Islam edia .co - Aku sudah berlari demi mengejar angkutan jalur 15, metromini yang menghubungkan masjid Mardhiyah kompleks UGM tempatku t...
Islamedia.co - Aku sudah berlari demi mengejar angkutan jalur 15, metromini yang menghubungkan masjid Mardhiyah kompleks UGM tempatku ta'lim tarbawi ke kampus kesehatan Poltekkes di jalan Godean. Jika jalur sedang bersahabat, lima belas menit sampai. Namun nampaknya pagi itu nasibku kurang beruntung, bis yang kutumpangi agak lelet karena Jogja di pagi jam 07:00-08:00 an sudah laiknya kota Jakarta alias macet juga sana sini, yah maklum kota pelajar dan mahasiswa, rata-rata jam segitu primetime menuju kampus masing-masing.
Huffftt,... Mata kuliah pertama pagi itu adalah Kimia Makanan. Meski agak sedikit tenang karena dosen yang mengajar hari itu terkenal baik hati,(maksudnya tidak terlalu dalam kedisiplinan waktu ups). Namun demikian bukan berarti aku aji mumpung. Aku usahakan bersegera tidak terlambat meski "ngoyo".
Kadang dilematis, bagaimana membagi waktu agar bisa ngikutin kuliah tarbiyah tsaqofiyah yg kebetulan juga dapat jadwal pagi atau bolos kuliah di kampus. Padahal kalo boleh membela toh orang tuaku membiayai kuliah di kampus kesehatan bukan kampus tarbiyah?
Ah alasan 1000 macam akan mudah saja dibuat, alhamdulillah Allah masih membelokkan niatku untuk bersemangat diantara keduanya, ingin sukses kuliah gizi juga sukses kuliah tarbiyah tsaqofiyah. Karena semestinya kami dididik tidak hanya menjadi paramedis professional dibidangnya, tapi bagi sebagian kami berkomitmen untuk pula menjadi paramedis yang juga da'i/da'iyyah amiin.
"Ojo diseneni, pak Nur disini" Suara dosen yang terkenal baik hati itu mengagetkanku, mengalahkan jawaban atas salamku dari teman sekelas kami yang besar itu. Yah kelas kuliah kami disebut kelas besar karena kami ber 78, bahkan sebelumnya 83 dalam satu ruangan. Kadang jika ada dosen tamu dari luar khususnya dosen-dosen dokter dari RSUP DR Sardjito, ada beberapa teman yang mengajak serta teman dari luar bahkan ada juga yang bawa pacarnya #ups(asli bukan aku:)).
Ya pak Nur dengan tenang mempersilahkanku masuk bergabung ke kelas untuk mengikuti kuliahnya, dia bilang jangan dimarahi, itu adalah sindiran yang sangat dalem hiks.
Ternyata dia sudah masuk setengah jam-an yang lalu, menerangkan reaksi Redoks yang rumit itu. Uhhh rugi juga sebenarnya, mata kuliah ini lumayan buat dahi berkernyit, apalagi kalo sudah praktikum di laboratorium, harus faham rumus-rumus kimia, reaksi-reaksi tertentu, menghafal warna hasil titrasi beberapa cairan, dan sejumlah teori yang harus sinkron ketika dipraktekkan.
Saat kini, taklagi harus menduakan prinsip mau kuliah yang mana dulu, kadang permasalahan dihadapkan pada kepentingan rumah tangga, anak-anak, atau pekerjaan lain. Padahal ketika kita sudah terjun ke masyarakat bukan berarti berhenti kuliah, belajar, menimba ilmu.
Terlebih yang kesehariannya menyeru kepada kebaikan, seperti kami para guru Al Qur an, harus terus belajar dan kuliah. Prioritas itu harus, semakin banyaknya amanah dakwah justru harus memaksa kami lebih keras lagi belajar, bukan malah berhenti, atau sekedar dinomer sekiankan dari urusan-urusan duniawi.
Bagaimanapun mengajar itu, menasehati diri, melepaskan beban, menguatkan hati dan harus terus belajar. Kalau kita menengok kembali Rasulullah dalam dakwah dan waktu penempaan dirinya untuk berdakwah, bahwa usia belajar beliau 2 kali lipat dibanding usia berdakwahnya. Atau kisah para professor di negeri jiran bahwa mereka lebih banyak mengadakan penelitian, riset dan membuat jurnal dibanding waktu untuk mengajar.
Maka dari itu bagiku terutama semakin banyak mengajar, seharusnya lebih juga memaksa diri untuk mencari ilmu.
Karena ilmu yang kita ajarkan akan menjadi pahala jariyah yang tidak terputus, maka harusnya lebih berhati-hati dalam mengajarkan jangan sampai terjadi kesalahan ketika mengajarkan, karena itu akan turun temurun diajarkan oleh murid-murid kita.
Lantas ketika banyak sekali alasan untuk menomorduakan atau bahkan menomorsekiankan belajar ilmu(agama) itu, setidaknya berpikirlah bahwa anak-anakku kelak berhak dilahirkan dan dididik oleh perempuan yang cerdas.
Ahh ternyata aku tak semenderita seorang ulama tabi'in dahulu, yang harus berjalan kaki lintas negara hanya untuk mengetahui tafsir 1 ayat, pun ketika beliau sudah sampai dinegara yang dituju, guru beliau sedang tidak ada. Lantas apakah beliau menyerah?tidak beliau berjalan kaki kembali mencari gurunya dengan berjalan dari negeri Iraq ke Syam.
Atau kisah seorang nenek yang rela menempuh perjalanan dengan 4-5 kali ganti angkutan kota demi menuju kelas tahfizhnya.
Lantas kalau sekarang sudah diberikan banyak fasilitas, digratiskan, perjalanan yang tidak sulit, tinggal mensetater motor(meski tak mulus2 amat, tapi masih sehat untuk dikendarai), atau jalan kaki saja ga sampai 30 menit, pahala menanti, doa yang diaminkan para malaikat, ketenangan, dipenuhi kasih sayang Allah, dibanggakan Allah dihadapan makhluknya di langit sana, serta banyak keberkahan lain ketika kita menghadiri majelis ilmu yang didalamnya membaca Al Qur an dan mempelajari isinya. Apa yang membuatku, membuat kita mengalahkan itu semua? Rabbanaa mudahkan, ringankan langkah-langkah kami menuju majelis ilmu. Agar Engkau ridho kepada Kami, Engkau mudahkan kami menuju syurgaMu...
*sebuah refleksi, renungan untuk diri agar takpatah semangat mencari ilmuNya.
Huffftt,... Mata kuliah pertama pagi itu adalah Kimia Makanan. Meski agak sedikit tenang karena dosen yang mengajar hari itu terkenal baik hati,(maksudnya tidak terlalu dalam kedisiplinan waktu ups). Namun demikian bukan berarti aku aji mumpung. Aku usahakan bersegera tidak terlambat meski "ngoyo".
Kadang dilematis, bagaimana membagi waktu agar bisa ngikutin kuliah tarbiyah tsaqofiyah yg kebetulan juga dapat jadwal pagi atau bolos kuliah di kampus. Padahal kalo boleh membela toh orang tuaku membiayai kuliah di kampus kesehatan bukan kampus tarbiyah?
Ah alasan 1000 macam akan mudah saja dibuat, alhamdulillah Allah masih membelokkan niatku untuk bersemangat diantara keduanya, ingin sukses kuliah gizi juga sukses kuliah tarbiyah tsaqofiyah. Karena semestinya kami dididik tidak hanya menjadi paramedis professional dibidangnya, tapi bagi sebagian kami berkomitmen untuk pula menjadi paramedis yang juga da'i/da'iyyah amiin.
"Ojo diseneni, pak Nur disini" Suara dosen yang terkenal baik hati itu mengagetkanku, mengalahkan jawaban atas salamku dari teman sekelas kami yang besar itu. Yah kelas kuliah kami disebut kelas besar karena kami ber 78, bahkan sebelumnya 83 dalam satu ruangan. Kadang jika ada dosen tamu dari luar khususnya dosen-dosen dokter dari RSUP DR Sardjito, ada beberapa teman yang mengajak serta teman dari luar bahkan ada juga yang bawa pacarnya #ups(asli bukan aku:)).
Ya pak Nur dengan tenang mempersilahkanku masuk bergabung ke kelas untuk mengikuti kuliahnya, dia bilang jangan dimarahi, itu adalah sindiran yang sangat dalem hiks.
Ternyata dia sudah masuk setengah jam-an yang lalu, menerangkan reaksi Redoks yang rumit itu. Uhhh rugi juga sebenarnya, mata kuliah ini lumayan buat dahi berkernyit, apalagi kalo sudah praktikum di laboratorium, harus faham rumus-rumus kimia, reaksi-reaksi tertentu, menghafal warna hasil titrasi beberapa cairan, dan sejumlah teori yang harus sinkron ketika dipraktekkan.
Saat kini, taklagi harus menduakan prinsip mau kuliah yang mana dulu, kadang permasalahan dihadapkan pada kepentingan rumah tangga, anak-anak, atau pekerjaan lain. Padahal ketika kita sudah terjun ke masyarakat bukan berarti berhenti kuliah, belajar, menimba ilmu.
Terlebih yang kesehariannya menyeru kepada kebaikan, seperti kami para guru Al Qur an, harus terus belajar dan kuliah. Prioritas itu harus, semakin banyaknya amanah dakwah justru harus memaksa kami lebih keras lagi belajar, bukan malah berhenti, atau sekedar dinomer sekiankan dari urusan-urusan duniawi.
Bagaimanapun mengajar itu, menasehati diri, melepaskan beban, menguatkan hati dan harus terus belajar. Kalau kita menengok kembali Rasulullah dalam dakwah dan waktu penempaan dirinya untuk berdakwah, bahwa usia belajar beliau 2 kali lipat dibanding usia berdakwahnya. Atau kisah para professor di negeri jiran bahwa mereka lebih banyak mengadakan penelitian, riset dan membuat jurnal dibanding waktu untuk mengajar.
Maka dari itu bagiku terutama semakin banyak mengajar, seharusnya lebih juga memaksa diri untuk mencari ilmu.
Karena ilmu yang kita ajarkan akan menjadi pahala jariyah yang tidak terputus, maka harusnya lebih berhati-hati dalam mengajarkan jangan sampai terjadi kesalahan ketika mengajarkan, karena itu akan turun temurun diajarkan oleh murid-murid kita.
Lantas ketika banyak sekali alasan untuk menomorduakan atau bahkan menomorsekiankan belajar ilmu(agama) itu, setidaknya berpikirlah bahwa anak-anakku kelak berhak dilahirkan dan dididik oleh perempuan yang cerdas.
Ahh ternyata aku tak semenderita seorang ulama tabi'in dahulu, yang harus berjalan kaki lintas negara hanya untuk mengetahui tafsir 1 ayat, pun ketika beliau sudah sampai dinegara yang dituju, guru beliau sedang tidak ada. Lantas apakah beliau menyerah?tidak beliau berjalan kaki kembali mencari gurunya dengan berjalan dari negeri Iraq ke Syam.
Atau kisah seorang nenek yang rela menempuh perjalanan dengan 4-5 kali ganti angkutan kota demi menuju kelas tahfizhnya.
Lantas kalau sekarang sudah diberikan banyak fasilitas, digratiskan, perjalanan yang tidak sulit, tinggal mensetater motor(meski tak mulus2 amat, tapi masih sehat untuk dikendarai), atau jalan kaki saja ga sampai 30 menit, pahala menanti, doa yang diaminkan para malaikat, ketenangan, dipenuhi kasih sayang Allah, dibanggakan Allah dihadapan makhluknya di langit sana, serta banyak keberkahan lain ketika kita menghadiri majelis ilmu yang didalamnya membaca Al Qur an dan mempelajari isinya. Apa yang membuatku, membuat kita mengalahkan itu semua? Rabbanaa mudahkan, ringankan langkah-langkah kami menuju majelis ilmu. Agar Engkau ridho kepada Kami, Engkau mudahkan kami menuju syurgaMu...
*sebuah refleksi, renungan untuk diri agar takpatah semangat mencari ilmuNya.