Islam edia - Dulu, salah seorang dosenku di STAN sempat bercerita, bahwa setiap bulan gajinya dia bagi 2. Separo ke istrinya, dan separo ...

Islamedia - Dulu, salah seorang dosenku di STAN sempat bercerita, bahwa setiap bulan gajinya dia bagi 2. Separo ke istrinya, dan separo lagi ke... ibu kandungnya. Istrinya juga ridha dengan hal tersebut, nggak protes. Waktu itu aku tak habis pikir, kok begitu ya? Dan gak habis pikir lagi karena pak dosen ini gak ada tampang ustadz, hehe.
Lama kemudian baru kupahami, bahwa syariat Islam memang menempatkan seorang ibu secara istimewa bagi anak lelakinya. Anak laki2 itu, akan tetap menjadi miliknya, sepanjang hidupnya, meskipun dia sudah menikah dan beranak cucu. Maka, seorang ibu boleh masuk ke rumah anak lelakinya tanpa harus ijin dulu, juga boleh mengharapkan perhatian yang lebih secara moriil dan materiil dari anak lelakinya. Pada masa tuanya, selain menjadi tanggung jawab suaminya (jika masih hidup), maka kebahagiaan dan jaminan hidup seorang ibu menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari anak(-anak) lelaki2nya.
Namun, kenyataan di lapangan seringkali agak berbeda. Kaitannya dengan ibu dari suami kita, hubungan antara ibu mertua dengan menantunya seringkali terdapat banyak masalah. Ada yang berasal dari menantunya, misalnya mudah cemburu dengan perhatian yang diberikan suaminya ada ibu mertuanya. Ada juga yang berasala dari ibu mertua, misalnya terlalu mencampuri urusan rumah tangga anak lelakinya. Ada juga yang berasal dari sang suami, misalnya dia kurang berkomunikasi dengan istri saat memberikan perhatian pada ibunya, sehingga ada miskomunikasi.
Beberapa teman dekat saya mengisahkan hubungan unik dirinya dengan ibu mertua.
Sahabat A mengatakan, dia menerima gaji suaminya kurang dari 50% karena ibu mertuanya yang janda dan ipar2nya masih perlu dibiayai (Kalo yang ini masih wajar kali ya). Tetapi adik2 iparnya yang sudah dewasa secara biologis itu juga tak kunjung dewasa scara mental, sebentar2 minta ini itu kepada mas-nya, malas bekerja. Benda2 yang bukan kebutuhan primer sebetulnya. Tinggal A yang gigit jari, karena untuk kebutuhan primer saja dia tersengal-sengal mengatur keuangan. Belum cukup dengan itu, setiap kali mereka menginap di rumah ibu mertua, maka biaya makan dan tidur selama menginap itu akan di-charge dan ditagihkan pembayarannya sebelum mereka pulang. Jadi seperti menginap di hotel saja (padahal kan untuk cucunya juga ya?). Saya sempat terbelalak waktu mendengarnya, tetapi saat dia bercerita bahwa dari awal si ibu sebenarnya berharap pada 'akhwat' lain yang bakal dijadikan istri oleh anaknya, saya mengerti. Ini semacam 'hak pilih' yang tidak teraktualisasi dari si ibu dan akhirnya berimbas pada si menantu ini. Bahkan, seringkali saat A berkunjung ke rumah mertuanya, si mbak calon istri yang gagal itu (kebetulan masih belum menikah) juga diundang ke rumah tersebut, dan secara terang-terangan si ibu tampak lebih bersahabat dengan mbak tersebut.
Astaghfirullah...
Ada lagi sahabat B, yang mertuanya sangat mencampuri urusannya dengan suami. Betah untuk berbulan-bulan tinggal di rumah bersama menantunya (karena anak lelakinya justru bekerja cukup jauh di tempat lain dan jarang pulang) dan mengatur segala sesuatunya sampai detil. Sebenarnya ini bukan masalah, Tetapi karena karakter beliau yang dominan, di situ yang jadi suumber masalah. Hingga menyetir urusan manajemen keuangan, bahkan sampai urusan yang kecil- kecil seperti cara berpakaian B, atau mengambil alih segala urusan yang berkaitan dengan suami B, temasuk tentang disain rumah, tanda tangan kepemilikan di depan notaris, dsb. Jika aspirasi beliau tidak dipenuhi, beliau akan marah, ngambeg, minta dipulangkan segera ke kampung. Dapat dbayangkan kalau B akhirnya menjadi pemurung dan pendiam, karena secara psikologis dia tertekan, tapi apa daya harus tetap hormat dengan ibu mertua yang tinggal bersamanya.
Maka, sungguh aku bersyukur, dianugerahi ibu mertua yang super duper baik hati. Sangat akomodatif pada anak dan menantunya. Juga bapak mertua dan adik/kakak ipar yang kompak dan penuh perhatian, tentunya. Benar-benar terasa bahwa menikah bukan hanya berkaitan dengan lelaki yang menjadi suami kita, tetapi juga akan 'menikahi' seluruh keluarganya. Ingin kukatakan bahwa:
keberkahan pernikahan tak hanya karena mendapatkan pasangan yang berakhlaq mulia, tetapi juga kala dianugerahi sepasang mertua dan ipar2 yang penuh cinta.
terima kasih pak, bu .... telah kau didik putramu menjadi lelaki berjiwa ksatria :)
Ya! Syukur Alhamdulillah, sejak 13 tahun lalu aku punyai ibu mertua, belum pernah sekalipun ada 'ketegangan' antara kami. Bagiku, karena ibu kandungku sudah wafat, aku sunguh bahagia memiliki 'ibu' lagi.
Dan beliaulah yang setia menemaniku di rumah sakit saat aku melahirkan anak2ku
Beliau pula lah yang menawarkan diri untuk membawa dan mengasuh anakku di kampung 3 bulan lamanya, saat tesisku dulu tak kunjung usai.
Beliau pula yang langsung datang ke jakarta saat anakku tiba-tiba harus opname di rumah sakit (akhirnya berbarengan dengan kedatangan ibu kandungku).
Satu hal yang kusuka, beliau tidak pernah menganggapku sebagai menantu. Setiap ada orang asing yang bertanya siapa aku, maka ibu akan menjawab, "Ini anak yang nomor 2" bukan "Ini menantu dari anakku yang nomor 2" . Baru kalau orang tersebut masih bingung juga (mungkin dia ngeh kalau anak ke-2 ibu laki2, bukan perempuan), akan disambung kalimat "Iya, ini istrinya anto, anakku yg nomor 2" . Hehe...
Dengan para ipar pun, alhamdulillah, kompak senantiasa. Bahkan adik suami (perempuan, dek Anti) adalah sahabat perempuan terbaik yang pernah kumiliki sejak jaman gadis. Dengan yang lain, alhamdulillah, sejauh ini nyaman2 saja. Mungkin juga ini karena karakter mereka yang bersahaja, sederhana, dan sungguh sebuah karunia aku bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Pokoknya, always kompak lah, alhamdulilillah.
*Padahal justru akunya yang masih suka pethakilan & tranyakan, hihihi
Masih kuingat, hari-hari pertama nikah, si bungsu heri (waktu itu masih SMA) tiba-tiba minta aku membungkuskan kado ultah buat teman perempuannya. Dengan model yang cantik, katanya. Sambil membungkus kado, waktu itu dia sempat kuledek habis-habisan. Mungkin karena aku tak punya adik laki-2, jadi seneng sekali, begitu menikah dapet adik laki2, langsung 2 pula. Hihi.
Lalu, apa yang kami (aku dan suami) upayakan agar hubunganku dengan mertua (juga antara suamiku dengan mertuanya) tetap harmonis?
Berikut sedikit kubocorkan rahasia. Mungkin ini bisa menjadi inspirasi. Kalau gak, ya gak papajuga :)
Dengan suami aku bersepakat, jika ingin memberikan hadiah pada orang tua, maka siapa yang memberikan dibalik. Bukan si anak memberikan pada orang tua kandungnya, tetapi si anak memberikan pada mertua. Maka, suami biasa memberikan sesuatu pada bapak/ibuku, sedang aku yang bertugas memberikan sesuatu pada bapak ibunya.
Jenis hadiah jelas tak mesti sama, karena sangat tergantung pada kebutuhan masing-masing. Adil bukan berarti harus sama kan?
Selain itu, dalam keluarga besar ada kesepakatan dengan mas/mbak/adik kandung maupun ipar. Kami mempunyai 'rekening keluarga' dengan salah satu anak sebagai pemegang buku dan bendahara yang wajib membuat laporan keuangan secara rutin. Sebenarnya kas keluarga ini sudah hampir 10 tahun diterapkan di keluargaku, lalu karena sudah terbukti cukup efektif, kuusulkan untuk diterapkan di keluarrga suami, dan Alhamdulillah usulku diterima.
Setiap bulan rekening itu diisi oleh tiap keluarga anak (minus orang tualah, wong ini kan buat mereka sebenarnya). Besarannya tentu tak sama, sesuai kesanggupan. Ada yang 250 ribu/bulan, ada yang 100 ribu/bulan, ada juga yang transfer tidak rutin tiap bulan, ada juga yang belum sangguo iuran malah perlu dibantu. Gak masalah, yang penting tahu bahwa kas keluarga masih ada dan setia menunggu transferan. Hihi. Sekali lagi, adil gak mesti sama kan?
Kenapa harus ada rekening keluarga? Setidaknya ada 2 alasan yang kepikiran waktu itu.
Pertama, ini berangkat dari pemikiran bahwa ternyata taqdir kehidupan tak berlaku sama antar kami bersaudara. Ada yang relatif sudah mapan, ada yang sedang beranjak menuju mapan, tapi ada juga yang perlu dibantu, misalnya tiba-tiba pencari nafkah utama di-PHK. Kalau bantuannya bersifat sporadis dan seikhlasnya, tentu jadi seperti memberikan ikan saja, bukan pancing. Lenyap tak berbekas daam waktu tak lama. Maka, dengan rekening keluarga, bantuan lebih terarah. Misalnya, ada yang ingin beli rumah, dari pada pinjam bank kan mending pinjam kas keluarga. Bisa dicicil lama, tanpa mark up pula. Termasuk menjadikan 'anak asuh bersama' untuk keponakan, dengan tekad sampai beres kuliah, saat orang tuanya dipandang perlu dibantu dengan cara itu. Atau untuk biaya tak terduga lainnya seperti harus operasi, opname rumah sakit, atau renovasi kerusakan rumah, maka kas keluarga bisa memberikan kontribusii walau tak besar (Kalau untuk yang begini biasanya ada 'saweran' pribadi dulu baru ditambah kas keluarga, setelah terkumpul baru dialokasikan biar 'berasa' jumlahnya). Tentu semua pengeluaran kas dengan kesepakatan bersama, dimusyawarahkan dulu, kecuali pengeluaran yang sifatnya rutin untuk bantuan kebutuhan operasional (tidak semua) rumah tangga bapak ibu, yang jumlahnya relatif tetap tiap bulan.
Kedua, karena berpikir kalau kami anak2 hanya memberikan langsung pada orang tua saja, maka belum tentu akan tepat sasaran. Paling nanti bapak ibu justru membelikan berbagai hadiah untuk cucunya, hihi. Apalagi bapak ibu adalah pensiunan yang cukup tinggi pangkat terakhirnya, yang secara materiil cukup stabil. Lebih baik uang tersebut dikumpulkan secara rutin, tanpa terasa jumlahnya menjadi besar dan bisa membantu dengan lebih tepat sasaran, bukan hanya untuk bapak ibu tetapi juga untuk keluarga besar anak cucunya, bahkan lingkaran keluarga yang lebih luas lagi.
Dulu, waktu ide kas bersama ini dliontarkan ke ibu mertua oleh suami setelah melihat efektifitasnya di keluargaku, ibu mertua berkomentar lucu, "Kalau gitu, aku mau ikut iuran juga yaaa tiap bulannya?"
Hihihi, gak usahlah bu, wong ini kan sebenarnya upaya anak2 untuk birrul walidain dalam bentuk lain :)
Ada ide lain? Mari berbagi :)
Inspirasi dari Mukti Amini