Islamedia - Hamadi Jubali adalah salah seorang kader yang masuk dalam jajaran
pemimpin teras Partai Nahdhah yang kini berkuasa di Tunisia. Partai
Islam ini pada pemilu pertama pasca kejatuhan Ben Ali pada tahun 2011
mendapatkan suara mayoritas dan karenanya mereka berhak membentuk
pemerintahan baru di Tunisia. Maka ditunjuklah Hamadi Al-Jubali sebagai
Perdana Menteri Tunisia pertama dari kalangan Islamis untuk memimpin
roda pemerintahan negeri tersebut dengan berkoalisi bersama beberapa
kekuatan politik yang ada.
Namun perjalanan pemerintahan di negara yang baru melewati masa revolusi tidaklah mudah. Nyaris seperti Mesir, stabilitas belum dapat diwujudkan secaar utuh. Banyak pihak-pihak yang tidak rela dengan naiknya Islamis ke tampuk pemerintahan. Maka kekacauan demi kekacauan tidak terhindarkan.
Untuk mengatasi realitas politik di negerinya, Jubali mengajukan inisiatif pribadi untuk merombak pemerintahannya menjadi pemerintahan teknokrat. Namun berdasarkan hasil syuro Partai Nahdhah, mayoritas suara menolak inisiatif tersebut, tentu saja dengan sejumlah argument. Jubali merespon hasil syuro tersebut dengan mengundurkan diri dari kursi Perdana Menteri pada bulan Februari lalu, karena merasa sulit dapat menyelenggarakan roda pemerintahan kecuali dengan inisiatif yang dia ajukan.
Saat itu, banyak pihak, terutama kalangan oposisi yang tidak menyukai Partai Nahdhah memperkirakan akan terjadinya perpecahan di tubuh partai penguasa ini. Berbagai isu dan rumor berseliweran di tengah masa. Namun semua tuduhan dan isu itu segera sirna setelah Hamadi Jubali memperlihatkan sikap dan pernyataannya yang menunjukkan kedewasaannya dalam berpolitik.
Dalam sebuah pertemuan umum yang disorot berbagai kamera, Jubali tampak dengan penuh hormat berusaha mencium kening Syekh Rasyid Ghanousyi, orang nomor satu di Partai Nahdhah yang sangat dihormati. Mencium kening dalam tradisi Arab adalah tanda penghormatan tertinggi terhadap orang yang dimuliakan. Peristiwa tersebut cukup mengejutkan banyak pihak karena bertentangan dengan isu yang beredar selama ini.
Lalu, dalam pernyataannya, Jubali menegaskan bahwa dirinya telah dibina oleh 'Nahdhah' dan dia tidak akan meninggalkannya juga tidak akan berusaha membentuk partai baru serta tidak akan menyerahkan dirinya ke tangan para musuh. Diapun tidak berniat sedikitkan berbuat buruk terhadap jamaah ini dan terhadap para pemimpinnya, justeru dia minta maaf terhadap orang yang dia zalimi tanda dia sengaja.
Adapun pengunduran dirinya dari posisi Perdana menteri, bukanlah penolakan keras kepala atau menutup pintu, akan tetapi sekedar memastikan keyakinana dirinya dan ingin memberikan jalan bagi solusi yang lain. Di sisi lain dia menyerukan kepada semua elemen masyarakat untuk merasa bertanggung jawab menciptakan keamanan dan stabilitas negara Tunisia.
Kini Partai Nahdhah sudah menunjuk Perdana Menteri baru bernama Ali Al-Uraidh, juga seorang kader dan pemimpin teras partai tersebut yang pada pemerintahan sebelumnya menduduki posisi Menteri Dalam Negeri.
(Sumber: Al-Mujtama/AK)
Namun perjalanan pemerintahan di negara yang baru melewati masa revolusi tidaklah mudah. Nyaris seperti Mesir, stabilitas belum dapat diwujudkan secaar utuh. Banyak pihak-pihak yang tidak rela dengan naiknya Islamis ke tampuk pemerintahan. Maka kekacauan demi kekacauan tidak terhindarkan.
Untuk mengatasi realitas politik di negerinya, Jubali mengajukan inisiatif pribadi untuk merombak pemerintahannya menjadi pemerintahan teknokrat. Namun berdasarkan hasil syuro Partai Nahdhah, mayoritas suara menolak inisiatif tersebut, tentu saja dengan sejumlah argument. Jubali merespon hasil syuro tersebut dengan mengundurkan diri dari kursi Perdana Menteri pada bulan Februari lalu, karena merasa sulit dapat menyelenggarakan roda pemerintahan kecuali dengan inisiatif yang dia ajukan.
Saat itu, banyak pihak, terutama kalangan oposisi yang tidak menyukai Partai Nahdhah memperkirakan akan terjadinya perpecahan di tubuh partai penguasa ini. Berbagai isu dan rumor berseliweran di tengah masa. Namun semua tuduhan dan isu itu segera sirna setelah Hamadi Jubali memperlihatkan sikap dan pernyataannya yang menunjukkan kedewasaannya dalam berpolitik.
Dalam sebuah pertemuan umum yang disorot berbagai kamera, Jubali tampak dengan penuh hormat berusaha mencium kening Syekh Rasyid Ghanousyi, orang nomor satu di Partai Nahdhah yang sangat dihormati. Mencium kening dalam tradisi Arab adalah tanda penghormatan tertinggi terhadap orang yang dimuliakan. Peristiwa tersebut cukup mengejutkan banyak pihak karena bertentangan dengan isu yang beredar selama ini.
Lalu, dalam pernyataannya, Jubali menegaskan bahwa dirinya telah dibina oleh 'Nahdhah' dan dia tidak akan meninggalkannya juga tidak akan berusaha membentuk partai baru serta tidak akan menyerahkan dirinya ke tangan para musuh. Diapun tidak berniat sedikitkan berbuat buruk terhadap jamaah ini dan terhadap para pemimpinnya, justeru dia minta maaf terhadap orang yang dia zalimi tanda dia sengaja.
Adapun pengunduran dirinya dari posisi Perdana menteri, bukanlah penolakan keras kepala atau menutup pintu, akan tetapi sekedar memastikan keyakinana dirinya dan ingin memberikan jalan bagi solusi yang lain. Di sisi lain dia menyerukan kepada semua elemen masyarakat untuk merasa bertanggung jawab menciptakan keamanan dan stabilitas negara Tunisia.
Kini Partai Nahdhah sudah menunjuk Perdana Menteri baru bernama Ali Al-Uraidh, juga seorang kader dan pemimpin teras partai tersebut yang pada pemerintahan sebelumnya menduduki posisi Menteri Dalam Negeri.
(Sumber: Al-Mujtama/AK)