Bukan Plural, Tapi Universal -->

Bukan Plural, Tapi Universal

Jumat, 18 Januari 2013
IslamediaBeberapa waktu yang lalu, Ust. Hidayat menyatakan bahwa beliau merasa prihatin dengan keputusan KPU yang tidak meloloskan partai PDS dan berharap partai ini dapat lolos verifikasi, mengingat semua partai kristiani telah bersatu dengan PDS. Hal ini dimaksudkan agar ada keterwakilan dari umat kristiani pada pemilu 2014 mendatang.
 
"Parpol itu sesungguhnya juga mewakili keragaman bangsa Indonesia yang majemuk, sehingga setiap golongan berhak atas keterwakilan mereka di DPR, termasuk umat Kristiani," jelas Hidayat usai membuka Muskerwil PKS Jawa Tengah di Kajen, Pekalongan, Sabtu (12/01/2013).

Sayangnya, semua ucapan Ust. Hidayat ini disalah pikir sebagai bentuk pluralisme. Bahkan disalah satu situs yang berbau islam, secara terang-terangan memojokan dan menyatakan, "Mungkin PKS menggunakan momen ini, sebagai bentuk penegasan jati diri PKS, sebagai partai yang sekarang sudah  menjadi partai terbuka, dan menganut pandangan yang sangat pluralistik" (www.voa-islam.com, senin 14 Januari).

Menurut saya, terlampau sempit cara pandang sang penulis berita ini. Tambahan lagi, berita yang ditulis di situs ini sangat kental dengan bahasa berita yang berasal dari website www.dakwatuna.com. Nyaris sama, hanya ditambah 3 paragraf diawal kalimat dan 1 paragraf penutup.
Harus dipahami dulu, seperti apakah dan bagaimanakan pluralisme itu. 

Sebenarnya, telah terjadi kerancuan bahasa pada kata pluralisme ini. Karena, pluralisme sendiri berasal dari bahasa inggris, pluralism. Menurut terjemahan wikipedia, pluralism ialah "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."

Jika ditelaah dari definisi pluralism tersebut, maka nampak jelas bahwa kata pluralisme itu sendiri lebih erat kekerabatannya dengan kata bernama tenggang rasa. Namun, telah terjadi distorsi disini, sehingga pluralisme itu dimaknai berbeda.

Hingga MUI mengeluarkan fatwa pelarangan bagi pluralisme ini. MUI mendefinisikan pluralisme sebagai "suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga."

Jadi, jelaslah sudah. Jelas terlarang jika yang dimaksud dengan kata pluralisme tersebut adalah seperti definisi dari fatwa MUI.

Sekarang saya hendak bertanya, adakah statement dari Ust. Hidayat yang menyinggung ranah definisi pluralisme dari MUI? Apakah kau kira, kau lebih pandai dan sholeh dari beliau hingga langsung menjustifikasi beliau dan partainya sebagai antek-antek pluralisme yang terdistorsi dan terasimilasi?

Lihatlah dari sudut pandang yang lebih luas. Ini bukanlah perihal pluralisme, tapi ini tentang salah satu sifat dari Islam itu sendiri. 'Alamiyah. Universal.


Bukankah islam adalah rahmatan lil'alamin..? Yang mengatur segala peri-hidup manusia, tidak hanya umat islam itu sendiri tapi juga umat lain yang diluar islam, bahkan pada seluruh alam, baik komponen biotik maupun abiotiknya.


Bahkan suatu ketika, Rasul pernah berdiri dari posisi duduknya ketika iringan jenazah orang yahudi melintas dihadapan beliau. Berdirinya beliau sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi sang jenazah yahudi tersebut. Apakah sikap Rasul ini akan kau katakan sebagai bentuk pluralisme yang terdistorsi, terasimilasi?


Sekali lagi ingin kutegaskan. Ini bukanlah pluralisme yang telah terdistorsi dan terasimilasi, tapi ini adalah tentang universalitas islam.

Anisa Prasetyo Ningsih