Setelah mengetahui bagaimana kurangnya amal ibadah diri dibandingkan amal ibadah Nabi Muhammad shallahu’alaihi wa sallam, semangat ketiga sahabat Nabi membuncah ingin melakukan ibadah sebanyak-banyaknya sampai batas maksimal yang mereka bisa lakukan.
ilustrasi |
Islamedia.co - Setelah mengetahui bagaimana kurangnya amal ibadah diri dibandingkan amal ibadah Nabi Muhammad shallahu’alaihi wa sallam, semangat ketiga sahabat Nabi membuncah ingin melakukan ibadah sebanyak-banyaknya sampai batas maksimal yang mereka bisa lakukan.
Disebutkan dalam hadits, dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, setelah tiga orang sahabat mendatangi rumah isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan kemudian mereka merasa tidak ada apa-apanya dengan amal ibadah mereka, salah seorang dari mereka berkata, "Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya." Kemudian yang lain berkata, "Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka." Dan yang lain lagi berkata, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya." Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: "Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku”.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah, dari kitabnya Madarijus Salikin menjelaskan fenomena kerahiban dalam bab Ri’ayah (memperhatikan ilmu dan menjaganya dengan amal, memperhatikan amal dengan kebaikan dan ikhlas serta menjaganya dari hal-hal yang merusak, memperhatikan keadaan dengan penyesuaian dan menjaganya dari pemutusan, atau secara singkatnya, ri’ayah adalah penjagaan dan pemeliharaan).
Dalam firman-Nya, Allah mencela perbuatan kerahiban, sebuah perbuatan yang tidak menjaga dan memelihara saranan kedekatan (taqarrub) yang Allah perintahkan :
“Dan, Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Isa) rasa santun dan kasih sayang. Dan, mereka mengada-adakan rahbaniyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mercka sendiri yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.”(Al-Hadid: 27)
Bentuk kerahiban seperti yang ditanyakan ketiga sahabat nabi ini adalah sebentuk peribadatan yang diada-adakan, yang tidak dianjurkan, bahkan yang terlarang karena bertentangan dengan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia.
Perbuatan inilah seperti perbuatan kerahiban para rahib atau pendeta para kaum Nasrani. Mereka menganggap bahwa kerahiban merupakan sunnah Isa bin Maryam dan petunjuknya. Namun Allah mendustakan mereka dan menjelaskan bahwa merekalah yang menciptakan model kehidupan dan peribadatan itu.
Pengarang Manazilus Sa’irin, Abu Isma’il Al Harawy, berkata “Ri’ayah adalah menjaga yang disertai perhatian, ada tiga derajat Ri’ayah” :
1. Ri’ayah ‘Amal (Memelihara Amal)
Memperbanyak amal itu dengan menghinakannya, melaksanakan amal itu tanpa melihat kepadanya dan menjalankan amal itu berdasarkan saluran ilmu. Bentuk Ri’ayah amal ini adalah terbebas atau jauh dari sifat mengurangi (tafrith) dan sifat melebih-lebihkan (ifrath) dari apa yang diperintahkan Allah.
Ada yang berpendapat, tanda keridhaan Allah kepadamu ialah jika engkau mengabaikan keadaan dirimu, dan tanda diterimanya amalmu ialah jika engkau menghinakan dan menganggap amalmu sedikit serta kecil.
Pastikan bahwa seorang hamba harus memenuhi dua syarat diterimanya amal :
a. Ikhlas karena Allah.
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (QS. Al Kahfi: 110)b. Mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’).
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2),
Al Fudhail bin ‘iyadh mengatakan, أَحْسَنُ عَمَلًا adalah amalan yang paling ikhlas dan showab (mencocoki dan sesuai tuntunan/ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
2. Ri’ayah Ahwal (Memelihara Keadaan)
Artinya, mencurigai usahanya sebagai bentuk riya’, serta mencurigai keyakinannya sebagai bentuk kepura-puraan, dan mencurigai keadaan sebagai bualan.
Dengan kata lain, dia harus mencurigai usahanya, bahwa usaha itu sangat bisa jadi dimaksudkan untuk riya’ di hadapan manusia. Sedangkan mencurigai keyakinan sebagai kepura-puraan, maka maksud kepura-puraan di sini ialah membanggakan sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Orang yang membanggakan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang mengenakan dua lembar pakaian yang palsu.”
Sedangkan arti dari mencurigai keadaan sebagai bualan adalah bualan yang dusta, hal ini harus dilakukan untuk membersihkan hati dari kebodohan bualan itu, membersihkan hati dari syetan. Hati yang senang kepada bualan adalah hati yang menjadi tempat bersemayamnya syetan.
Allah berfirman
Artinya, mencurigai usahanya sebagai bentuk riya’, serta mencurigai keyakinannya sebagai bentuk kepura-puraan, dan mencurigai keadaan sebagai bualan.
Dengan kata lain, dia harus mencurigai usahanya, bahwa usaha itu sangat bisa jadi dimaksudkan untuk riya’ di hadapan manusia. Sedangkan mencurigai keyakinan sebagai kepura-puraan, maka maksud kepura-puraan di sini ialah membanggakan sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Orang yang membanggakan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang mengenakan dua lembar pakaian yang palsu.”
Sedangkan arti dari mencurigai keadaan sebagai bualan adalah bualan yang dusta, hal ini harus dilakukan untuk membersihkan hati dari kebodohan bualan itu, membersihkan hati dari syetan. Hati yang senang kepada bualan adalah hati yang menjadi tempat bersemayamnya syetan.
Allah berfirman
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (QS. al- Mukminun: 60).
Takut (وجلة) disini, dalam tafsir Ibnu Katsir adalah orang yang senantiasa shalat, puasa dan bersedekah, tetapi mereka khawatir kalau-kalau amalan mereka tidak diterima Allah.
3. Ri’ayah Waqt (Memelihara Waktu)
Artinya, berhenti pada setiap langkah, kemudian lenyap dari kehadirannya dengan kebersihannya dari simbolnya, kemudian pergi (lenyap) dari menyaksikan kesucian kebersihannya. Kemudian pergi tanpa membawa kekotoran jiwa. Hal ini mengandung makna, berhenti (untuk meluruskan niat, keikhlasan karena Allah) untuk kemudian melangkah untuk beramal (dengan tidak menyaksikan kemajuan dirinya) agar tidak ada rasa ujub dan bangga apa yang telah dilakukan oleh diri sendiri.
Salah satu pola terbaik dalam penjagaan ilmu dan amal ibadah adalah sedikit namun bersifat dawam (konsisten), seperti sabda Nabi Muhammad Shallahu’alaihi wa sallam :
إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَامُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Sesungguhnya amal yang Allah cintai adalah amal yang dilaksanakan secara konsisten meskipun sedikit”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Perhatikanlah ilmumu dan jagalah dengan amalmu, karena,
“Sesungguhnya kedudukan manusia paling buruk di sisi Allah di hari kiamat adalah orang alim yang tidak bermanfaat ilmunya” (HR Darimi)
Wallahu ta’ala a’lam
Disusun oleh :
Aji Teguh Prihatno
Riyadh, Ummul Hamaam, 19 Desember 2014
Referensi:
1. Al Quran Al Karim
2. Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Pustaka Al Kautsar, cetakan kedua belas, 2013.
3. Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Dar Al-Kitab Wa Al-Sunna, cetakan pertama, 2011.
4. http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/dua-syarat-diterimanya-ibadah-832
5. http://muslimah.or.id/aqidah/bagaimana-aku-menjadi-orang-yang-mukhlis-dalam-setiap-amalku.html
6. http://mahad-ib.blogspot.com/2011/10/bagaimana-cara-kita-memelihara-ilmu-dan.html