Islamedia - Beberapa waktu yang lalu, Ust.
Hidayat menyatakan bahwa beliau merasa prihatin dengan keputusan KPU yang tidak
meloloskan partai PDS dan berharap partai ini dapat lolos verifikasi, mengingat
semua partai kristiani telah bersatu dengan PDS. Hal ini dimaksudkan agar ada
keterwakilan dari umat kristiani pada pemilu 2014 mendatang.
"Parpol itu sesungguhnya juga
mewakili keragaman bangsa Indonesia yang majemuk, sehingga setiap golongan
berhak atas keterwakilan mereka di DPR, termasuk umat Kristiani," jelas
Hidayat usai membuka Muskerwil PKS Jawa Tengah di Kajen, Pekalongan, Sabtu
(12/01/2013).
Sayangnya, semua ucapan Ust.
Hidayat ini disalah pikir sebagai bentuk pluralisme. Bahkan disalah satu situs
yang berbau islam, secara terang-terangan memojokan dan menyatakan,
"Mungkin PKS menggunakan momen ini, sebagai bentuk penegasan jati diri
PKS, sebagai partai yang sekarang sudah menjadi partai terbuka, dan
menganut pandangan yang sangat pluralistik" (www.voa-islam.com, senin 14 Januari).
Menurut saya, terlampau sempit cara
pandang sang penulis berita ini. Tambahan lagi, berita yang ditulis di situs ini
sangat kental dengan bahasa berita yang berasal dari website www.dakwatuna.com. Nyaris sama, hanya ditambah 3 paragraf
diawal kalimat dan 1 paragraf penutup.
Harus dipahami dulu, seperti apakah
dan bagaimanakan pluralisme itu.
Sebenarnya, telah terjadi kerancuan bahasa
pada kata pluralisme ini. Karena, pluralisme sendiri berasal dari bahasa
inggris, pluralism. Menurut terjemahan wikipedia, pluralism ialah "Suatu
kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan
toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran /
pembiasan)."
Jika ditelaah dari definisi
pluralism tersebut, maka nampak jelas bahwa kata pluralisme itu sendiri lebih
erat kekerabatannya dengan kata bernama tenggang rasa. Namun, telah terjadi
distorsi disini, sehingga pluralisme itu dimaknai berbeda.
Hingga MUI mengeluarkan fatwa
pelarangan bagi pluralisme ini. MUI mendefinisikan pluralisme sebagai
"suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya
kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama
tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang
lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk
dan hidup dan berdampingan di surga."
Jadi, jelaslah sudah. Jelas
terlarang jika yang dimaksud dengan kata pluralisme tersebut adalah seperti
definisi dari fatwa MUI.
Sekarang saya hendak bertanya,
adakah statement dari Ust. Hidayat yang menyinggung ranah definisi pluralisme
dari MUI? Apakah kau kira, kau lebih pandai dan sholeh dari beliau hingga
langsung menjustifikasi beliau dan partainya sebagai antek-antek pluralisme
yang terdistorsi dan terasimilasi?
Lihatlah dari sudut pandang yang
lebih luas. Ini bukanlah perihal pluralisme, tapi ini tentang salah satu sifat
dari Islam itu sendiri. 'Alamiyah. Universal.
Bukankah islam adalah rahmatan
lil'alamin..? Yang mengatur segala peri-hidup manusia, tidak hanya umat islam
itu sendiri tapi juga umat lain yang diluar islam, bahkan pada seluruh alam,
baik komponen biotik maupun abiotiknya.
Bahkan suatu ketika, Rasul pernah
berdiri dari posisi duduknya ketika iringan jenazah orang yahudi melintas
dihadapan beliau. Berdirinya beliau sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi
sang jenazah yahudi tersebut. Apakah sikap Rasul ini akan kau katakan sebagai
bentuk pluralisme yang terdistorsi, terasimilasi?
Sekali lagi ingin kutegaskan. Ini
bukanlah pluralisme yang telah terdistorsi dan terasimilasi, tapi ini adalah
tentang universalitas islam.
Anisa Prasetyo Ningsih