
punuk unta yang miring. Para wanita itu tidak akan masuk surga, bahkan tidak
mendapatkan wanginya surga, padahal wanginya surga itu sudah bisa tercium dari
perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim No. 2128. Ahmad No. 8665. Ibnu
Hibban No. 7461, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No.5357, Al Baghawi No.
2578, Abu Ya’la No. 6690)
3.
3. Tidak menyerupai pakaian dan perhiasan wanita kafir dan ahli maksiat
Yaitu tidak menyerupai pakaian dan perhiasan yang memang identik dipakai
oleh wanita kafir dan pelaku maksiat, terutama dari sisi modelnya, yang jika
dipakai maka manusia akan terbawa pikiran bahwa itu bukan pakaian wanita
muslimah yang syar’i, dan bukan pula pakaian wanita baik-baik. Mereka langsung
mengira itu adalah busana wanita kafir.
Dasar dari kriteria ini adalah. Dari Ibnu Umar Radhiallahu
‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.”[7]
Imam As Sakhawi mengatakan ada
kelemahan dalam hadits ini, tetapi
hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar
dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan
riwayat Al Qudha’i dari Thawus secara mursal.[8]
Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan,
sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban,
karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas.[9]
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu
Hajar mengatakan sanadnya hasan.[10] Demikian status hadits ini.
Imam Al Munawi dan Imam Al
‘Alqami menegaskan hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir: “Yakni
berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian
seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” [11]
4. 4.Tidak menyerupai laki-laki
Janganlah seorang muslimah memakai pakaian yang menjadi ciri khas kaum
laki-laki, dan pakaian yang menurut kebiasaan yang ada merupakan pakaian yang
biasa digunakan kaum laki-laki. Saat ini sudah teramat banyak wanita muslimah
yang tidak mengindahkan hal ini. Sehingga banyak wanita yang begitu “maskulin”
dengan pakaian tersebut. Ini sudah berlangsung begitu lama, sehingga ada yang
mengira hal itu tidak apa-apa karena sudah menjadi ‘adat (kebiasaan) dan ‘urf (tradisi) baru,
sedangkan Al ‘Adat muhkamat – adat itu menjadi ketentuan hukum. Ini
keliru, sebab adat dan tradisi yang fasad (rusak) –yakni yang
bertentangan dengan syariat- tidak akan pernah menjadi ketentuan hukum. Adat
yang bisa menjadi ketentuan hukum adalah ‘urf shahih (tradisi yang
benar) sebagaimana dikatakan para ahli ushul.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَعَنَ الْمَرْأَةَ تَتَشَبَّهُ بِالرِّجَالِ وَالرَّجُلَ يَتَشَبَّهُ
بِالنِّسَاءِ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat
wanita yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai wanita. (HR.
Ibnu Majah No. 1903. Imam Ahmad Al Kinani berkata: isnadnya hasan. Lihat
Mishbah Az Zujaajah, 2/108. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih.
Lihat Adabuz Zifaf, Hal. 121)
Dalam riwayat lain, lebih tegas lagi Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,
berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ
تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian
laki-laki. (HR. Abu Daud No. 4098, Ibnu Hibban No. 5751, 5752, An Nasa’i
dalam As Sunan Al Kubra No. 9253. Syaikh Al Albani mengatakan: shahih.
Lihat Shahihul Jami’ No. 5095)
5. idak Tabarruj
Yakni tidak bersolek (berhias) seperti wanita jahiliyah, sebab sesungguhnya
make up terbaik bagi muslimah adalah air wudhu dan akhlaknya yang mulia.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ
الأُولَى
Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. Al
Ahzab (33): 33)
Tertulis dalam Tafsir Al Muyassar:
ولا تُظهرن محاسنكن، كما كان يفعل نساء
الجاهلية الأولى في الأزمنة السابقة على الإسلام، وهو خطاب للنساء المؤمنات في كل
عصر
Janganlah kalian menampakkan keindahan-keindahan kalian, sebagaimana
dilakukan para wanita jahiliyah dahulu pada masa sebelum Islam, dan ayat ini
berbicara kepada kaum wanita beriman pada setiap zaman. (Tafsir Al Muyassar,
7/343)
6.
6. Tidak memakai warna yang mencolok
Yaitu tidak memakai busana yang berwarna ngejrenk dan terkesan norak,
sehingga menjadi pusat perhatian, dan hendaknya memakai yang kalem dan bersahaja. Allah Ta’ala melarang kaum wanita
menyengaja menjadikan dirinya menjadi pusat perhatian kaum laki-laki disebabkan apa yang dipakainya, baik pakaian,
perhiasan, atau dandanan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan (QS. An Nuur (24): 31)
Lalu, setelah kriteria ini sudah terpenuhi hendaknya disempurnakan dengan
akhlak yang mulia, tutur kata yang sopan, menjaga pandangan, supel
(gampang bergaul) tanpa harus mengorbankan nilai dan akhlak Islam dalam
bergaul.
Makna Jilbab
Benarkah makna jilbab dalam surat Al Ahzab ayat 59 adalah bermakna baju
kurung, gamis, atau abaya? Sehingga, yang dengan itu menjadi tidak syar’i-nya
memakai baju atasan (seperti blus, kemeja) dan bawahannya (seperti rok) betepa
pun sudah longgar dan tebal, sekaligus karenanya yang syar’i hanyalah baju
terusan (seperti gamis) ?
Berikut ini penjelasan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam tafsirnya
tentang ayat tersebut:
والجلباب هو: الرداء فوق الخمار. قاله
ابن مسعود، وعبيدة، وقتادة، والحسن البصري، وسعيد بن جبير، وإبراهيم النخعي، وعطاء
الخراساني، وغير واحد. وهو بمنزلة الإزار اليوم.
Jilbab adalah ridaa’ di atas khimaar . Ini dikatakan oleh
Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubeir, Ibrahim
An Nakha’i, ‘Atha Al Khurasani, dan lebih dari satu. Hari ini (zaman Ibnu
Katsir), dia kedudukannya sama dengan izaar (kain sarung). (Tafsir
Al Quran Al ‘Azhim, 6/481)
Ridaa’ adalah ats tsaub (pakaian), juga bermakna baju luar (mantel),
jubah, gamis, dan selendang (wusyaah).
Khimaar –jamaknya adalah khumur- yaitu tudung atau penutup kepala wanita.
Dipakainya mesti sampai menutupi bagian dada, sebagaimana ayat:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ
dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
(khumur) kedadanya. (QS.
An Nuur (24): 31)
Maka, dalam konteks ini, Jilbab
adalah pakaian atau kain bagian luar
yang menutup kain bagian dalam yang menutupi kepala wanita. Jadi,
dalamannya adalah khimaar lalu ditutup lagi dengan kain, kain itulah
jibab, dan jilbab itu hendaknya lebar.
Berkata Imam Al Alusi Rahimahullah:
جلباب وهو على ما روي عن ابن عباس الذي
يستر من فوق إلى أسفل ، وقال ابن جبير : المقنعة ، وقيل : الملحفة ، وقيل : كل ثوب
تلبسه المرأة فوق ثيابها ، وقيل : كل ما تتستر به من كساء أو غيره
Jilbab –sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas- adalah yang menutupi
tubuh dari atas sampai ke bawah. Berkata Ibnu Jarir: kain penutup kepala.
Dikatakan: kain selimut. Disebutkan: semua pakaian yang dipakai wanita di atas
bajunya. Disebutkan: semua yang dipakai wanita untuk menutupi dirinya baik
dengan pakaian atau selainnya. (Ruh Al Ma’ani, 16/223. Mawqi’ At
Tafasir)
Maka, tanpa mengurangsi rasa hormat, nampaknya perlu ditinjau lagi wacana
membatasi makna jilbab hanya dengan gamis atau baju terusan. Jelas adalah
jilbab itu sebuah kain besar yang melapisi pakaian wanita yang sudah
dikenakannya, yang digunakan dari mulai kepala hingga ke bawah, paling tidak
sampai menutupi khimaar-nya.
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina wa ‘ala Aalihi wa shahbihi wa Salllam.
Wallahu A’lam
Farid Nu’man Hasan
[1]
Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 127. Darul Kutub al
Araby, Beirut Libanon.
[2] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz. 6, Hal.
45 Daru Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’,
1999M/1420H.
[3] Ibid
[4] Imam Ibnu Katsir, Ibid. Imam
Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz.
19, Hal. 156.
[5]
Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Ibid, Juz. 19, Hal.
156-158.
[8] Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215
[9] Imam Ismail bin Muhamamd Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, Juz. 2, Hal.
240. Darul Kutub Al ‘Ilmiah
[10] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz.
11, Hal. 52. Cet. 2, 1415H. Darul Kutub
Al ‘Ilmiah